27.3 C
Jakarta
21 November 2024, 23:48 PM WIB

LBH Bali Sebut Penutupan Ashram Krishna Balaram Langgar Hukum dan HAM

DENPASAR – Yayasan Lembahga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bali mengutuk segala tindakan intoleran yang terjadi di Bali. Ini menyusul penutupan Ashram Krishna Balaram yang menjadi tempat aktivitas penganut ajaran sampradaya Hare Krishna beberapa waktu lalu di wilayah Kesiman, Denpasar.

 

LBH Bali menilai penutupan dan pelarangan aktivitas keagamaan dari aliran Hare Krishna tersebut sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM). Hal itu disampaikan LBH Bali melalui pernyataan sikapnya yang diterima radarbali.id, Kamis (22/4).  

 

“Kami mengecam segala bentuk tindakan intoleran terhadap hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk setiap warga negara Indonesia,” demikian disampaikan Direktur LBH Bali Kadek Vany Primaliraning dalam pernyataan sikap LBH Bali.

 

Dijelaskan, konflik beragama dan berkeyakinan kian meruncing di Bali, puncaknya hingga diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Nomor: 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor: 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tertangal 16 Desember 2020 oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

 

Dalam SKB tersebut, pada pokoknya melakukan pembatasan kegiatan pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Bali di Bali terhadap anggota, pengurus dan/atau simpatisan Hare Krishna/International Society Krishna Consciousness (ISKCON) beserta organisasinya di Bali sebagai bagian dari sampradaya nondresta Bali.

 

“Hingga penutupan dan pelarangan aktivitas Hare Krisna di Ashram Krishna Balaram karena melakukan aktifitas non dresta Bali di wewidangan desa adat kesiman,” katanya.

 

Sebagaimana diketahui setiap jengkal tanah di Bali berada di wilayah Desa Adat, pemberlakuan Surat Kesepakatan Bersama sebagai sanksi Kesepekang atau dikucilkan hingga hilangnya beberapa akses dan fasilitas publik bagi penganut kepercayaan nondresta Bali.

 

“Hal ini tentu bertentangan dengan Konstitusi, Hak Asasi Manusia, peraturan perundang-undangan dan ajaran agama itu sendiri,” tuturnya.

 

Dijelaskan, mengutip (Bhagavad Gītā, 7.21) yo yo yam´ yam´ tanum´ bhakti, sraddhayarcitum icchati, tasya tasyacalam´ sraddham, tam eva vidadhamy aham. Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap.

 

“Agama Hindu sangat menghargai keberagaman dan menghargai adanya perbedaan kepercayaan yang di peluk seseorang, sehingga Agama Hindu merupakan agama yang sangat menghargai adanya pluralisme,” katanya lebih lanjut.

 

Selain itu, lanjutnya, keberagaman juga diatur dalam Pasal 28 E,I,J dan 29 UUD 1945, Pasal 18 dan 20 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Intf,Rnasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), Pasal 4 dan 22 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).

 

“Pasal-pasal ini melegitimasi terhadap kebebasan berkeyakinan dan beragama Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, harus dilarang oleh hukum. Pemerintah harus mengambil sikap serius terhadap pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama di Bali,” terangnya.

 

Dengan mengacu pada Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasar Agama dan Kepercayaan Tahun 1981 maka mencakup menjalankan agama dalam kegiatan ibadah, memiliki tempat ibadah, menggunakan/memakai symbol-symbol agama, memperingati hari-hari besar keagamaan, menunjuk dan memilih pemimpin agama.

 

Tidak hanya itu, juga mengajarkan dan menyebarkan bahan-bahan keagamaan (siar agama), hak orang tua memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka, berkomunikasi dengan individu dan komunitas tentang urusan agama di tingkat nasional dan internasional, mendirikan dan menjalankan lembaga-lembaga kemanusiaan dan menerima pendanaan, mengajukan keberatan yang didasarkan pada hati nurani.

 

“Oleh sebab itu pelarangan dalam bentuk Surat Kesepakatan Bersama serta penutupan tempat ibadah merupakah bagian pelanggaran Hukum dan HAM khususnya Tindakan Intoleransi kebebasan Berkeyakinan dan Beragama,” jelasnya.

 

Atas hal tersebut, YLBHI-LBH Bali beberapa poin dalam pernyataan sikapnya. Antara lain Pertama, menuntut Parisadha Hindu Dharma Indonesia dan Majelis Desa adat mencabut Surat Keputusan Bersama Nomor: 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor: 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tertangal 16 Desember 2020; Kedua, menuntut Gubernur Bali melakukan upaya pencegahan terhadap maraknya tindakan intoleransi kebebasan berkeyakinan dan beragama di Bali; Ketiga, menuntut pihak Kepolisian untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam menjalani agama yang diyakini; Keempat, menuntut seluruh Kepala Daerah se Bali mengambil kebijakan-kebijakan untuk mencegah terjadinya tindakan yang dapat mencederai hak warga negara atas kebebasan beragama dan berkeyakin.

 

“Mengutuk terhadap segala bentuk tindakan intoleran yang dilakukan oleh individu individu dan ormas ormas, baik berupa tindakan pembubaran, kekerasan dan ujaran kebencian yang mengabaikan ke-Bhinekean bangsa Indonesia,” pungkas LBH pada poin kelima pernyataan sikapnya.

DENPASAR – Yayasan Lembahga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bali mengutuk segala tindakan intoleran yang terjadi di Bali. Ini menyusul penutupan Ashram Krishna Balaram yang menjadi tempat aktivitas penganut ajaran sampradaya Hare Krishna beberapa waktu lalu di wilayah Kesiman, Denpasar.

 

LBH Bali menilai penutupan dan pelarangan aktivitas keagamaan dari aliran Hare Krishna tersebut sebagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM). Hal itu disampaikan LBH Bali melalui pernyataan sikapnya yang diterima radarbali.id, Kamis (22/4).  

 

“Kami mengecam segala bentuk tindakan intoleran terhadap hak atas kebebasan berkumpul dan berpendapat serta hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan untuk setiap warga negara Indonesia,” demikian disampaikan Direktur LBH Bali Kadek Vany Primaliraning dalam pernyataan sikap LBH Bali.

 

Dijelaskan, konflik beragama dan berkeyakinan kian meruncing di Bali, puncaknya hingga diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Nomor: 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor: 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tertangal 16 Desember 2020 oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

 

Dalam SKB tersebut, pada pokoknya melakukan pembatasan kegiatan pengembanan ajaran sampradaya non-dresta Bali di Bali terhadap anggota, pengurus dan/atau simpatisan Hare Krishna/International Society Krishna Consciousness (ISKCON) beserta organisasinya di Bali sebagai bagian dari sampradaya nondresta Bali.

 

“Hingga penutupan dan pelarangan aktivitas Hare Krisna di Ashram Krishna Balaram karena melakukan aktifitas non dresta Bali di wewidangan desa adat kesiman,” katanya.

 

Sebagaimana diketahui setiap jengkal tanah di Bali berada di wilayah Desa Adat, pemberlakuan Surat Kesepakatan Bersama sebagai sanksi Kesepekang atau dikucilkan hingga hilangnya beberapa akses dan fasilitas publik bagi penganut kepercayaan nondresta Bali.

 

“Hal ini tentu bertentangan dengan Konstitusi, Hak Asasi Manusia, peraturan perundang-undangan dan ajaran agama itu sendiri,” tuturnya.

 

Dijelaskan, mengutip (Bhagavad Gītā, 7.21) yo yo yam´ yam´ tanum´ bhakti, sraddhayarcitum icchati, tasya tasyacalam´ sraddham, tam eva vidadhamy aham. Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang, Aku perlakukan mereka sama dan Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap.

 

“Agama Hindu sangat menghargai keberagaman dan menghargai adanya perbedaan kepercayaan yang di peluk seseorang, sehingga Agama Hindu merupakan agama yang sangat menghargai adanya pluralisme,” katanya lebih lanjut.

 

Selain itu, lanjutnya, keberagaman juga diatur dalam Pasal 28 E,I,J dan 29 UUD 1945, Pasal 18 dan 20 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Intf,Rnasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik), Pasal 4 dan 22 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965).

 

“Pasal-pasal ini melegitimasi terhadap kebebasan berkeyakinan dan beragama Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan, harus dilarang oleh hukum. Pemerintah harus mengambil sikap serius terhadap pelanggaran kebebasan berkeyakinan dan beragama di Bali,” terangnya.

 

Dengan mengacu pada Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi berdasar Agama dan Kepercayaan Tahun 1981 maka mencakup menjalankan agama dalam kegiatan ibadah, memiliki tempat ibadah, menggunakan/memakai symbol-symbol agama, memperingati hari-hari besar keagamaan, menunjuk dan memilih pemimpin agama.

 

Tidak hanya itu, juga mengajarkan dan menyebarkan bahan-bahan keagamaan (siar agama), hak orang tua memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka, berkomunikasi dengan individu dan komunitas tentang urusan agama di tingkat nasional dan internasional, mendirikan dan menjalankan lembaga-lembaga kemanusiaan dan menerima pendanaan, mengajukan keberatan yang didasarkan pada hati nurani.

 

“Oleh sebab itu pelarangan dalam bentuk Surat Kesepakatan Bersama serta penutupan tempat ibadah merupakah bagian pelanggaran Hukum dan HAM khususnya Tindakan Intoleransi kebebasan Berkeyakinan dan Beragama,” jelasnya.

 

Atas hal tersebut, YLBHI-LBH Bali beberapa poin dalam pernyataan sikapnya. Antara lain Pertama, menuntut Parisadha Hindu Dharma Indonesia dan Majelis Desa adat mencabut Surat Keputusan Bersama Nomor: 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor: 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tertangal 16 Desember 2020; Kedua, menuntut Gubernur Bali melakukan upaya pencegahan terhadap maraknya tindakan intoleransi kebebasan berkeyakinan dan beragama di Bali; Ketiga, menuntut pihak Kepolisian untuk memberikan perlindungan terhadap masyarakat dalam menjalani agama yang diyakini; Keempat, menuntut seluruh Kepala Daerah se Bali mengambil kebijakan-kebijakan untuk mencegah terjadinya tindakan yang dapat mencederai hak warga negara atas kebebasan beragama dan berkeyakin.

 

“Mengutuk terhadap segala bentuk tindakan intoleran yang dilakukan oleh individu individu dan ormas ormas, baik berupa tindakan pembubaran, kekerasan dan ujaran kebencian yang mengabaikan ke-Bhinekean bangsa Indonesia,” pungkas LBH pada poin kelima pernyataan sikapnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/