BALI menjelang perayaan Natal tahun 2020 dan Tahun Baru 2021 begitu riuh. Tapi bukan karena wisatawan membeludak setiap akhir tahun sebelum-sebelumnya. Ini keriuhan di media sosial.
Orang ribut soal kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster, sebut saja Pak Koster, yang mewajibkan turis membekali hasil tes RT-PCR atau tes swab dan rapid test antigen dua hari sebelum masuk Bali.
Banyak yang menyesalkan adanya kebijakan ini. Sebab, kebijakan ini membuat calon wisatawan domestik batal pelesiran ke Bali. Itu artinya, harapan dunia pariwisata bisa mengais remah-remah rezeki akhir tahun dari wisatawan domestik pun buyar.
Kebijakan Pak Koster mungkin saja bermaksud baik. Sebagai orang nomor satu di Bali, sebetulnya ia ingin menyaring agar orang yang datang ke Bali adalah yang memang sehat, tak membawa Covid-19. Pak Koster ingin melindungi warganya dari Covid-19. Jangankan hanya membatasi wisatawan yang datang ke Bali, kebijakan lockdown atau penguncian wilayah bila mau diterapkan itu baik juga. Tapi, itu ada tapinya. Kebijakan yang membatasi pergerakan ekonomi tanpa mau repot mengatasi dampak atas pembatasan itu seperti melempar kawanan sapi di padang tandus. Atau melempar ratusan kambing dalam kandang dengan bekal sekarung rumput. Jika bukan pembantaian tak langsung, itu perbuatan yang tak bertanggung jawab.
Masalahnya begini. Kasus Covid-19 yang menerjang Bali selama 10 bulan ini sudah demikian parah pada perekonomian warganya. Dan kita semua tahu, 70 persen masyarakat Bali tergantung pada pariwisata, baik langsung maupun tidak. Itu yang dikatakan Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati alias Cok Ace.
Jika benar 70 persen masyarakat Bali terkait pariwisata, lantas apa yang sudah diperbuat pemerintah terhadap mereka? Bagi mereka yang berkecimpung di dunia pariwisata atau hidupnya terkait pariwisata, permintaannya cuma sederhana. Tetap berpenghasilan di tengah pandemi ini. Tidak hanya mereka yang terkait pariwisata, juga bagi mereka semua yang terdampak Covid-19.
Tetap memiliki penghasilan di tengah pandemi ini bukan perkara mudah. Sulit. Saya sendiri merasakan. Walau tak seperti mereka yang kehilangan penghasilan sama sekali, dengan upah yang dipotong saja, saya sudah megap-megap untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi mereka yang harus bayar biaya sekolah anak, listrik, air, BPJS, cicilan ini-itu, bahkan urusan iuran sampah.
Ini memang sulit. Karena dalam waktu bersamaan, ada ratusan ribu bahkan jutaan yang mengalami hal yang sama. Sedangkan sektor primer dan sekunder, terutama pertanian, industri manufaktur, dan perdagangan, tak mungkin mampu menyerap mereka yang terlempar dari dunia pariwisata dalam waktu yang pendek dan mendadak ini. Memang ada sebagian yang terserap, tapi itu tak banyak. Dan dari yang sedikit mampu beralih sementara atau permanen ke sektor lain, kondisinya juga tetap megap-megap.
Maka, pilihan yang paling mungkin agar mereka semua bisa tetap berpenghasilan hanya ada dua: Pertama, pariwisata kembali berdetak, atau Kedua, membiarkan pariwisata sekarat namun pemerintah memberikan bantuan yang cukup untuk memenuhi semua orang yang terdampak. Saya katakan, semua yang terdampak. Tak ada satu pun yang terlewatkan.
Andai mengambil pilihan pertama, maka segala rintangan yang membuat pariwisata “mati suri” harus disingkirkan. Itu artinya, segala syarat yang menghambat perjalanan manusia ke Bali harus dipermudah.
Konsekuensi dari pilihan ini adalah kita tak perlu malu-malu mengatakan bahwa itu adalah herd immunity. Membangun kekebalan kawanan dengan topeng new normal atau adaptasi kebiasaan baru.
Jalan herd immunity menjadi keniscayaan jika pemerintah ingin pariwisata bergerak dan menyerap lapangan kerja, dan sejurus dengan itu meningkatkan daya beli di masyarakat. Persoalannya, herd immunity meminta banyak syarat. Di antaranya adalah kesiapan pemerintah mendeteksi mereka yang terpapar agar tak menular, dan merawat yang sakit agar risiko kematian tidak tinggi.
Syarat itu tentu saja membutuhkan kesiapan pemerintah melakukan dan meningkatkan jumlah tes Covid-19 di seluruh Indonesia (termasuk di bandara dan pelabuhan) yang sepatutnya gratis. Secara infrastruktur, fasilitas pelayanan kesehatan, baik RS maupun tempat karantina, juga harus siap dan mampu menanggung risiko membeludaknya kasus Covid-19 ini. Begitu juga dengan sumber daya manusia (SDM) harus sanggup melayani lonjakan pasien.
Pertanyaannya, apakah pilihan pertama ini bisa disanggupi pemerintah? Ternyata, sejauh ini tidak, atau belum bisa. Gubernur Bali melalui Surat Edaran Nomor 2021 tahun 2020 hanya mewajibkan warga yang melakukan perjalanan ke Bali memiliki hasil tes PCR bagi yang lewat jalur udara, dan tes rapid antigen bagi jalur darat dan laut. Lantas, siapa yang menanggung biaya tes itu? Ya, sendiri.
Satu hal itu saja, pemerintah sudah tak sanggup memenuhi tes Covid-19 gratis. Dan sebelumnya sudah terbukti beberapa waktu lalu, syarat sebuah usaha beroperasi adalah pekerjanya harus sudah melakukan rapid test, yang dibiayai sendiri.
Mengenai kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, tampaknya, ini masih menjadi kekhawatiran di kalangan yang berkecimpung dalam dunia kesehatan. Dengan jumlah kasus aktif yang dirawat di RS sebanyak 900-an per hari saja, Bali sudah kedodoran. Banyak warga yang isolasi mandiri tanpa penanganan pemerintah.
Bagaimana bila angka pasien aktif Covid-19 dikalikan dua, tiga, atau sepuluh? Apakah fasilitas kesehatan kita mampu merawat yang sakit atau mengisolasi yang terpapar?
Bila pilihan kedua yang dipilih, artinya pemerintah harus cukup uang. Berkaca dari data bahwa perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19, Bali lah yang paling terpukul dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia. Data terakhir, perekonomian Bali minus 12 persen. Seandainya pemerintah masih peduli masyarakat di Bali, mestinya dana dari desa, kabupaten/ kota, provinsi dan pemerintah pusat mengucur deras ke Bali. Yakni menyelamatkan provinsi di Indonesia yang paling hancur-hancuran diterjang pandemi Covid-19.
Kenyataan membuktikan, sejauh ini kucuran dana dari pusat hingga daerah dan desa amat sedikit. Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Bali. Masyarakat tetap megap-megap karena bantuan dari pemerintah tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya secuil, dan itu pada sebagian orang saja.
Apalah artinya Rp756 miliar yang digelontor Pemprov Bali, Rp274 miliar di Badung, kemudian masing-masing kabupaten/ kota lainnya hanya puluhan miliar dalam menangani dampak Covid-19 di Bali. Itu pun tidak seluruhnya untuk bantuan sosial. Sebagiannya untuk penanganan kesehatan yang dananya amblas hanya pada mereka yang terkait rantai itu: pemasok alat kesehatan, RS, dan tenaga kesehatan. Bila dibandingkan dengan hilangnya potensi pendapatan Rp9,7 triliun per bulan dari sektor pariwisata seperti kata Wagub Cok Ace, angka tadi hanya seujung jari kelingking.
Jadi, kebijakan Pak Koster membatasi hanya yang sehat yang boleh ke Bali sebetulnya baik. Namun kebijakan itu tidak dalam kondisi yang ideal. Sebab, rakyat sendiri yang harus mencari jalan keluarnya. Salah satunya membayar tes swab atau rapid test antigen secara mandiri.
Maka aneh bila dengan kebijakan ini, tapi masih berharap wisatawan mau datang dan mengungkit ekonomi Bali. Seperti perumpamaan menangkap dua kelinci dalam waktu bersamaan. Jika bukan susah, itu namanya sulit.
_____
Yoyo Raharyo
Jurnalis RadarBali.id