DENPASAR – Kejati Bali menggeber kasus dugaan korupsi aset negara berupa tanah kantor Kejari Tabanan dengan nilai kerugian Rp 14, 3 miliar.
Setelah menetapkan enam orang tersangka, saat ini Kejati Bali meminta keterangan para saksi ahli.
Untuk mendapat keterangan saksi ahli ini, jaksa penyidik sampai harus terbang ke Jakarta bertemu saksi ahli dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Teman-teman penyidik sudah optimal melaksanakan penyidikan. Kami serius ingin menyelesaikan permasalahan aset negara di Tabanan ini,” ujar Kasi Penkum Kejati Bali, A. Luga Harlianto kemarin.
Ditanya alasan mencari saksi ahli sampai ke Ibu Kota, Luga menyebut penyidik ingin mendapat keterangan dari pihak yang benar-benar berkompeten.
Tapi, bisa saja penyidik direkomendasikan menemui ahli dari BPN pusat karena dianggap mampu menjawab kasus yang terjadi. “Akibat dari pendudukan lahan itu negara tidak bisa menggunakan aset,” imbuhnya.
Luga menyatakan pihaknya sudah berulang kali melakukan langkah persuasive dengan cara mendekati orang-orang yang menduduki lahan.
Bahkan, pihaknya juga sudah melakukan mediasi. Namun, semua itu ditolak pihak yang menempati lahan.
“Karena tidak ada iktikad baik, sudah persuasif tapi tidak mau menyerahkan tanah, maka jalan terakhir adalah penindakan,” tegas mantan Kacabjari Nusa Penida, itu.
Luga memaparkan, penyelidikan dugaan korupsi aset negara di Tabanan ini sudah dimulai akhir 2020. Di mana Kejari Tabanan memiliki aset berupa tanah kantor dengan status hak pakai di Jalan Gelgel, Dauh Pala.
Tanah tersebut merupakan tanah pemberian dari Gubernur Bali sejak 1974. Tanah lalu diserahkan pada Kejaksaan Agung dan diserahkan kepada
Kejaksaan Tinggi Bali untuk digunakan sebagai kantor dan rumah dinas Kejari Tabanan. Status tanah tersebut merupakan tanah negara sejak Desember 1968.
Pada tanah tersebut telah dibangun kantor dan rumah dinas. Namun, tahun 1997 Kantor Kejari Tabanan pindah ke lokasi saat ini, di Jalan PB Sudirman, wilayah Dangin Carik.
Nah, saat kantor Kejari Tabanan pindah itulah keluarga dari tersangka IKG, PM dan MK mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
Mereka lantas mendirikan bangunan secara bertahap berupa kos-kosan yang saat ini dikelola oleh IKG, PM dan MK.
Selanjutnya pada 1999 terdapat keluarga WS, NM dan NS yang membangun rumah tinggal sementara di atas tanah tersebut tanpa ada alas hak yang sah berdasar peraturan perundang-undangan.
WS, NM dan NS kemudian membangun toko. “WS, NM, dan NS ini mendapatkan hasil sewa dari pemanfaatan aset tanah milik Kejari Tabanan,” jelas Luga.
Walhasil, perbuatan WS, NM, NS, IKG, PM dan MK mengakibatkan Kejari Tabanan tidak bisa memanfaatkan tanah asetnya, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 14,3 miliar.
Perbuatan keenam tersangka melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU NoTipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1.