SINGARAJA – Sebagian besar warga Desa Pegayaman, Sukasada ternyata belum mengetahui rincian dan besaran dana pengganti pembebasan lahan milik mereka yang terkena proyek shortcut titik 7, 8, 9, dan 10.
Hal itu mengemuka setelah digelar pertemuan mediasi antara warga dengan pihak terkait pembebasan lahan terdampak proyek shortcut Singaraja-Denpasar yang difasilitasi oleh Kejati Bali di Kantor Kejari Buleleng kemarin.
Ada sekitar 32 warga Pegayaman yang dilakukan mediasi di Aula Kejari Buleleng. Mediasi dilakukan secara bergiliran untuk menghindari kerumunan dalam satu ruangan.
Pertemuan mediasi dipimpin langsung oleh Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Bali Andi Fahruddin.
Hadir pula dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Buleleng, PUPR Provinsi Bali dan Kejari Buleleng.
Salah seorang warga Desa Pegayaman yang lahan miliknya terkena jalur shortcut, Wayan Saparudin, mengaku, dia dan warga lainnya dipanggil untuk mediasi ganti rugi pembangunan jalan shortcut.
Mereka dipanggil setelah banyak warga yang mengeluhkan soal kerugian fisik dan non fisik ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah.
“Ada bangunan ukuran rumah tidak cocok harga ganti ruginya. Kemudian ada tanaman dan kandang milik warga yang ganti ruginya berbanding terbalik. Kandang lebih besar ganti ruginya disbanding lahan,” tutur Wayan Saparudin.
Dia mencontoh ada pohon cengkeh yang masih produktif terkena dampak shortcut sebanyak 40 pohon dengan perpohonnya diganti rugi Rp 1,4 juta.
Namun, setelah masuk data yang tercatat hanya 20 pohon yang diganti rugi. Begitu pula dengan tanah warga satu dengan lainnya yang tidak merata. Padahal itu sudah dilakukan pendataan oleh tim appraisal (penilai).
“Harapan kami setelah dari kejaksaan pertemuan ini mudah-mudahan ada keadilan. Kemudian dilakukan dikroscek dan ditinjau lagi.
Seperti apa tanah dan tanaman kami agar dibayar ganti secara layak. Dan uang ganti rugi secepatnya dicairkan,” imbuhnya.
Hal yang sama juga diungkapkan Ketut Muhammad Ilyas yang tanah perkebunan cengkeh miliknya terkena jalur shortcut.
Dia mengaku sudah lama uang ganti rugi pembebasan lahan shortcut tak cair-cair. Padahal pendataan sudah dilakukan tahun 2019 lalu.
Memang ada sebagian warga yang sudah menerima. Tapi dirinya dan 32 warga yang datang ke kejari ikut pertemuan belum terima ganti rugi.
Dia menyebut ganti rugi tanah dengan warga lainnya banyak tidak merata dan terjadi kesalahan pendataan.
“Saya memiliki tanah 7 are bagian utara per arenya dihargai Rp 37 juta. Nah, pas kebetulan tanah saya bagian selatan atas juga terkena dampak
shortcut 7-8 dengan luas 3 are. Namun harga tanah Rp 30 juta per arenya. Saya tak mengerti kok bisa berbanding harga,” tuturnya.
Kedatangan dalam pertemuan ini sejatinya warga juga tidak mengetahui besaran harga ganti rugi lahan yang pasti dan berkeadilan.
Tidak ada tumpang tindih harga. “Kami berharap hanya merata harga ganti rugi tidak ada perbandingan satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.
Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejati Bali Andi Fahruddin mengatakan, pertemuan untuk membahas ganti rugi pembebasan lahan proyek shortcut Singaraja-Denpasar.
Intinya, warga meminta keadilan. “Itu yang mereka minta. Karena keluhan mereka ada salah hitung, masalah harga dibawah standar,” ujarnya.
Andi Fahruddin melanjutkan, pertemuan ini untuk mencari titik temu agar proyek shortcut cepat terselesaikan. Mengingat proyek tersebut akan dikerjakan.
Jika pertemuan kali ini tidak ada titik temu dengan warga Desa Pegayaman, maka pihaknya akan serahkan prosesnya ke pengadilan untuk menempuh jalur hukum.
Terutama bila masih ada yang keberatan soal harga tanah. “Itu solusi pada saat ini jika tidak ada kesepakatan,” pungkasnya.