GIANYAR – Pelukis bergaya naive art, Arief Firmansah Sahidu alias Bedel, menggelar pameran lukisan di Desa Guwang Kecamatan Sukawati.
Ada sepuluh karya seni yang ia pamerkan pada gelaran Kulidan Kitchen and Space.
Pameran yang rencananya digelar mulai 14-28 Oktober 2018, Arief Bedel lebih banyak menyajikan nuansa anak-anak.
Arief menilai anak-anak punya pandangan jujur.
“Dengan gaya naive (kekanak-kanakan, red), saya ambil dengan memaknai bahwa kejujuran tempatnya adalah di usia anak-anak,” ujar Arief, Selasa (16/10).
Kata Arief, kejujuran dalam perspektif orang dewasa adalah dalam melihat kenyataan kondisi sekitar.
“Di situlah kemudian saya bisa menyisipkan pesan-pesan melalui lukisan saya,” jelas pelukis berambut gondrong itu.
Dijelaskan Arief, karya yang dibuat pada 2018 tersebut, penuh dengan warna-warni layaknya pelangi.
Bahkan, beberapa karyanya terlukis pelangi membentang di lukisan.
Dijelaskan, pelangi sendiri muncul saat hujan rintik atau hujan telah berlalu. Hujan berarti membawa kesuburan, juga menyenangkan anak-anak yang ingin bermain.
“Di saat pelangi yang warna-warni muncul, orang menjadi senang, bersuka ria. Bahkan ada yang bilang jika melihat dua (pelangi, red) merupakan tanda keberuntungan,” jelasnya.
Di sisi lain, munculnya pelangi di kala hujan juga memunculkan perasaan lain.
Terkadang membuat menjadi sedih, malas beraktivitas, dingin, tidak ingin pergi ke suatu tempat dan alasan beragam lainnya.
“Warna (pelangi, red) yang membawa kita bersuka ria ternyata suatu dualisme.
Kebanyakan kejadian hari ini adalah sampah belaka, kita lupa akan nilai-nilai baik yang sebenarnya kita miliki,” tambahnya.
Dari 10 karya yang dipajang, ada berjudul The Nigtmare yang melukiskan sosok orang bertopi dan berkemeja yang berisi lencana di pundaknya.
Juga ada lukisan Moksa yang melukiskan orang-orang naik ke atas balon udara.
Juga ada lukisan Before 29 July 2018; Hysterical Holocaust; Superman Never Dead Because He Never Born; Peacefull; dan lainnya.
Sementara itu, Founder Kulidan, Komang Adi, melihat karya Arief ini memparodikan situasi kekinian, terutama dengan narasi politik bangsa Indonesia.
“Dengan pura-pura masa bodoh, EGP (Emang Gue Pikirin, red), kita memikirkan situasi kebangsaan secara mendalam. Sangat prihatin sebenarnya dengan realita zaman ini,” ungkapnya.
Lanjut Komang Adi, beberapa karya mengangkat masalah politik berkemanusiaan yang tergores dalam Hysterical Holocaust, juga ada karya yang tak tertulis di sejarah seperti The Nigthmare.
“Sebenarnya kekaryaannya penuh kekelaman, tapi ia (pelukis, red) ingin mengajak semua tetap bersuka ria dengan apa yang kita hadapi bersama-sama,” tukasnya.