Meski untung yang didapat tak seberapa, gara-gara perbuatannya, Ni Ketut Suarniti harus menanggung resiko berat. Bahkan ia terancam hukuman denda dan bui karena menjual obat keras tanpa memiliki kewenangan dan keahlian. Seperti apa?
M.BASIR, Negara
Sebagai pedagang kelontong di Pasar Tegal Cangkring, Kecamatan Mendoyo, Suarniti tak menyangka jika niatnya untuk memenuhi kemauan pelanggan justru berujung di kursi pesakitan.
Perempuan dengan tubuh subur itu harus diadili setelah kedapat menjual obat dengan kategori obat keras atau bersimbul “K”
Apesnya lagi, saat kedapatan menjual obat keras, terdakwa Suarniti tak memiliki keahlian atau kewenangan memberikan pelayanan atau menjual obat keras itu.
Seperti terungkap saat sidang perdana di Pengadilan negeri (PN) Negara, dengan Majelis Hakim pimpinan Haryuning Respanti, Selasa (2/7). Sidang dengan agenda pembacaan surat dakwaan dan pemeriksaan saksi, perempuan dengan tubuh subur itu oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) didakwa dengan Pasal 198 Undang Undang 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Sedangkan saat pemeriksaan saksi, JPU menghadirkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai saksi ahli dan sebagai pihak yang mengamankan terdakwa sebagai saksi dan seorang mantan karyawan toko sebagai saksi.
Saat pemeriksaan saksi, hakim ketua mencecar saksi Melissa dari BPOM Loka Buleleng. Diantaranya, mempertanyakan kewenangan pengawasan, regulasi pengawasan dan tugas pokok dan fungsi pengawasan BPOM, mulai dari saat produksi obat hingga peredaran obat yang semestinya tidak dijual bebas oleh masyarakat. “Hanya apotek yang boleh menjual jenis obat ini yang mulia,” kata Melissa.
Karena saksi menyebut sudah memiliki daftar apotek karena masuk dalam pengawasan. Begitu juga toko kelontong diawasi untuk mengantisipasi jual beli obat yang semestinya tidak dijual. BPOM juga mengecek dan pesanan dari apotek mengenai obat yang dibutuhkan dan mengawasi peredarannya. Lantas hakim menanyakan mengapa obat keras bisa sampai dijual terdakwa yang tidak memiliki apotek, tidak memiliki keahlian.
Saksi menyebut bahwa saat memeriksa terdakwa tidak menanyakan asal obat yang dijual tersebut. Sebanyak lima jenis obat yang menjadi barang bukti, diantaranya jenis obat supertetra sebanyak 95 kapsul, ampicillin trihydrate 40 caplet, tetracycline 500 mg sebanyak 290, amoxycillin trihydrate sebanyak 90 caplet dan tetracycline HCl 250 mg sebanyak 10 kapsul.
Sementara terdakwa mengaku menjual obat keras tersebut karena pemintaan dari pelanggan. Setiap membeli dari sales yang membawa sebanyak dua kotak dengan isi setiap kotak sekitar 10 pipil. Setiap penjualan satu pipil obat hanya mendapat keuntungan Rp 1000. “Biasanya dua kotak habis dua minggu, tidak pasti juga,” ungkap terdakwa.
Hakim ketua mengingatkan terdakwa agar tidak lagi menjual obat yang masuk kategori keras tersebut karena tidak memiliki keahlian dan kewenangan. “Jangan karena asalan permintaan pelanggan nanti ketemu lagi sama saya. Jangan lagi jual obat itu (obat keras sesuai dengan resep dokter) karena tidak punya keahlian,” terang hakim