DENPASAR – Selain menyoroti tentang upah minimum, DPRD Bali juga menyoal tentang nasib tenaga kerja yang masih magang.
Selama ini ternyata banyak tenaga magang yang dieksploitasi perusahaan. Hal itu terungkap dalam pembahaan Rancangan Perda (Ranperda) Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di DPRD Bali kemarin (24/6).
“Di banyak tempat (perusahaan), memberlakukan tenaga magang ini malah dieksploitasi. Meskipun tidak semua perusaan seperti itu.
Karena siapa sih yang tidak senang dapat fresh graduate. Sekalipun belum cakap. Tapi, upahnya dibayar secara tidak jelas,” tegas Ketua Komisi IV DPRD Bali, I Nyoman Parta.
Padahal, tujuannya pemagangan yaitu untuk meningkatkan keterampilan serta memberi pengalaman dunia kerja bagi fresh graduate.
Di samping itu, magang juga bisa dimanfaatkan sebagai lompatan sembari mencari pekerjaan tetap. Namun, ironisnya posisi tenaga kerja magang ini paling tidak jelas statusnya.
Baik dari sisi waktu kerjanya serta besaran upahnya. Banyak perusahaan menghindari upah minimum dengan memagangkan orang berlama-lama.
Karena itu, dalam perda yang sedang disusun sekarang, pekerja magang mesti mendapatkan upah minimum.
Selain itu, masa pemagangan juga dibatasi maksimal satu tahun. Dan, tidak boleh diperpanjang lagi. Apalagi, tenaga magang kerjanya hampir sama dengan pekerja tetap.
“Masak kerja terus-terusan tanpa status tidak jelas. Upah juga tidak jelas. Ini yang harus diperbaiki. Pastikan (magang) tidak boleh
satu tahun di perpanjang lagi. Maksimal satu tahun dan diberikan upah minimum,” tandas politisi asal Gianyar itu.
Ditegaskan Parta, pemagangan tenaga kerja juga wajib dilaporkan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) di kabupaten/kota.
Tembusannya ke Disnaker Bali. Tapi selama ini di kabupaten tidak ada dilaporkan. Selain mengulas soal tenaga magang,
pembahasan kemarin juga mengangkat soal kewajiban pemerintah untuk menyediakan dana bagi tenaga kerja di Bali untuk meningkatkan pengalaman melalui mekanisme uji kompetensi.
Kewajiban ini, kelak bisa memang menjadi sebuah keharusan, tentu akan menjadi batu sandungan bagi para tenaga kerja di Bali. Terutama mereka yang belum memiliki biaya. Apalagi mereka yang baru bekerja.
Terutama mereka yang belum memiliki biaya secara pribadi. Apalagi mereka baru bekerja enam bulan.
Hampir 50 persen dari tenaga kerja tidak mampu untuk menyiapkan biaya untuk kepentingan uji kompetensi.
Menurut Parta, kalau kondisi itu dibiarkan terus, saat ujian ini menjadi sebuah keharusan, seperti di pemerintah, nanti pekerja di Bali akan tertinggal.
Tidak bisa bersaing lantaran mereka tidak bisa memenuhi satu persyaratan.