NEGARA – Rencana Pemkab Jembrana mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jembrana, tampaknya, sulit terwujud.
Meski sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Jembrana tentang BPR, mewujudkan bank tersebut banyak mendapat kendala.
Bukan hanya kendala seleksi direksi dan komisaris, melainkan kendala penyertaan modal yang belum mampu dipenuhi.
Sekretaris Daerah (Sekda) Jembrana I Made Sudiada mengatakan, pemkab telah melakukan konsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta.
Di antaranya meminta saran mengenai perekrutan calon anggota direksi dan calon anggota komisaris BPR yang kan dibentuk.
Menurutnya, masukan dan sarana dari OJK ini sangat penting untuk membentuk badan hukum BPR.
Karena sudah diterbitkan Perda Jembrana tentang pendirian BPR, tetapi dalam prosesnya sampai sekarang belum terwujud untuk mendapat calon anggota direksi dan komisaris.
Termasuk mengenai pos anggaran dalam proses pembentukan BPR yang bisa dibiayai APBD Jembrana. “Saran dan masukan dari OJK juga sudah kami sampaikan pada dewan,” jelasnya.
Dari hasil konsultasi tersebut terdapat empat poin penting masukan OJK. Di antaranya, mengacu pada PP No. 54 tahun 2017 tentang BUMD.
Sebelum mendirikan BPR dan Perda, semestinya terlebih dahulu menganalisa kebutuhan dan analisa kekayaan,
aspek peraturan perundangan, ketersediaan teknologi dan sumberdaya manusia, sehingga tidak ada kesulitan perekrutan calon anggota BPR seperti saat ini.
“Calon direksi dan komisaris harus memenuhi persyaratan dan dana APBD tidak boleh digunakan untuk membiayai diklat dan sertifikat calon pengurus,” tegasnya.
Karena Perda Jembrana tentang pendirian BPR yang merupakan inisiatif dari DPRD Jembrana sudah ditetapkan sebelum
PP No. 54 tahun 2017 tentang BUMD, maka Perda harus direvisi karena ada beberapa poin yang tidak sesuai dengan peraturan yang baru.
Dalam perda revisi juga disarankan mengatur secara umum, tidak secara teknis. Mengingat pembuatan BPR memerlukan biaya mahal dna waktu yang lama.
Sudiada menambahkan, pendirian BPR Jembrana selain harus memenuhi sejumlah aturan dari OJK dan memenuhi syarat yang telah ditentukan, ada syarat penting yang harus menjadi pertimbangan.
Yaitu mengenai masalah penyertaan modal yang disyaratkan mendirikan BPR baru sebesar Rp 24 miliar, padahal sebelumnya hanya ada Rp 6 miliar penyertaan modal.
“Kalau penyertaan modal sedikit, sudah pasti tidak bisa, sedangkan kemampuan pemerintah tidak bisa lebih banyak seperti disyaratkan,” terangnya.
Disamping itu, berdasarkan hasil konsultasi tersebut, OJK mengungkapkan bahwa dalam hal pendirian BPR di Bali sudah tidak bisa dilakukan.
Bali sudah masuk dalam kategori jenuh karena sudah ada 135 buah BPR yang beroperasi. Sehingga, OJK sebenarnya tidak lagi ingin menerbitkan ijin BPR baru di Bali.
Apabila ada yang mendirikan BPR di Bali, disarankan mengakuisisi BPR yang sedang kesulitan modal.
Akan tetapi, karena BPR Jembrana yang didirikan merupakan milik pemerintah, maka tetap akan difasilitasi dengan ketentuan permodalan sesuai dengan analisa OJK
wilayah Jembrana masuk empat kali lipat dari modal minimal, dimana Jembrana masuk zona minimal modal Rp 6 miliar.
Artinya, modal yang harus disetor minimal untuk mendirikan BPR baru sebesar Rp 24 miliar. “Belum lagi syarat mengenai direksi
dan komisaris harus memiliki kompetensi sertifikat BPR dan memiliki pengetahuan cukup tentang dunia perbankan,” tegasnya.
Sebagai catatan, rencana mendirikan PT. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Jembrana, sejak 2017 lalu atau sejak ditetapkan perda yang diusulkan dewan Jembrana.
Namun hingga saat ini belum ada kepastian terbentuknya bank milik pemerintah kabupaten ini.