UNTUK kesekian kalinya kami ingatkan kepada Menteri Hukum dan HAM RI Yasanna Laoly agar tidak menjadi keledai dalam urusan remisi I Nyoman Susrama, dalang pembunuhan wartawan Radar Bali, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
Tidak hanya Yasonna, tapi juga bawahannya yaitu Kakanwil Hukum dan HAM RI Provinsi Bali secara berjenjang hingga Karutan Bangli dan Bapas Karangasem.
Saya hanya ingin mengingatkan, tahun 2019 lalu saat menerima aksi Solidaritas Jurnalis Bali (SJB), Kakanwil Hukum dan HAM Bali saat itu yakni Sutrisno telah menunjukkan komitmennya.
Sutrisno mempertegas persyaratan khusus dan catatan khusus bagi terpidana Susrama. Mestinya hal itu juga diindahkan oleh pengganti Sutrisno saat ini, yaitu Jamaruli Manihuruk.
Jangan sampai kami turun lagi dengan jumlah massa melimpah di masa pandemi ini. Kami tidak mengancam, kami sudah pernah membuktikannya dua tahun lalu.
Sekali lagi, untuk Yasonna dan jajarannya jangan sampai meloloskan permohonan remisi Susrama. Apalagi memberi grasi.
Kita sudah final, bahwa urusan Susrama ini menjadi masalah pembunuhan jurnalis yang sedang bertugas.
Sehingga kita anggap pembunuhan ini bukan seperti pembunuhan biasa, tapi menjadi masalah ancaman bagi kebebasan jurnalis.
Para jurnalis yang ada di Bali dan penjuru tanah air sudah bersepakat, bahwa tidak ada ampun bagi pelaku kejahatan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugasnya.
Prabangsa dihabisi saat menjalankan tugasnya mengungkap fakta kasus korupsi proyek yang dipimpin Susrama.
Kita juga sudah mengultimatum pemerintah, bahwa hanya kasus Susrama inilah satu-satunya kasus pembunuhan terhadap wartawan yang terungkap.
Susrama juga satu-satunya pelaku kejahatan terhadap wartawan yang mendapat hukuman berat.
Semestinya penegakan hukum terhadap Susrama ini menjadi simbol negara dalam hal perlindungan terhadap insan pers.
Saya kira yang namanya kebijakan negara memberikan atau tidak terhadap remisi pengurangan hukuman juga menjadi tanggung jawab moral. Sekalipun Susrama tidak bisa dilarang kalau ingin mengajukan remisi.
Namun, Pencabutan Keppres Nomor 29/2018 dan diagnti dengan Keppres Presiden Nomor 3/2019 oleh Presiden Jokowi merupakan tamparan keras bagi
Kementerian Hukum dan HAM RI, bahwa usulannya membuat presiden harus merevisi kembali dan mencabut Keputusannya terdahulu.
Jangan sampai keputusan presiden yang merupakan usulan kementerian malah digugat ke PTUN, dan menggangu citra pemerintahan Jokowi.
Jika hal ini tidak signifikan untuk diurus oleh Kementerian Hukum dan HAM RI, sebaiknya diambil keputusan internal saja sehingga dapat meneduhkan situasi di tengah pandemi. (*)
I Made “Ariel” Suardana
Kuasa Hukum Solidaritas Jurnalis Bali