SINGARAJA – Penyidik Unit Reskrim Polsek Singaraja dilaporkan ke Polda Bali dan Komnas HAM atas dasar dianggap unprosedural (tidak sesuai aturan) menangani kasus pemalsuan surat keterangan ke dalam akta otentik.
Kasus itu menjerat Putu Suarjana dan ditangkap setelah tidak memenuhi panggilan penyidik untuk diperiksa dalam kasus itu.
Kuasa hukum tersangka Putu Suarjana, Gede Harja Astawa, menemukan banyak kejanggalan dalam penanganan kasus kliennya.
Salah satunya adalah tandatangan Kapolsek Kota Singaraja Kompol. A.A Wiranata Kusuma pada surat Perintah Penahanan, bernomor: SP. Han/15/VII/2019/Reskrim dengan tanggal 17 Juli 2019.
Padahal, katanya, Kompol A.A Wiranata Kusuma, sejak tanggal 17 Juli 2019 sudah tak lagi menjabat sebagai Kapolsek Kota Singaraja.
Sementara Surat Perintah Penahanan itu diterbitkan sore atau malam hari pada 17 Juli 2019. Keterangan yang diberikan kliennya, kata Harja, pada 17 Juli 2019 kliennya sempat dipaksa menandatangani surat perintah penahanan.
Padahal, sudah disampaikan menunggu kuasa hukumnya, namun diabaikan dan terpaksa menandatangani karena kondisinya sudah mulai drop.
“Karena ditandatangani pejabat atau perwira yang tidak memiliki kewenangan, maka saya menilai itu cacat hukum. Saya akan tanyakan hal ini, supaya ada kejelasan dan diluruskan pihak kepolisian,” ungkap Harja.
Melihat kejanggalan itu, Harja mengaku, sudah bersurat ke Kapolda Bali dengan nomor: 57/GHA/VII/2019, tertanggal 18 Juli 2019, perihal: Mohon Keadilan dan Perlindungan Hukum.
Dalam suratnya, Harja menguraikan panjang lebar setiap tindakan penyidik yang dinilai merugikan kliennya.
Tidak saja ke Polda Bali, surat itu ditembuskan ke Kapolri dan KOMNAS HAM serta beberapa lembaga lain di pusat.
“Saya minta Kapolda Bali untuk memberikan sanksi tegas kepada tim penyidik Polsek Kota Singaraja yang menangani perkara ini,” tandasnya