DENPASAR – Tidak hanya membuat masyarakat Desa Banjar, Buleleng, kecewa berat, penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dugaan korupsi BKK Desa Banjar juga dinilai tak berdasar oleh pakar hukum pidana.
Alasan penyidik Kejati Bali mengeluarkan SP3 karena tersangka IBDS (perbekel aktif Desa Banjar) sudah mengembalikan kerugian negara Rp 156,5 juta dianggap tidak tepat.
Sebab, pengembalian kerugian negara tidak mengahapus pidana. “Dalam Pasal 4 UU Tipikor sudah jelas disebutkan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana,” tegas ahli pidana Gusti Ketut Ariawan kemarin.
SP3 dikeluarkan dengan dalih pengembalian kerugian negara bukan alasan tepat. Dijelaskan, di dalam KUHAP diterangkan, SP3 bisa terbit dengan tiga alasan.
Pertama tidak cukup bukti, kedua bukan tindak pidana, dan ketiga demi hukum. Yang dimaksud demi hukum ini meninggalnya tersangka. Hanya itu saja alasannya.
“Kalau pengembalian kerugian negara bukan alasan SP3,” ungkapnya. Akademisi Unud itu menjelaskan, delik korupsi yang merugikan negara sebagaimana disebut Pasal 2 dan 3 UU Tipikor adalah delik formil meteriil.
Yang dimaksud delik formil yaitu ketika unsur delik terpenuhi, maka tindaka pidana dianggap sempurna. Artinya sudah terjadi tindak pidana.
Sedangkan yang dimaksud delik materiil adalah timbulnya akibat yang dilarang. Misalnya kerugian negara. Nah, di dalam UU Nomor 20/2001 tentang Tipikor menganut rumusan delik formil dan metriil.
“Dengan adanya delik formil dan materiil, pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana.
Hal itu dipertegas lagi dalam pasal 4 UU Tipikor. Sudah jelas,” tandas pria yang pernah menjadi ahli dalam persidangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu.
Ariawan menambahkan, UU yang menganut delik materiil saja adalah UU Nomor 3/1971. Dalam UU itu disebutkan, ketika kerugian negara sudah dikembalikan, maka pidananya dihapus.
Tapi, UU Nomor 3/1971 ini sudah tidak berlaku. Ditanya kabar penyidik tidak melanjutkan perkara ini karena biaya penyidikan hingga sidang bisa mencapai Rp 200 juta,
sehingga lebih besar biaya sidang daripada kerugian negara, Ariawan menyebut hal itu merupakan diskresi kejaksaan.
“Tapi, kalau dilihat dari kacamata formal, bukan masalah jumlah uangnya, tapi tindak pidananya,” ungkapnya.