Oleh: Dahlan Iskan
Ia akan tetap jadi sopir taksi. Biar pun istrinya jadi dokter. Sebentar lagi. ”Sekarang istri saya lagi pradik pak,” kata Ahmad Maftuh Hidayat. Bangga sekali ia dengan istrinya. Calon dokter.
Saya terlibat pembicaraan gayeng dengan Maftuh. Sopir taksi Blue Bird yang mengantar saya pulang itu.
Ia orang Magetan. Sekampung. Ia lulusan pondok pesantren. Sama dengan saya.
Hanya ia jauh lebih ganteng. Saya akui saya kalah telak.
Itu pula yang membuat hati Faradiba ‘kalah’. Saat pertama berjumpa. Lalu, kini, jadi isterinya.
Waktu itu Faradiba ingin kuliah. Mendaftar di dua universitas. Negeri dan swasta. Unair dan UWK. Universitas Airlangga dan Universitas Wijaya Kusuma. Dua-duanya di Surabaya.
Hari itu Faradiba mendaftar di fakultas kedokteran hewan UWK. Akan mendaftar lagi ke fakultas kedokteran hewan Unair.
Faradiba pesan taksi. Kontak ke Blue Bird. Dalam sekejap taksi pun tiba. Sang sopir terkesima. ”Cantik sekali…,” katanya dalam hati.
Maftuh mengaku jatuh cinta. Saat itu juga. Belum pernah hatinya bergejolak seperti itu.
Ia ajak penumpangnya bicara. Dengan penuh sopannya.
Nyambung. Mau diajak bicara.
Saat tiba di lampu merah di Jalan Kedung Doro simpangan ke Kedungsari. ”Saya beranikan minta nomor HP-nya,” ujar Maftuh.
Eh! Diberi. Lega. “Kenapa Anda berani minta nomor HP penumpang?,” tanya saya.
”Saya tidak tahan. Dia cantik sekali,” jawabnya. ”Dia juga baik. Mau melayani pembicaraan saya,” tambahnya.
Belum pernah Maftuh minta nomor HP ke penumpangnya. Ya baru sekali itu. “Kenapa Faradiba mau memberikan nomor HP-nya? Kepada seorang sopir taksi?” tanya saya.
”Saya pernah tanyakan itu. Ketika dia sudah jadi istri saya,” jawabnya.
”Apa jawaban Faradiba?” tanya saya lagi.
”Katanya…. saya ganteng sekali…,” jawab Maftuh.
”Dan katanya… saya baik,” tambahnya.
Sumpah. Ia memang ganteng. Dengan kumis dan jambang yang tipis.
Waktu itu Maftuh berumur 23 tahun. Faradila 21 tahun. Lalu kontak-kontakan. Pacaran. Calon mertua tidak mempersoalkan status pekerjaan calon menantunya. Lebih melihat kepribadiannya.
Tahun itu juga mereka kawin. Tahun berikutnya punya anak.
Sambil Faradiba terus kuliah.
Tidak jadi di kedokteran hewan. Juga tidak jadi di Unair. Meski sudah terlanjur kuliah satu semester.
Pindah ke kedokteran umum. Pindah ke UWK. “Saya yang minta dia untuk ke kedokteran. Masa depan bisa lebih baik. Untuk memperbaiki nasib keluarga,” ujar Maftuh.
Ia tahu. Masuk kedokteran itu mahal sekali. Bagi seorang sopir taksi. Apalagi kedokteran swasta. “Saya akan habis-habisan membiayainya. Kalau perlu biar waktu saya habis di jalan,” katanya.
Untung, katanya, saat itu belum ada taksi online. Masih lebih mudah cari penumpang. ”Sekarang sudah sulit cari uang yang cukup untuk biaya kuliah di kedokteran,” katanya.
”Kenapa bukan Anda saja yang kuliah di kedokteran,” tanya saya.
”Faradila lebih pinter dari saya,” katanya. ”Saya merasa tidak kuat kalau harus kuliah lagi,” tambahnya.
Maftuh hanya pulang 10 hari sekali. Waktunya benar-benar untuk cari penumpang.
Padahal rumahnya tidak jauh. Hanya di Gresik. Tetangga kota Surabaya. Tapi ia berpendapat biaya sedikit pun harus dihemat. Untuk biaya kuliah istrinya.
”Kenapa Anda merasa tidak kuat kuliah?” tanya saya.
”Sudah pernah saya coba,” katanya.
Waktu itu ia mencoba masuk pondok modern Gontor Ponorogo. Yang disiplinnya luar biasa. Terutama dalam mengontrol siswa berbahasa asing: Arab dan Inggris. “Saya angkat tangan,” katanya.
Maftuh percaya pada takdir. Juga percaya pada berkah kyai. Bagi santri yang taat, rendah hati dan punya rasa hormat. Bagi santri yang tawadhuk.
Maftuh seorang santri. Di pondok pesantren Tambak Beras, Jombang. Salah satu pondok ‘bintang sembilan’ di Indonesia.
Delapan tahun Maftuh sekolah di situ. Belajar agama. Belajar berkepribadian. Belajar rendah hati. Belajar kitab kuning –buku yang ditulis dengan huruf Arab tanpa tanda-tanda baca.
Ia mengabdikan diri ke kyai di situ. Juga kepada bu Nyai –sebutan untuk istri Kyai.
Disuruh apa saja bersedia. Dengan ketulusan tiada tara. Hanya kata ‘ya’ yang ada. Hanya menundukkan mata yang bisa dilakukannya. Delapan tahun lamanya.
Ia percaya semua itu ada berkahnya. Berkah dari Kyai. Berkah dari Bu Nyai –yang sekarang menjadi wakil bupati.
Nyai Munzidah Wahab. Putri kyai besar Wahab Chasbullah. Lalu jadi bupati. Setelah bupatinya ditangkap KPK belum lama ini. Tanpa berkah kyai, katanya, ia tidak akan bertemu sang istri.
Pembicaraan terputus. Taksi tiba di rumah saya. Ia tidak mau dibayar. Kami eyel-eyelan. Akhirnya saya lemparkan uang ke dashboardnya. Lalu lari masuk rumah.
Ia mengejar saya. Dengan mencopot baju Blue Birdnya. Untuk minta foto bersama. Untuk ditunjukkan ke Faradiba. Saya ganti minta nomor HP Faradiba. Untuk kirim WA kepadanya.
Benarkah karena ganteng?
”Tidak hanya karena ganteng. Saya ingat pembicaraan di taksi dulu itu menunjukkan ia sangat dewasa,” ujar Faradiba.
Itulah impian wanita. Ganteng. Baik. Dewasa. Bukan hanya harta.
Bukan hanya harta? (Dahlan Iskan)