Meski pengadilan tingkat pertama hingga kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan vonis terbukti bersalah, tapi eks Bupati Jembrana I Gede Winasa tetap dinyatakan diri bersalah.
Karena itu, Gede Winasa mengajukan peninjauan kembali (PK). Di sisi lain masyarakat mulai membuat gerakan untuk membantu Winasa dengan gerakan donasi untuk Winasa.
M. BASIR, Jembrana
BUPATI Jembrana I Gede Winasa selama dua periode banyak menorehkan prestasi. Sejumlah program inovasi dirasakan masyarakat.
Sebut saja Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ), pemberian layanan kesehatan gratis pada masyarakat ini kemudian diadopsi menjadi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Begitu juga dengan pendidikan gratis bagi warga Jembrana, meski saat itu pendapatan asli daerah Jembrana kecil bisa membuat program yang diakui nasional hingga mendapat beragam rekor MURI.
Setelah tidak lagi menjadi bupati, Winasa sempat maju menjadi calon Gubernur Bali. Namun langkahnya terhenti.
Kemudian muncul kasus kompos yang membuat Winasa dipenjara selama 2 tahun 6 bulan. Belum selesai proses menjalani pidana penjara kasus sebelumnya, menyusul kasus korupsi Stikes dan Stitna yang membuat Winasa dipidana penjara 7 tahun.
Ditambah lagi kasus korupsi perjalanan dinas dengan pidana penjara 6 tahun. Hingga saat ini, mantan bupati kelahiran Denpasar 9 Maret 1950 tersebut sudah berada dibalik jeruji besi sekitar 7 tahun dari tiga kasus korupsi yang menjeratnya.
Jika ditambah dengan subsider dari dua putusan kasasi kasus korupsi, Gede Winasa bisa bebas sekitar tahun 2035 atau sekitar 15 tahun lagi.
Namun, Gede Winasa tidak berhenti dan menyerah dengan putusan kasasi MA. Dua kasus korupsi masih dalam proses upaya Peninjauan Kembali (PK).
Gede Winasa mengajukan kasasi karena tetap bersikukuh tidak memperkaya diri dengan korupsi. “Kalau untuk memperkaya diri,
sekarang sudah bergelimang harta. Bapak tetap yakin tetap tidak bersalah, semestinya dibebaskan,” terangnya.
Sebut saja kasus beasiswa Stikes dan Stitna yang menjeratnya, program bantuan beasiswa untuk warga Jembrana itu untuk kepentingan pendidikan.
Kemudian kasus perjalanan dinas dengan peraturan bupati yang dinilai janggal karena sampai saat ini tidak ada berkas asli peraturan bupati yang membuatnya di penjara.
“Saya heran, dua kasus korupsi yang menjeratnya dalam satu APBD tahun 2009, tetapi saya dipidana dengan dua kasus berbeda,” ujar Komang Adhiyasa, kerabat Winasa.
Menurut Adhiyasa, Gede Winasa mencontohkan ada pencurian dalam sebuah rumah. Misalnya pelakunya mencuri televisi dan radio, tetapi setelah diproses hukum jadi dua kasus berbeda antara pencurian televisi dan radio.
Semestinya karena dalam satu rumah dan di waktu bersamaan dijadikan satu kasus. Terlepas dari kasus korupsi yang menjerat Winasa, masyarakat Jembrana menganggap Gede Winasa sebagai pahlawan.
Karena pada masa kepemimpinan Gede Winasa, masyarakat Jembrana bisa merasakan program pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat.
Karena itu, Gede Winasa menjadi sosok yang dirindukan, sehingga masyarakat sangat berharap Gede Winasa segera bebas.
Salah satu upaya masyarakat agar Winasa bisa segera bebas adalah dengan membuat gerakan donasi untuk Winasa.
Gerakan donasi untuk Winasa tersebut sebagai bentuk balas jasa masyarakat pada Winasa. Dana yang dikumpulnya untuk membayar denda dan ganti rugi sesuai dengan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
“Karena masyarakat menilai Winasa sebagai orang paling berjasa, mendesak agar membuat gerakan donasi untuk Winasa,” kata Komang Adhiyasa, yang ditunjuk menjadi koordinator mengalang dana untuk Winasa.
Menurutnya, dana yang dikumpulkan nantinya untuk membayar denda dan ganti rugi. Namun, bukan berarti Winasa sebagai terpidana mengakui perbuatannya telah melakukan tindak pidana korupsi.
Harapannya dengan membayar denda dan ganti rugi agar Gede Winasa segera bebas dari kurungan.
Karena hanya dengan denda dan ganti rugi, Winasa bisa mendapatkan hak-haknya selama di penjara, seperti remisi hingga bebas bersyarat.
Kepedulian masyarakat tersebut tidak hanya karena melihat jasa Winasa, tetapi juga umur Winasa yang saat ini sudah 70 tahun.
Masyarakat menilai tidak adil memperlakukan mantan bupati yang banyak berjasa dengan memasukkan ke dalam penjara.
“Miris melihat orang tua yang sudah renta menghabiskan masa tuanya dipenjara. Padahal, jasanya sangat besar untuk masyarakat Jembrana,” ungkapnya.
Padahal jumlah denda dan ganti rugi yang harus dibayar tidak sedikit. Sesuai dengan putusan kasasi MA, kasus korupsi beasiswa Stikes dan Stitna dengan pidana penjara 7 tahun,
ditambah membayar denda Rp 500 juta, subsider 8 bulan dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 2.322.000.000.
Jika tidak membayar ganti rugi maka diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun. Total denda dan ganti rugi sebesar Rp 2.822.000.000
Sedangkan kasus korupsi perjalanam dinas Winasa dijatuhi hukuman 6 tahun penjara, denda Rp 200 juta subsider 6 bulan.
Ditambah pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp 797.554.800, subsider pidana penjara selama 3 tahun, total denda dan ganti rugi sebesar Rp 997.554.800.
Jadi, total denda dan ganti rugi dari dua kasus korupsi tersebut sekitar Rp 3.819.554.800. Jumlah itu tidak sedikit, tetapi menurut Komang Adhiyasa,
besarnya dorongan masyarakat untuk membuat Winasa bebas optimis bisa tercapai jumlah dana yang dibutuhkan.
“Masyarakat ingin Winasa bebas. Tidak hanya karena jasa yang sudah diperbuat, tetapi untuk kepentingan Jembrana kedepan.
Minimal bisa memberikan sumbangsih ide pikiran untuk kemajuan Jembrana, apalagi anaknya sudah terpilih menjadi wakil bupati,” tandasnya.
Bahkan, Winasa berpesan pada Komet, sebagai mantan anggota DPRD Jembrana untuk mengawal pemerintahan Tamba – Ipat. (*)