DENPASAR – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali mulai menggarap kasus dugaan korupsi dana desa Desa Dauh Puri Kelod, Denpasar Barat.
Kasipenkum dan Humas Kejati Bali, Edwin Beslar menyatakan saat ini tim pidana khusus (pidsus) Kejati Bali sedang melakukan penelitian terhadap kasus yang diperkirakan merugikan negara hampir Rp 1 miliar itu.
“Iya, sekarang kami tahap penelitian,” ujar Kasipenkum dan Humas Kejati Bali, Edwin Beslar saat dikonfirmasi kemarin (25/1). Penelitian dimaksud yakni pemeriksaan dokumen dan surat yang ada.
Ditanya apakah sudah ada pemanggilan terhadap pelapor atau pihak terkait, Edwin menyebut belum ada. Namun, lanjut Edwin, kalaupun ada pemanggilan masih dalam tahap penelitian kasus.
Kembali dikejar apakah Kejati serius dalam menangani kasus ini, Edwin memeberi jawaban diplomatis.
“Namanya ada laporan dari masyarakat maka kami tindaklanjuti. Faktanya seperti apa, cukup bukti atau tidak nanti setelah penelitian,” ucapnya.
Kendati demikian, jaksa asal Manado itu menegaskan jika cukup bukti ditemukan unsur tindak pidana korupsi, maka status penelitian akan ditingkatkan.
Edwin juga mempersilakan pelapor yakni I Nyoman Mardika untuk mengecek perkembangan kasus ini karena sudah mendapat surat tanda terima laporan diterima.
“Perkembangan kasus ini seperti apa, pelapor punya hak mengecek perkembangannya,” tukas Edwin.
Sementara itu, Mardika sendiri memercayakan penyelidikan kasus ini kepada Kejati Bali. Alasannya, laporannya di tingkat Kota Denpasar melalui Inspektorat terkesan mentok.
“Sepertinya lebih taktis kalau langsung ke Kejati,” kata Mardika. Mardika sendiri sebagai salah seorang warga Desa Dauh Puri Kelod, menegaskan melapor ke Kejati Bali sebagai warga biasa yang kebetulan mengetahui masalah ini.
Tidak ada tendensi politik apapun dalam mengungkap kasus ini. Ia melakukan semua ini murni karena tidak ingin ada konspirasi mengorupsi dana desa di desanya.
Mardika mengaku sudah melapor secara lisan ke Kejati Bali pada 7 Januari 2019 lalu. “Kami sebenarnya sudah cukup lama bersabar karena ada juga masukan
dari sejumlah pihak agar tidak dilaporkan sambil dicarikan penyelesaian. Tapi, sampai sekarang tidak ada kejelasan,” ujar Mardika.
Ditanya kronologi dugaan penyelewengan dana desa di desanya, Mardika mengungkapkan dugaan itu bermula dari evaluasi internal dana APBDes tahun 2017.
Dari hasil audit itu ditemukan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 1,95 miliar.
Namun, setelah dimintai pertanggungjawaban, perangkat desa yakni perbekel, bendahara, dan kaur keuangan tidak bisa menunjukkan jumlah uang Rp 1,95 miliar.
Dana yang tersedia hanya Rp 900 juta. “Anehnya separo lebih dana yang tidak ada itu tidak diketahui siapa yang mengambil. Mereka tidak ada yang mau mengakui.
Akhirnya, dibentuklah tim penelusuran kasus. Salah satu anggotanya adalah saya,” beber pria 47 tahun itu.
Meski demikian proses audit internal berlanjut dengan melibatkan auditor independen. Hasilnya menemukan selisih yang tidak beda jauh dengan evaluasi sebelumnya.