DENPASAR – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Perumahan bakal melakukan advokasi hukum.
Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin membeli rumah bersubsidi.
Hal ini untuk menjamin kelancaran penyaluran rumah bersubsidi di daerah-daerah yang kerap kali timbul permasalahan dalam penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Dedy S. Budisusetyo, Kepala Bagian Hukum dan Komunikasi Publik, Ditjen Pembiayaan Perumahan mengatakan, dalam penyaluran rumah bersubsidi ini,
masyarakat kerap kali mengalami permasalahan yang ditimbulkan oleh oknum nakal baik dari kalangan pengembang maupun bank penyalur KPR.
“Ini untuk memberikan pendampingan hukum bagi masyarakat yang merasa dipersulit atau dirugikan. Karena selama ini fakta di Lapangan tidak selalu berjalan mulus,” tutur Dedy S Budisusetyo kemarin.
Berdasar fakta di lapangan, permasalahan yang muncul di kalangan pengembang biasanya tidak sesuai spesifikasi rumah bersubsidi yang ditentukan pemerintah.
Misalnya, penggunaan material seperti besi yang seharusnya standarnya menggunakan besi 10, namun menggunakan besi 8 atau 7.
Sementara permasalahan yang dihadapi masyarakat dengan pihak perbankan kerap dipersulit saat melakukan pengurusan administrasi KPR.
“Padahal, memenuhi syarat mendapat KPR, tapi dipersulit karena ada orang lain yang diberikan,” jelasnya.
Melalui Forum Discussion Group (FGD) tersebut, diharapkan bisa memberikan solusi dari pihak terkait dan tidak lagi terjadi
permasalahan yang dapat menghambat penyaluran rumah bersubsidi kepada masyarakat yang memang layak membutuhkan.
“Kalau di daerah, masyarakat yang dirugikan boleh mengadu ke Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Sanksi nya itu kami putus kerjasama dan didorong untuk dipidana,” tegas Dedy.
Sepanjang tahun 2018 hingga bulan Oktober, realisasi pembiayaan perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) atau rumah bersubsidi di Seluruh Indonesia mencapai Rp 2,171 triliun dengan penyaluran 19.635 unit rumah.
Dalam penyaluran KPR bersubsidi, pemerintah punya konsep. Di mana proporsi pendanaan bersumber dari APBN dan juga perbankan.
“Porsinya itu 75 persen dari APBN yang disalurkan bank penyalur, dan 25 persen bersumber dari bank. Dengan proporsi itu artinya negara hadir bagi masyarakat yang selama ini menganggap uang KPR itu uang bank semua,” terangnya.
Sementara itu Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi Bali, I Ketut Artika yang juga hadir dalam acara tersebut mengungkapkan untuk di Bali sendiri sejauh ini belum ada pengaduan yang diterima.
Dari 5.000 unit jatah rumah bersubsidi di Bali yang diberikan pemerintah hingga saat ini sudah tersalurkan 3.500 unit yang tersebar di empat Kabupaten seperti Tabanan, Buleleng, Jembrana dan Karangasem.
“Kebanyakan ada di Buleleng,” tuturnya. Diakui, untuk di Bali memang ada pengajuan dari pengembang untuk diberikan spesialisasi harga.
Ini mengingat harga tanah di Bali lebih tinggi dibanding daerah lainnya. “Kami masih bahas ini, dan koordinasi dengan Kementerian PUPR. Kami berharap, backlog atau kebutuhan rumah bisa menurun,” tandasnya.
Backlog perumahan di Bali sendiri hingga saat ini mencapai 240 ribu unit untuk backlog kepemilikan, sedangkan backlog hunian 103 ribu unit.