SINGARAJA – Regulasi dan fasilitas yang berpihak pada anak-anak korban kekerasan di Buleleng, nampaknya belum berpihak.
Buktinya, hingga kini pemerintah belum memiliki fasilitas rumah aman. Bahkan untuk biaya visum bagi anak-anak korban kekerasan pun, belum digratiskan sepenuhnya.
Fasilitas rumah aman sebenarnya cukup dibutuhkan di Buleleng. Sebab banyak kasus kekerasan pada anak yang muncul.
Bukan hanya kekerasan seksual. Namun, juga kekerasan fisik dan psikis.
Semula pemerintah melalui Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Buleleng sempat berencana menyiapkan fasilitas tersebut tahun lalu.
Namun hingga kini, fasilitas itu tak kunjung terealisasi. Sebaliknya, pemerintah justru lempar handuk terkait penyediaan fasilitas itu.
Kepala Dinas P2KBP3A Buleleng Made Arya Sukerta mengatakan, rumah aman sebenarnya dibutuhkan untuk pemulihan kejiwaan bagi anak-anak korban kekerasan.
Sebab, bila langsung dikembalikan ke orang tuanya, anak cenderung mengalami tekanan psikis. Bukannya pulih, korban bisa jadi mengalami trauma yang lebih dalam.
“Kita belum (punya), karena anggaran kita nggak cukup. Karena kalau bicara rumah aman, untuk operasional saja, paling tidak butuh Rp 300 juta,” kata Arya.
Dengan rencana rasionalisasi anggaran yang dilakukan tahun ini, tak menutup kemungkinan rumah aman urung direalisasikan tahun ini.
“Kami sebenarnya berharap itu ada. Tapi kembali lagi ke kondisi keuangan pemerintah. kalau belum cukup, ya saya kira nggak kenapa juga kalau nggak ada,” imbuhnya.
Sementara itu Ketua Pansus Kabupaten Layak Anak (KLA) DPRD Buleleng Luh Hesti Ranitasari juga memberi beberapa catatan dalam hal regulasi yang berpihak pada anak.
Salah satu hal yang disoroti dewan ialah pengenaan biaya visum bagi anak korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Untuk visum saja, korban biasanya dibebani biaya hingga Rp 350ribu.
“Kami akan bicara dengan direktur rumah sakit. Supaya korban-korban kekerasan fisik dan seksual, tidak dipungut biaya,” demikian Rani.