DENPASAR – Omnibus Law memang menjadi momok yang menakutkan bagi para kaum buruh. Bagaimana tidak, sejumlah hak buruh disunat dalam aturan yang akan segera disahkan oleh pemerintah itu.
Mengantisipasi gerakan buruh, belakangan ini beredar surat Telegram Nomor : STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 dari Kapolri yang ditujukan kepada seluruh Kapolda di Indonesia.
Surat itu sebagai langkah menghalau unjuk rasa masyarakat dan mogok kerja oleh buruh pada 6 – 8 Oktober 2020 terkait rencana pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja yang berpotensi menimbulkan aksi penolakan, dipandang sangat bermasalah dan menimbulkan pelanggaran HAM.
Yakni, Pada bagian satu Kapolri memerintahkan dilaksanakan “giat fungsi intelijen dan deteksi dini serta deteksi aksi terhadap elemen buruh dan masyarakat guna mencegah terjadinya aksi unras dan mogok kerja yang dapat menimbulkan aksi anarkis dan konflik sosial”.
Dalam rilis resmi LBH Bali, dikatakan Polri tidak memiliki kewenangan mencegah bahkan menghalahi aksi yang dilakukan masyarakat karena bertentangan dengan konstitusi, Ham, UU 9/1998.
Bahkan sebaliknya menurut Pasal 13 UU 9/1998 “dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab memberikan perlindungan keamanan terhadap pelaku atau peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Pada bagian tiga Kapolri memerintahkan “cegah, redam dan alihkan aksi” unjuk rasa yang dilakukan kelompok buruh maupun elemen aksi aliansinya guna mencegah penyebaran covid-19.
Bagi LBH Bali, upaya ini diskriminatif karena menyasar peserta aksi. Padahal sebelum ini telah banyak keramaian yang bahkan tidak menaati protokol kesehatan seperti di perusahaan, pusat perbelanjaan, kegiatan pemerintah bahkan bandara.
“Sebaliknya dua aksi tolak omnibus law sebelumnya dan aksi dukungan terhadap sidang yang menjerat Jerinx terbukti tidak menimbulkan cluster baru covid-19,” ujar Ni Kadek Vany Primaliraning, Ketua LBH Bali pada Senin (5/10).
Pada bagian lima Kapolri memerintahkan “lakukan cyber patrol pada medsos dan manajemen media untuk bangun opini publik” yang tidak setuju dengan aksi unras di tengah pandemi covid-19.
Kemudian pada poin 6 Kapolri memerintahkan “lakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah”. Poin ini merupakan penyalahgunaan wewenang. Seperti pada poin pertama, Polisi tidak punya swewenang mencegah aksi.
Selain itu menurut pasal 30 UUD 1945 & amandemennya tugas Kepolisian menjaga keamanan dan ketertiban, bukan melakukan kampanye terhadap pemerintah.
Selain itu “mendiskreditkan” adalah tafsiran subjektif yang berpotensi menghambat kritik publik kepada Pemerintah. Kritik publik dalam demokrasi justru bermanfaat bagi kehidupan bernegara karena menjadi kontrol kekuasaan.
Pada bagian 7 Kapolri memerintahkan “secara tegas tidak memberikan izin kegiatan baik unjuk rasa maupun izin keramaian lainnya”. Kemudian pada bagian 8 Kapolri memerintahkan “upaya harus dilakukan di hulu (titik awal sebelum kumpul) dan lakukan pengamanan (PAM) terbuka dan tertutup”.
Hal ini diskriminatif dan melanggar amandemen UUD 1945. Kegiatan aksi hanya bersifat pemberitahuan bukan izin, sehingga Penghalang-halangan polri terhadap aksi merupakan Kejahatan serta diancam pidana 1 tahun berdasarkan Pasal 18 UU 9/1998, serta hal ini tidak mencerminkan tugas kepolisian yang menjunjung tinggi HAM
Pada bagian 10 Kapolri memerintahkan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum dengan menggunakan UU Kekarantinaan kesehatan.
Dalam UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan hanya ada 5 pasal pidana; satu tentang nahkoda, satu tentang penerbang, satu tentang pengemudi, dan satu tentang korporasi. Sehingga yang dimaksud Telegram Kapolri hanya mungkin pasal 93 yang berbunyi “setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana …”.
Artinya pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan baru berlaku saat terjadi akibat dan tidak mungkin diketahui pada saat aksi apalagi sebelum aksi. Bahkan Polda Bali juga tidak menindak tegas kerumunan yang dilakukan oleh Gubernur Bali pada saat persembahyangan di Pura, di tempat perbelanjaan, kerumunan pasar sehingga pasal ini baru berfungsi untuk membungkam masa aksi terkait penolakkan Omnibus law.
Di samping Bali sebenarnya tidak pernah menetapkan pembatasan sosial berskala besar, karantina wilayah atau pembatasan sebagaimana diatur dalam pergub no 46 tahun 2020 tentang disiplin dan penegakkan hukum protokol kesehatan sebagai upaya pencegahan dan pengendalian corona virus disease 2019 dalam tatanan kehidupan era baru
Sebelum aksi penolakan RUU Omnibus Law ini juga telah ada beberapa aksi dengan tema lain dan tidak ada perlakuan seperti ini. Karena itu sulit dibantah surat telegram ini muncul karena RUU Omnibus Law adalah inisiatif Pemerintah, dan Presiden sejak awal bahkan menginginkan RUU ini selesai dalam waktu 100 hari.
Atas dasar itu, LBH pertama Mengingatkan Kapolri bahwa dalam UUD 1945 & amandemennya Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah “alat negara” dan bukan alat Pemerintah. Selain itu Kepolisian dalam tugasnya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Kedua Mendesak Presiden sebagai pimpinan langsung Kapolri untuk tidak mengganggu netralitas serta indenpendensi yang seharusnya diterapkan Polri.
Ketiga, Meminta Presiden, Kapolri, Kapolda Bali untuk menghormati UUD 1945 & amandemennya, HAM serta UU 9/1998 yang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan aspirasinya termasuk pendapat di muka umum.