32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 16:12 PM WIB

Umbu Landu Pioner Sastra Bali, Regenerasi Sastrawan Berjalan Alami

Perkembangan dunia sastra di Bali tetap menggeliat. Selalu ada bibit baru bermunculan. Tak hanya Denpasar sebagai ibu kota provinsi, namun juga menyeluruh di hampir semua daerah di Bali, meski tidak semasif Denpasar.

 

SECARA umum kesusasteraan di Bali menurut Wayan “Jengki” Sunarta, terbagi dua. Sebelum masa Umbu Landu Paranggi dan setelahnya.

Kedatangan Umbu Landu Paranggi ke Bali di tahun 1978, kata salah satu sastrawan yang malang melintang di dunia sastra, ini memberi warna tersendiri.

Namun, jauh sebelum itu, sejatinya geliat sastra di Bali juga sudah berkembang. “Tapi, lebih bergeliat memang saat zaman Umbu. Terlebih setelah memegang rubrik budaya di harian media lokal Bali,” jelasnya.

Dari rubrik itu, konsen Umbu untuk menggeliatkan dunia sastra difokuskan untuk menggodok benih-benih muda untuk muncul ke permukaan.

Bahkan, kata Jengki, terjadi surplus hingga saat ini. “Dari berbagai even hingga menggelar apresiasi sastra hingga turun ke sekolah-sekolah untuk mencari bibit baru di kalangan remaja,” kata pria asal Denpasar ini.

Selain dunia puisi, novel dan cerita pendek (cerpen) juga bermunculan di Bali. Namun, kata dia, bisa dihitung dengan jari.

Puisi jadi kekuatan sastra di Bali. Nama-nama seperti Cok Sawitri, Oka Rusmini, Gede Ariana, Tan Lioe Ie termasuk ia sendiri, telah turut membawa sastra Bali menggaung.

Banyak sanggar bermunculan, salah satunya Sanggar Minum Kopi (SMK) yang digagas beberapa nama penting tersebut, hingga lahirnya banyak sanggar-sanggar baru.

“Regenerasi jalan terus tidak pernah putus. Banyak sekali seperti di bawahku ada Warih Wicaksana. Hingga akhirnya proses seleksi alam yang membuat beberapa orang bisa bertahan dalam kondisi saat ini,” terangnya.

Bali bahkan menjadi salah satu barometer bagi dunia seni puisi di Indonesia. Sastrawan-sastrawan Bali kerap terlibat dalam acara sastra nasional maupun internasional.

“Banyak juga yang menerima penghargaan internasional. Seperti Oka Rusmini salah satunya yang meraih SEA Awards di Thailand. Karya sastrawan Bali banyak dimuat di media-media nasional,” kata Jengki.

Gerakan literasi, termasuk dalam kesusastraan juga tumbuh, seiring banyaknya pementasan yang digelar di beberapa daerah.

Selain Denpasar ada juga Buleleng dan Jembrana yang tetap bergelit. Di Buleleng, kini juga muncul komunitas literasi, termasuk sastra, melalui Made Adnyana “Ole”. Sedangkan di Jembrana, ada Nanoq da Kansas.

Adnyana Ole membenarkan hal tersebut. Lewat komunitas kecil bernama Mahima, ia dan sang istri Sonia Piscayanti, seorang dosen Sastra Inggris di Undiksha, memperpanjang napas dunia sastra di Bali Utara.

Kata Ole, di Bali Utara sendiri jauh sebelum ini, dunia sastra cukup menggeliat. Karena sempat didaulat sebagai Ibu Kota Bali di era kolonial dulu.

Beberapa nama sastrawan ternama nasional seperti AA Panji Tisna. “Selain Panji Tisna sebenarnya banyak lagi. Cuma karena saat itu kejadian Gestok di tahun 1965 banyak yang menghilang.

Tapi, nama-nama yang cukup tenar seperti Oka Sukanta, Gede Darna. Pergaulan intelektual di Singaraja memang bergeliat seperti kelompok Bali Adnyana dan lainnya,” beber Ole.

Sekadar diketahui, di era sebelum kemerdekaan, Bali Utara juga pernah lahir pertarungan wacana melalui media massa, antara kelompok Bali Adnyana dan Surya Kanta.

Yang satu mempertahankan kekastaan, yang satu membawa misi kesetaraan. Menurut Ole, banyak juga sastrawan nasional yang berlabuh di Singaraja di tahun 1980-an.

Seperti Sunaryono Basuki KS yang juga menjadi dosen Undiksha. Ada pula Hardiman yang lebih dikenal sebagai pelukis namun juga kerap melahirkan karya tulisnya.

“Pada era tahun 2000-an ke atas sempat mengalami masa jeda, beberapa tahun. Di sinilah saya mencoba melanjutkan,” jelas pria asal Banjar Ole, Marga, Tabanan ini.

Ole mengakui, sejak ia bergaul di Denpasar pelaku-pelaku sastra dari Buleleng memang memiliki kreativitas yang berbeda dari daerah lainnya.

Ini tidak terlepas dari predikat Singaraja sebagai Kota Pendidikan. Di Kampus Undiksha sendiri memiliki Fakultas Sastra.

“Nah di Mahima ini lebih mengakomodasi kelompok pergaulan. Jadi menjadi wadah untuk kumpul, diskusi tentang dunia sastra. Tidak hanya sekadar teknik menulis, diksi dan lainnya.

Tapi di luar itu, seperti mengenalkan tokoh sastra dan berbincang ringan. Jadi memberikan ruang ekspresi apa yang tidak didapat di bangku kuliah,” tandasnya.

Perkembangan dunia sastra di Bali tetap menggeliat. Selalu ada bibit baru bermunculan. Tak hanya Denpasar sebagai ibu kota provinsi, namun juga menyeluruh di hampir semua daerah di Bali, meski tidak semasif Denpasar.

 

SECARA umum kesusasteraan di Bali menurut Wayan “Jengki” Sunarta, terbagi dua. Sebelum masa Umbu Landu Paranggi dan setelahnya.

Kedatangan Umbu Landu Paranggi ke Bali di tahun 1978, kata salah satu sastrawan yang malang melintang di dunia sastra, ini memberi warna tersendiri.

Namun, jauh sebelum itu, sejatinya geliat sastra di Bali juga sudah berkembang. “Tapi, lebih bergeliat memang saat zaman Umbu. Terlebih setelah memegang rubrik budaya di harian media lokal Bali,” jelasnya.

Dari rubrik itu, konsen Umbu untuk menggeliatkan dunia sastra difokuskan untuk menggodok benih-benih muda untuk muncul ke permukaan.

Bahkan, kata Jengki, terjadi surplus hingga saat ini. “Dari berbagai even hingga menggelar apresiasi sastra hingga turun ke sekolah-sekolah untuk mencari bibit baru di kalangan remaja,” kata pria asal Denpasar ini.

Selain dunia puisi, novel dan cerita pendek (cerpen) juga bermunculan di Bali. Namun, kata dia, bisa dihitung dengan jari.

Puisi jadi kekuatan sastra di Bali. Nama-nama seperti Cok Sawitri, Oka Rusmini, Gede Ariana, Tan Lioe Ie termasuk ia sendiri, telah turut membawa sastra Bali menggaung.

Banyak sanggar bermunculan, salah satunya Sanggar Minum Kopi (SMK) yang digagas beberapa nama penting tersebut, hingga lahirnya banyak sanggar-sanggar baru.

“Regenerasi jalan terus tidak pernah putus. Banyak sekali seperti di bawahku ada Warih Wicaksana. Hingga akhirnya proses seleksi alam yang membuat beberapa orang bisa bertahan dalam kondisi saat ini,” terangnya.

Bali bahkan menjadi salah satu barometer bagi dunia seni puisi di Indonesia. Sastrawan-sastrawan Bali kerap terlibat dalam acara sastra nasional maupun internasional.

“Banyak juga yang menerima penghargaan internasional. Seperti Oka Rusmini salah satunya yang meraih SEA Awards di Thailand. Karya sastrawan Bali banyak dimuat di media-media nasional,” kata Jengki.

Gerakan literasi, termasuk dalam kesusastraan juga tumbuh, seiring banyaknya pementasan yang digelar di beberapa daerah.

Selain Denpasar ada juga Buleleng dan Jembrana yang tetap bergelit. Di Buleleng, kini juga muncul komunitas literasi, termasuk sastra, melalui Made Adnyana “Ole”. Sedangkan di Jembrana, ada Nanoq da Kansas.

Adnyana Ole membenarkan hal tersebut. Lewat komunitas kecil bernama Mahima, ia dan sang istri Sonia Piscayanti, seorang dosen Sastra Inggris di Undiksha, memperpanjang napas dunia sastra di Bali Utara.

Kata Ole, di Bali Utara sendiri jauh sebelum ini, dunia sastra cukup menggeliat. Karena sempat didaulat sebagai Ibu Kota Bali di era kolonial dulu.

Beberapa nama sastrawan ternama nasional seperti AA Panji Tisna. “Selain Panji Tisna sebenarnya banyak lagi. Cuma karena saat itu kejadian Gestok di tahun 1965 banyak yang menghilang.

Tapi, nama-nama yang cukup tenar seperti Oka Sukanta, Gede Darna. Pergaulan intelektual di Singaraja memang bergeliat seperti kelompok Bali Adnyana dan lainnya,” beber Ole.

Sekadar diketahui, di era sebelum kemerdekaan, Bali Utara juga pernah lahir pertarungan wacana melalui media massa, antara kelompok Bali Adnyana dan Surya Kanta.

Yang satu mempertahankan kekastaan, yang satu membawa misi kesetaraan. Menurut Ole, banyak juga sastrawan nasional yang berlabuh di Singaraja di tahun 1980-an.

Seperti Sunaryono Basuki KS yang juga menjadi dosen Undiksha. Ada pula Hardiman yang lebih dikenal sebagai pelukis namun juga kerap melahirkan karya tulisnya.

“Pada era tahun 2000-an ke atas sempat mengalami masa jeda, beberapa tahun. Di sinilah saya mencoba melanjutkan,” jelas pria asal Banjar Ole, Marga, Tabanan ini.

Ole mengakui, sejak ia bergaul di Denpasar pelaku-pelaku sastra dari Buleleng memang memiliki kreativitas yang berbeda dari daerah lainnya.

Ini tidak terlepas dari predikat Singaraja sebagai Kota Pendidikan. Di Kampus Undiksha sendiri memiliki Fakultas Sastra.

“Nah di Mahima ini lebih mengakomodasi kelompok pergaulan. Jadi menjadi wadah untuk kumpul, diskusi tentang dunia sastra. Tidak hanya sekadar teknik menulis, diksi dan lainnya.

Tapi di luar itu, seperti mengenalkan tokoh sastra dan berbincang ringan. Jadi memberikan ruang ekspresi apa yang tidak didapat di bangku kuliah,” tandasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/