DENPASAR – Operasi tangkap tangan ( OTT) yang dilakukan aparat kepolisian ke sejumlah pecalang dan juru parkir yang dikelola desa adat di Bali menuai banyak kritikan.
Terlebih dasar yang dipakai dalam melakukan pungutan adalah pararem dan awig-awig. Wajar kalau operasi kepolisian tujuan besarnya adalah pelemahan desa adat.
Kondisi tersebut dipahami betul Gubernur Bali Wayan Koster. Karena itu, Gubernur Koster menyatakan Pemprov Bali berjanji
akan memberikan kewenangan bagi desa adat untuk menyelenggarakan program tertentu seperti kewenangan menggali pendapatan di desanya masing-masing.
Termasuk mendapatkan bantuan keuangan dari APBN dan APBD, serta mekanisme pengalokasiannya.
“Makanya nanti saya akan buatkan aturan, dasarnya apakah Pergub atau Perda sedang kita kaji. Karena kita kan sedang merevisi Perda Desa Adat,” ujar Koster.
Menurutnya, tidak ada aturan yang memayungi pungutan di desa adat. Selama ini petugas desa hanya menggunakan dasar pararem dan awig-awig.
“Disitu nanti desa adat bisa menggali sumber pendapatan dengan menggunakan peraremnya. Sekarang kan desa adat menggunakan perarem, awig-awig, kan tidak ada aturan diatasnya,” jelasnya.
Karena ketiadaan payung hukum inilah yang akhirnya menimbulkan distorsi. Padahal, upaya untuk menggali pendapatan yang dilakukan desa adat sebetulnya bukan penyimpangan.
Pasalnya, uang yang didapat sebagai bagian dari sumbangan atau kontribusi untuk desa adat tidak disalahgunakan. Tujuannya dipakai untuk kepentingan desa adat itu sendiri.
“Desa adat melakukan itu pasti atas dasar forum masyarakat di desa adat. Sebenarnya bukan pungutan menurut saya, itu kontribusi biasa. Hanya memang aturannya tidak ada,” jelasnya lagi.
Oleh karena itu Koster meminta masyarakat di desa adat bersabar. Setelah merampungkan pembahasan APBD Induk 2019, pihaknya akan langsung membuat pengaturan.
Yakni, payung hukum bagi kewenangan desa adat memungut pungutan ke warga.