JIMBARAN – Untuk mewujudkan energi baru terbarukan (EBT) melalui tenaga surya, sejatinya bukan barang baru di Bali.
Di Bali sendiri, sudah terdapat tiga proyek PLTS, di antaranya berada di Nusa Penida, Bangli, dan Karangasem.
Sayangnya, ketiganya dapat disebut proyek pemerintah yang terlalu ambisius dan gagal. Lalu bagaimana menyikapi hal ini?
Prof. Ida Ayu Dwi Giriantari, Ph.D., Ketua Tim CORE Universitas Udayana dalam diskusi Peta Jalan Pengembangan Energi Surya di Bali yang digelar di Jimbaran menyebut proyek tersebut layak gagal.
“Pembangungan PLTS dulu dan sekarang berbeda. Dulu itu top down, tidak ada kajian dan juga keterlibatan masyarakat,” ujar Prof Dwi Giriantari, Jumat (12/4) kemarin.
Untuk itu, Prof Giriantari menyebut proyek pemerintah tersebut menjadi tidak berkembang hingga sekarang ini.
Terlebih, proyek ambius yang dulu tak melibatkan masyarakat, kini terulang lagi. Untuk itu pihaknya kini masih melakukan kajian.
“Iya kan. Jangan sampai masyarakat di beri duren runtuh yang ternyata tak bisa dimakan,” ujarnya lagi.
Prof Giriantari menyebut, ada sejumlah potensi di Bali dalam mengembangkan pembangunan energi surya. Yakni dengan memasang di atap hotel, bangunan pemerintah, bisnis, dan perumahan baru.
“Kalau di hotel, tentu penggunakan sesuai dengan persentase dari luas lahan. Apalagi di bangunan pemerintah yang aktivitasnya hanya siang hari. Jadi, tepat menggunakan energi matahari,” jelasnya.
Bila melihat target pemerintah provinsi Bali dengan mendapatkan energi 425 MW dari PLTS di tahun 2025, bagi Prof Giriantari menjadi hal yang wajar dan kemungkinan dapat tercapai.
Katanya, bila bangunan pemerintah di Puspem Badung misalnya menggunakan PLTS, itu dapat menghasilkan sekitar 20 MW.
Begitu juga dengan di kawasan hotel di Nusa Dua yang dalam hitungannya dapat menghasilkan 25 MW. Tapi bagaimana dengan arsitektur Bali-nya? Kan bangunan jadi kurang menarik dilihat?
“Oh tentu tidak akan menghilangkan ke-bali-annya, namun juga tetap dapat mengadopsi teknologi kebaruan,” jelasnya.