29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 9:10 AM WIB

Sebelum Dibui Sempat Jadi Pegiat dan Penulis Buku Antikorupsi

Dunia ini kadang diwarnai ironi. Semasa menjabat sebagai bupati,  Winasa dikenal getol dengan gerakan antikorupsi.

Sempat juga menerima piagam penghargaan sebagai pegiat antikorupsi dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) tahun 2007.

Dia juga menulis buku “Tidak Sulit Mencegah Korupsi” tahun 2009 lalu.

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

PRAKTIK rasuah itu telah jadi tamparan keras bagi Winasa dan keluarganya. Maklum, awalnya dia juga getol dan mengingatkan banyak orang untuk tidak korupsi, kini malah sama-sama masuk bui karena korupsi.

Seperti itulah perjalanan hidup I Gede Winasa dan Ratna Ani Lestari. Mantan pasangan suami istri (pasutri) ini sama-sama pernah menjabat sebagai bupati.

Winasa menjabat bupati Jembrana (periode 2000-2010) dan Ratna Ani Lestari menjabat sebagai bupati Banyuwangi, Jatim (periode 2005-2010).

Sayangnya, setelah lengser menjabat, keduanya juga sama-sama kompak terjerat kasus korupsi dan dibui. 

Ratna Lestari dibui setelah tersandung kasus korupsi proyek pembangunan Bandara Blimbing Sari, Banyuwangi, Jatim, sebesar Rp 19,7 miliar.

Pada 11 Februari 2013 silam, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Ratna.

Selanjutnya, Pada 29 Mei 2013, di tingkat banding, hukuman Ratna dinaikkan jadi 6 tahun penjara.  Tidak terima, Ratna mengajukan kasasi.

Putusan kasasi, ketua majelis Dr. Artidjo Alkostar dengan anggota MS Lumme dan Leopold Luhut Hutagalung menghukum Ratna dengan pidana selama 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta,  subsider 8 bulan penjara.

Ratna dinyatakan melakukan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Sebagai perbuatan berlanjut saat dirinya menjabat sebagai bupati Banyuwangi satu periode itu. 

Akibat perbuatan Ratna, Negara (Pemkab Banyuwangi) dirugikan sebesar Rp 19,7 miliar. Demikian juga Winasa.

Seusai lengser dia terjerat tiga kasus korupsi dengan akumulasi hukuman penjara selama 13,5 tahun serta denda.

Akibat putusan itu, Winasa masih berupaya mengajukan upaya hokum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK)

untuk kasus korupsi Beasiswa Stikes dan Stitna Jembrana, dan upaya hokum banding atas putusan 4 tahun kasus korupsi perjalanan dinas fiktif.

“Novum (bukti baru) sedang saya kumpulkan dan susun dengan kuasa hukum,” ujar Winasa. Disebutkan, khusus perkara beasiswa Stikes dan Stitna, Winasa tetap kukuh dengan mengatakan ada rekayasa.

Menurutnya, semua mahasiswa penerima beasiswa Stikes dan Stitna sudah menerima uang beasiswa dengan lengkap, selain itu LHP BPK Bali menyatakan tidak ada kerugian Negara,

ketiga Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 8 Tahun 2009 yang kini sudah mendapat klarifikasi resmi dari Ketua DPRD Jembrana dengan pembatasan IPK 2,5 sebagai barang bukti berupa fotokopi, aslinya tidak pernah ada. 

Bukti lainnya menurutnya  ada. Yakni bahwa selain anggaran beasiswa sudah dianggarkan pada APBD Bansos sebagai pengguna anggaran sekda, pengeluaran beasiswa dengan SK bupati juga atas usulan proposal dari mahasiswa.

“Dengan surat kajian Diknasparbud adalah keputusan diskresi atau tetap, dan terakhir sesuai SK pembinaYayasan Tat Twam Asi tertanggal 22 November 2005 saya sudah dinonaktifkan dari jabatan ketua karena terpilih jadi bupati,” papar Winasa.

Sehingga dengan adanya sejumlah bukti itu, terkait argument hakim dengan adanya pelanggaran Perbup No.8/2009 dalam bentuk fotokopi dengan menyatakan bahwa ada

kerugian Negara dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dinilai sebuah kebohongan dan sangat merugikan dirinya.

“Akibat argumen itu saya harus menanggung hukuman dan membayar kerugian. Kerugian yang mana? Ketika mahasiswa sudah menerima,” sergah Winasa.

Sementara itu, menanggapi protes dan keberatan serta upaya hukum luar biasa (PK) Winasa, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Jembrana Made Pasek Budiawan yang dikonfirmasi terpisah mengatakan bahwa pendapat yang disampaikan Winasa adalah hak terpidana.

 ”Pengajuan upaya hukum luar biasa PK adalah hak terpidana. Silakan saja jika terpidana memiliki novum,” tegas Pasek Budiawan.

Termasuk tudingan Winasa terkait adanya rekayasa perkara Winasa, Pasek Budiawan mengatakan bahwa seluruh perkara sudah maju dan diproses di persidangan.

Sehingga dengan sudah adanya putusan majelis hakim, maka suka tidak suka dan mau tidak mau terpidana harus menerima.

“Tetapi kami tidak di ranah (penilaian atas putusan) itu. Kami (jaksa penuntut) hanya berpatokan pada alat bukti dan fakta di persidangan.

Jadi apakah memang ada upaya kriminalisasi maupun rekayasa, publik bisa melihat di persidangan yang sudah dibuka untuk umum,” urainya.

Demikian halnya dengan diantrenya kasus yang melilit Winasa, Pasek Budiawan mengatakan bahwa waktu tidak jadi faktor.

Melainkan pemeriksaan perkara dilakukan apabila ada laporan. “Jadi tidak seperti makan cabai. Waktu bagi kami tidak jadi faktor.

Selama memenuhi unsur dan dua alat bukti bukti yang cukup maka perkara akan kami proses,” jelas Budiawan. 

Dunia ini kadang diwarnai ironi. Semasa menjabat sebagai bupati,  Winasa dikenal getol dengan gerakan antikorupsi.

Sempat juga menerima piagam penghargaan sebagai pegiat antikorupsi dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Men PAN-RB) tahun 2007.

Dia juga menulis buku “Tidak Sulit Mencegah Korupsi” tahun 2009 lalu.

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

PRAKTIK rasuah itu telah jadi tamparan keras bagi Winasa dan keluarganya. Maklum, awalnya dia juga getol dan mengingatkan banyak orang untuk tidak korupsi, kini malah sama-sama masuk bui karena korupsi.

Seperti itulah perjalanan hidup I Gede Winasa dan Ratna Ani Lestari. Mantan pasangan suami istri (pasutri) ini sama-sama pernah menjabat sebagai bupati.

Winasa menjabat bupati Jembrana (periode 2000-2010) dan Ratna Ani Lestari menjabat sebagai bupati Banyuwangi, Jatim (periode 2005-2010).

Sayangnya, setelah lengser menjabat, keduanya juga sama-sama kompak terjerat kasus korupsi dan dibui. 

Ratna Lestari dibui setelah tersandung kasus korupsi proyek pembangunan Bandara Blimbing Sari, Banyuwangi, Jatim, sebesar Rp 19,7 miliar.

Pada 11 Februari 2013 silam, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara kepada Ratna.

Selanjutnya, Pada 29 Mei 2013, di tingkat banding, hukuman Ratna dinaikkan jadi 6 tahun penjara.  Tidak terima, Ratna mengajukan kasasi.

Putusan kasasi, ketua majelis Dr. Artidjo Alkostar dengan anggota MS Lumme dan Leopold Luhut Hutagalung menghukum Ratna dengan pidana selama 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta,  subsider 8 bulan penjara.

Ratna dinyatakan melakukan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Sebagai perbuatan berlanjut saat dirinya menjabat sebagai bupati Banyuwangi satu periode itu. 

Akibat perbuatan Ratna, Negara (Pemkab Banyuwangi) dirugikan sebesar Rp 19,7 miliar. Demikian juga Winasa.

Seusai lengser dia terjerat tiga kasus korupsi dengan akumulasi hukuman penjara selama 13,5 tahun serta denda.

Akibat putusan itu, Winasa masih berupaya mengajukan upaya hokum luar biasa dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK)

untuk kasus korupsi Beasiswa Stikes dan Stitna Jembrana, dan upaya hokum banding atas putusan 4 tahun kasus korupsi perjalanan dinas fiktif.

“Novum (bukti baru) sedang saya kumpulkan dan susun dengan kuasa hukum,” ujar Winasa. Disebutkan, khusus perkara beasiswa Stikes dan Stitna, Winasa tetap kukuh dengan mengatakan ada rekayasa.

Menurutnya, semua mahasiswa penerima beasiswa Stikes dan Stitna sudah menerima uang beasiswa dengan lengkap, selain itu LHP BPK Bali menyatakan tidak ada kerugian Negara,

ketiga Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 8 Tahun 2009 yang kini sudah mendapat klarifikasi resmi dari Ketua DPRD Jembrana dengan pembatasan IPK 2,5 sebagai barang bukti berupa fotokopi, aslinya tidak pernah ada. 

Bukti lainnya menurutnya  ada. Yakni bahwa selain anggaran beasiswa sudah dianggarkan pada APBD Bansos sebagai pengguna anggaran sekda, pengeluaran beasiswa dengan SK bupati juga atas usulan proposal dari mahasiswa.

“Dengan surat kajian Diknasparbud adalah keputusan diskresi atau tetap, dan terakhir sesuai SK pembinaYayasan Tat Twam Asi tertanggal 22 November 2005 saya sudah dinonaktifkan dari jabatan ketua karena terpilih jadi bupati,” papar Winasa.

Sehingga dengan adanya sejumlah bukti itu, terkait argument hakim dengan adanya pelanggaran Perbup No.8/2009 dalam bentuk fotokopi dengan menyatakan bahwa ada

kerugian Negara dan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dinilai sebuah kebohongan dan sangat merugikan dirinya.

“Akibat argumen itu saya harus menanggung hukuman dan membayar kerugian. Kerugian yang mana? Ketika mahasiswa sudah menerima,” sergah Winasa.

Sementara itu, menanggapi protes dan keberatan serta upaya hukum luar biasa (PK) Winasa, Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Jembrana Made Pasek Budiawan yang dikonfirmasi terpisah mengatakan bahwa pendapat yang disampaikan Winasa adalah hak terpidana.

 ”Pengajuan upaya hukum luar biasa PK adalah hak terpidana. Silakan saja jika terpidana memiliki novum,” tegas Pasek Budiawan.

Termasuk tudingan Winasa terkait adanya rekayasa perkara Winasa, Pasek Budiawan mengatakan bahwa seluruh perkara sudah maju dan diproses di persidangan.

Sehingga dengan sudah adanya putusan majelis hakim, maka suka tidak suka dan mau tidak mau terpidana harus menerima.

“Tetapi kami tidak di ranah (penilaian atas putusan) itu. Kami (jaksa penuntut) hanya berpatokan pada alat bukti dan fakta di persidangan.

Jadi apakah memang ada upaya kriminalisasi maupun rekayasa, publik bisa melihat di persidangan yang sudah dibuka untuk umum,” urainya.

Demikian halnya dengan diantrenya kasus yang melilit Winasa, Pasek Budiawan mengatakan bahwa waktu tidak jadi faktor.

Melainkan pemeriksaan perkara dilakukan apabila ada laporan. “Jadi tidak seperti makan cabai. Waktu bagi kami tidak jadi faktor.

Selama memenuhi unsur dan dua alat bukti bukti yang cukup maka perkara akan kami proses,” jelas Budiawan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/