31.8 C
Jakarta
19 November 2024, 21:53 PM WIB

Hanya Bendahara yang Jadi TSK, Pelapor Ungkap Banyak Kejanggalan

DENPASAR – Penetapan bendahara Desa Dauh Puri Klod Ni Luh Putu Ariyaningsih sebagai tersangka kasus korupsi dana sisa lebih pengunaan angggaran (Silpa) APBDes 2017 menyisakan tanya.

Pasalnya, mantan perbekel Dauh Puri Klod, I Gusti Made Wira Namiartha tidak ikut ditetapkan tersangka.

Padahal, berdasar Permendagri Nomor 113/2014 yang sudah diubah dan ditambahkan menjadi Permendagri Nomor 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, perbekel atau kepala desa bertanggungjawab atas APBDes.

Hal itu tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Permendagri Nomor 20/2018. Dalam pasal tersebut disebutkan, kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa atau PPKD.

Lebih jelas lagi kewenangan kepala desa diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf (a) dijelaskan, kepala desa menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes.

Sementara dalam Pasal 3 huruf (C) disebutkan, kepala desa melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai PPKD, kepala desa dibantu sekretaris desa, kaur dan kasi, serta kaur keuangan.

Penyidik kejari selama ini mengacu permendagri sebagai salah satu landasan hukum untuk menjerat para pelaku.

Warga yang pertama kali melaparkan kasus ini, Nyoman Mardika menduga ada “sesuatu” di balik penetapan tersangka hanya satu orang.

Menurut Mardika, indikasi ada “sesuatu” itu terasa dan terlihat. Misalnya, penanganan kasus ini sangat lambat. Dilaporkan 7 Januari 2019, baru ada tersangka 31 Oktober 2019.

Butuh waktu sembilan bulan lebih untuk menetapkan tersangka. Penyidik beralasan penyidikan sempat terganggu pemilu.

Namun, setelah pemilu selesai ada kesan mandek. Setelah digebrak oleh masyarakat dan media, barulah penyidik kembali bergerak.

Indikasi itu juga muncul setelah ada informasi ada anggota DPRD Kota Denpasar mendatangi Kejari Denpasar. “Entah informasi itu benar atau tidak, prasangka semakin kuat ketika hasilnya seperti ini,” tandasnya.

Mardika menambahkan, dari hasil pemeriksaan Inspektorat Kota denpasar, perbekel, kaur, dan bendahara ikut menggunakan uang.

Setelah ada temuan tersebut ada pengembalian ke kas daerah sekitar Rp 300 juta lebih. Yaitu dari mantan Perbekel Dauh Puri Klod I Gusti Made Wira Namiartha sebesar Rp 8,5 juta,

kaur keuangan Rp 102 juta dan bendahara Rp 144 juta. Sedangkan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sekitar Rp 770 juta.

Sekalipun uang tersebut sudah dikembalikan, tapi tidak bisa menghapus perbuatan pidana. Apalagi, informasi yang ada menyebutkan berdasar temuan BPKP kerugian negara sekitar Rp 980 juta.

“Dengan bendahara seperti dikorbankan, maka yang lain akan merasa aman dan tidak bersalah. Kami ingin masalah ini diusut hingga tuntas,” tukasnya.

Mardika pun berjanji akan menanyakan di balik penetapan tersangka hanya satu orang. Mardika dipangil sebagai saksi pada 5 November mendatang.

DENPASAR – Penetapan bendahara Desa Dauh Puri Klod Ni Luh Putu Ariyaningsih sebagai tersangka kasus korupsi dana sisa lebih pengunaan angggaran (Silpa) APBDes 2017 menyisakan tanya.

Pasalnya, mantan perbekel Dauh Puri Klod, I Gusti Made Wira Namiartha tidak ikut ditetapkan tersangka.

Padahal, berdasar Permendagri Nomor 113/2014 yang sudah diubah dan ditambahkan menjadi Permendagri Nomor 20/2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, perbekel atau kepala desa bertanggungjawab atas APBDes.

Hal itu tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) Permendagri Nomor 20/2018. Dalam pasal tersebut disebutkan, kepala desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa atau PPKD.

Lebih jelas lagi kewenangan kepala desa diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf (a) dijelaskan, kepala desa menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes.

Sementara dalam Pasal 3 huruf (C) disebutkan, kepala desa melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai PPKD, kepala desa dibantu sekretaris desa, kaur dan kasi, serta kaur keuangan.

Penyidik kejari selama ini mengacu permendagri sebagai salah satu landasan hukum untuk menjerat para pelaku.

Warga yang pertama kali melaparkan kasus ini, Nyoman Mardika menduga ada “sesuatu” di balik penetapan tersangka hanya satu orang.

Menurut Mardika, indikasi ada “sesuatu” itu terasa dan terlihat. Misalnya, penanganan kasus ini sangat lambat. Dilaporkan 7 Januari 2019, baru ada tersangka 31 Oktober 2019.

Butuh waktu sembilan bulan lebih untuk menetapkan tersangka. Penyidik beralasan penyidikan sempat terganggu pemilu.

Namun, setelah pemilu selesai ada kesan mandek. Setelah digebrak oleh masyarakat dan media, barulah penyidik kembali bergerak.

Indikasi itu juga muncul setelah ada informasi ada anggota DPRD Kota Denpasar mendatangi Kejari Denpasar. “Entah informasi itu benar atau tidak, prasangka semakin kuat ketika hasilnya seperti ini,” tandasnya.

Mardika menambahkan, dari hasil pemeriksaan Inspektorat Kota denpasar, perbekel, kaur, dan bendahara ikut menggunakan uang.

Setelah ada temuan tersebut ada pengembalian ke kas daerah sekitar Rp 300 juta lebih. Yaitu dari mantan Perbekel Dauh Puri Klod I Gusti Made Wira Namiartha sebesar Rp 8,5 juta,

kaur keuangan Rp 102 juta dan bendahara Rp 144 juta. Sedangkan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sekitar Rp 770 juta.

Sekalipun uang tersebut sudah dikembalikan, tapi tidak bisa menghapus perbuatan pidana. Apalagi, informasi yang ada menyebutkan berdasar temuan BPKP kerugian negara sekitar Rp 980 juta.

“Dengan bendahara seperti dikorbankan, maka yang lain akan merasa aman dan tidak bersalah. Kami ingin masalah ini diusut hingga tuntas,” tukasnya.

Mardika pun berjanji akan menanyakan di balik penetapan tersangka hanya satu orang. Mardika dipangil sebagai saksi pada 5 November mendatang.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/