33 C
Jakarta
24 November 2024, 14:15 PM WIB

Tinggal di Lahan Pinjaman 25 Tahun, Diminta Pindah, Undang Iba Bupati

Malang nian nasib keluarga Ketut Merta, 55, warga Dusun Timbrah, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan. Tinggal di lahan pinjaman selama 25 tahun bersama

sang istri dan delapan orang anaknya, kini Merta bersama sang istri harus mencari tempat tinggal baru. Padahal, kondisi ekonominya di bawah garis kemiskinan.

 

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

HARUS Pindah. Tidak ada pilihan lain. Itulah takdir hidup Ketut Merta, 55, yang harus pindah dari gubuk reyotnya yang hampir ambruk di Dusun Timbrah, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung.

Keputusan pindah tempat tinggal harus diambil lantaran lahan yang mereka tinggali selama ini telah dijual pemilik sebelumnya dan rencananya akan dibangun oleh pemilik yang baru.

Ketut Merta saat ditemui di rumah semi permanen beratap seng miliknya di wilayah Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, terlihat tampak murung.

Itu lantaran ia harus bersiap meninggalkan rumah yang sudah 25 tahun ditempatinya bersama istri, Nengah Susun, 45,

dan delapan orang anaknya berkat belas kasihan Jejeng, pemilik tanah sebelumnya yang sudah lama meninggal dunia.

 “Saya tidak punya tempat tinggal. Karena kasihan, Pak Jejeng kasih saya pinjam tanahnya untuk ditinggali secara cuma-cuma.

Pak Jejeng ini warga asli Paksebali yang sering saya ajak berjualan keliling. Sudah 25 tahun, saya tinggal di sini dan sudah medesa adat, desa dinas di sini,” bebernya.

Merta menuturkan, dia sebenarnya berasal dari Dusun Kebon Bukit, Desa Bukit, Kecamatan Karangasem. Kedua orang tuanya meninggal dunia sejak ia masih kecil.

Atas belas kasihan kerabatnya, ia akhirnya dirawat hingga remaja. Sadar diri berasal dari keluarga kurang mampu, Merta pun berusaha menghidupi dirinya sendiri sedari remaja dengan berjualan sate ikan.

Dan, ia tinggal berpindah-pindah dengan menyewa tanah milik orang lain. “Karena orang tua saya meninggal saat saya kecil, saya tidak tahu siapa saja keluarga saya. Saya tidak punya rumah di Karangasem,” terangnya.

Atas kemurahan hati Jejeng, akhirnya Merta dan keluarganya bisa memiliki tempat tinggal tanpa pusing memikirkan biaya sewa.

Meski telah bekerja keras dengan berjualan sate ikan berkeliling, Merta belum bisa memperbaiki ekonomi keluarganya.

Bahkan, Merta kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari istri dan kedelapan orang anaknya.

“Anak saya semuanya tidak tamat sekolah. Untuk makan saja sudah sulit sekali. Sekarang anak saya masih lima karena tiga sudah meninggal,” ungkapnya.

Kondisi ekonominya kian diperparah dengan kondisi kesehatan istrinya yang memiliki penyakit epilepsi.

Lantaran sering kambuh, bahkan saat mereka berjualan sate, Merta pun berhenti berjualan dan memilih untuk membuat tusuk sate dengan penghasilan Rp 20 ribu-Rp 25 ribu per hari.

“Istri saya tidak bisa ditinggal karena sering kambuh epilepsinya. Jadi saya buat tusuk sate di rumah saja,” terangnya.

Dengan kondisi seperti itu, Merta tidak mampu membeli rumahnya sendiri. Itu sebabnya, ia bersama istrinya masih menempati tanah milik Jejeng hingga saat ini.

Sementara anak-anaknya, ada yang tinggal dengan menyewa lahan milik orang lain dan ada pula yang tinggal dengan cara ngekos.

Lantaran kondisi rumah Merta yang sudah tidak mampu menampung anak-anaknya yang sudah dewasa.

“Listrik saja baru saya bisa saya miliki setelah pinjam uang di banjar enam bulan lalu. Belum lunas utang saya di banjar,” katanya.

Belum juga mampu membeli tempat tinggal sendiri, Merta dan keluarganya mendapat kabar buruk. Ia diminta mengosongi lahan yang ditinggalinya puluhan tahun itu paling lambat minggu depan.

Sebab lahan itu ternyata sudah dijual oleh pemilik sebelumnya. Dan, pemilik lahan yang baru ingin membangun di tempat itu sehingga Merta diminta mengosongi tempat itu.

“Kemarin dan tadi, Bapak Bupati ke sini. Sama Bapak Bupati, orang tua saya sudah dicarikan kos satu kamar. Untuk biaya kosnya sudah dibayarkan selama satu tahun sama Bapak Bupati.

Ini saya mau siap-siap pindahkan barang karena diminta segera pindah,” ujar anak laki-laki Merta, Wayan Danda, 25.

Sementara itu, Perbekel Paksebali Putu Ariadi yang dikonfirmasi terpisah membenarkan kondisi itu. Dijelaskannya yang akan pindah ke rumah kost hanya Ketut Merta bersama istri.

Sementara anaknya sudah ngekost dan ada yang tinggal di rumah kerabatnya. “Rumah kost sudah disiapkan di Dusun Kangin, Desa Paksebali.

Kapan saja Ketut Merta bisa pindai, petugas desa akan membantu mengangkut barangnya. Pemilik lahan memberi batas waktu hingga Rabu minggu depan,” tandasnya. (*)

Malang nian nasib keluarga Ketut Merta, 55, warga Dusun Timbrah, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan. Tinggal di lahan pinjaman selama 25 tahun bersama

sang istri dan delapan orang anaknya, kini Merta bersama sang istri harus mencari tempat tinggal baru. Padahal, kondisi ekonominya di bawah garis kemiskinan.

 

 

DEWA AYU PITRI ARISANTI, Semarapura

HARUS Pindah. Tidak ada pilihan lain. Itulah takdir hidup Ketut Merta, 55, yang harus pindah dari gubuk reyotnya yang hampir ambruk di Dusun Timbrah, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung.

Keputusan pindah tempat tinggal harus diambil lantaran lahan yang mereka tinggali selama ini telah dijual pemilik sebelumnya dan rencananya akan dibangun oleh pemilik yang baru.

Ketut Merta saat ditemui di rumah semi permanen beratap seng miliknya di wilayah Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, terlihat tampak murung.

Itu lantaran ia harus bersiap meninggalkan rumah yang sudah 25 tahun ditempatinya bersama istri, Nengah Susun, 45,

dan delapan orang anaknya berkat belas kasihan Jejeng, pemilik tanah sebelumnya yang sudah lama meninggal dunia.

 “Saya tidak punya tempat tinggal. Karena kasihan, Pak Jejeng kasih saya pinjam tanahnya untuk ditinggali secara cuma-cuma.

Pak Jejeng ini warga asli Paksebali yang sering saya ajak berjualan keliling. Sudah 25 tahun, saya tinggal di sini dan sudah medesa adat, desa dinas di sini,” bebernya.

Merta menuturkan, dia sebenarnya berasal dari Dusun Kebon Bukit, Desa Bukit, Kecamatan Karangasem. Kedua orang tuanya meninggal dunia sejak ia masih kecil.

Atas belas kasihan kerabatnya, ia akhirnya dirawat hingga remaja. Sadar diri berasal dari keluarga kurang mampu, Merta pun berusaha menghidupi dirinya sendiri sedari remaja dengan berjualan sate ikan.

Dan, ia tinggal berpindah-pindah dengan menyewa tanah milik orang lain. “Karena orang tua saya meninggal saat saya kecil, saya tidak tahu siapa saja keluarga saya. Saya tidak punya rumah di Karangasem,” terangnya.

Atas kemurahan hati Jejeng, akhirnya Merta dan keluarganya bisa memiliki tempat tinggal tanpa pusing memikirkan biaya sewa.

Meski telah bekerja keras dengan berjualan sate ikan berkeliling, Merta belum bisa memperbaiki ekonomi keluarganya.

Bahkan, Merta kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari istri dan kedelapan orang anaknya.

“Anak saya semuanya tidak tamat sekolah. Untuk makan saja sudah sulit sekali. Sekarang anak saya masih lima karena tiga sudah meninggal,” ungkapnya.

Kondisi ekonominya kian diperparah dengan kondisi kesehatan istrinya yang memiliki penyakit epilepsi.

Lantaran sering kambuh, bahkan saat mereka berjualan sate, Merta pun berhenti berjualan dan memilih untuk membuat tusuk sate dengan penghasilan Rp 20 ribu-Rp 25 ribu per hari.

“Istri saya tidak bisa ditinggal karena sering kambuh epilepsinya. Jadi saya buat tusuk sate di rumah saja,” terangnya.

Dengan kondisi seperti itu, Merta tidak mampu membeli rumahnya sendiri. Itu sebabnya, ia bersama istrinya masih menempati tanah milik Jejeng hingga saat ini.

Sementara anak-anaknya, ada yang tinggal dengan menyewa lahan milik orang lain dan ada pula yang tinggal dengan cara ngekos.

Lantaran kondisi rumah Merta yang sudah tidak mampu menampung anak-anaknya yang sudah dewasa.

“Listrik saja baru saya bisa saya miliki setelah pinjam uang di banjar enam bulan lalu. Belum lunas utang saya di banjar,” katanya.

Belum juga mampu membeli tempat tinggal sendiri, Merta dan keluarganya mendapat kabar buruk. Ia diminta mengosongi lahan yang ditinggalinya puluhan tahun itu paling lambat minggu depan.

Sebab lahan itu ternyata sudah dijual oleh pemilik sebelumnya. Dan, pemilik lahan yang baru ingin membangun di tempat itu sehingga Merta diminta mengosongi tempat itu.

“Kemarin dan tadi, Bapak Bupati ke sini. Sama Bapak Bupati, orang tua saya sudah dicarikan kos satu kamar. Untuk biaya kosnya sudah dibayarkan selama satu tahun sama Bapak Bupati.

Ini saya mau siap-siap pindahkan barang karena diminta segera pindah,” ujar anak laki-laki Merta, Wayan Danda, 25.

Sementara itu, Perbekel Paksebali Putu Ariadi yang dikonfirmasi terpisah membenarkan kondisi itu. Dijelaskannya yang akan pindah ke rumah kost hanya Ketut Merta bersama istri.

Sementara anaknya sudah ngekost dan ada yang tinggal di rumah kerabatnya. “Rumah kost sudah disiapkan di Dusun Kangin, Desa Paksebali.

Kapan saja Ketut Merta bisa pindai, petugas desa akan membantu mengangkut barangnya. Pemilik lahan memberi batas waktu hingga Rabu minggu depan,” tandasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/