SINGARAJA – DPRD Buleleng menyoroti keberadaan toko modern di Kabupaten Buleleng. Jaringan toko modern disebut semakin masif, dan dikhawatirkan mematikan usaha masyarakat setempat.
Sorotan terhadap keberadaan toko modern itu, disampaikan Fraksi Golkar DPRD Buleleng, pada agenda Rapat Paripurna DPRD Buleleng.
Dalam paripurna tersebut dibahas sejumlah ranperda. Salah satunya perubahan status badan hukum Perusahaan Daerah (PD) Pasar Buleleng menjadi Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Argha Nayottama.
Fraksi Golkar memandang pembahasan perda tentang pasar ini, harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk melindungi para pedagang kecil.
Baik itu yang berusaha di pasar, maupun pemilik usaha kecil dan menengah (UKM).
Juru Bicara Fraksi Golkar Gede Suparmen mengatakan, pertumbuhan toko modern di Kabupaten Buleleng sudah sangat masif.
Data menunjukkan, dalam kurun waktu 2014 hingga 2018 saja, pemerintah telah menerbitkan 289 izin toko modern.
“Pertumbuhannya sudah sangat masif. Di Kota Singaraja itu sudah dikerubuti berbagai toko modern, sampai di sudut-sudut kota. Bahkan di daerah pedesaan juga sudah masif,” kata Suparmen.
Dengan jejaring yang kuat, toko modern memiliki akses yang luas terhadap jalur distribusi.
Ditambah lagi dengan dukungan modal yang besar, toko modern bisa memberikan harga yang lebih murah dengan toko konvensional milik masyarakat.
“Mereka punya jejaring kuat, modal yang besar. Bila tidak diproteksi, ini bisa mematikan usaha masyarakat.
Karena masyarakat kita tidak disokong jejaring dan kemampuan modal yang besar,” imbuh politisi asal Desa Bebetin itu.
Untuk itu dewan meminta agar pemerintah benar-benar serius mengimplementasikan Perda Buleleng Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pasar Tradisional.
Dalam aturan itu, disebutkan jarak antara pasar tradisional dengan toko modern minimal 500 meter.
Selain itu jarak antara toko modern yang satu dengan yang lain, sekurang-kurangnya 100 meter.