DENPASAR– Wajar jika LPD Desa Sunantaya, Tabanan, “sakit-sakitan”. Pasalnya, selain kerap menyalurkan kredit di luar batas ketentuan, pengelola LPD yang lama juga sembrono. Hal ini terungkap dalam sidang pembuktian di Pengadilan Tipikor Denpasar belum lama ini.
Saat itu hakim meminta keterangan I Gede Ketut Sukerta, mantan Ketua LPD. Saksi menyebut ada pengurus LPD yang meminjam dana dengan agunan IPT (Inventaris Rumah Tangga). Jawaban itu membuat JPU IB Putu Widnyana dkk terkejut.
“Saudara saksi, maksudnya IPT itu apa?” kejar JPU. Saksi mengatakan, IPT yang dimaksud adalah peralatan rumah tangga. “Perabotan rumah tangga, seperti panci, kompor gas dan yang lainnya,” kata saksi dari balik layar monitor.
Hakim Heriyanti yang memimpin sidang ikut kaget mendengar penjelasan saksi. JPU juga seperti masih tidak percaya dengan keterangan saksi. “Ini (agunan perabotan rumah tangga) sepertinya tidak relevan. Apakah saksi mengecek IPT itu?” cecar JPU.
Yang menarik, saksi menjawab tidak mengecek perabotan rumah tangga yang dijadikan jaminan.
Sementara saksi I Gusti Ketut Sentana (mantan pegawai LPD) menyebut awalnya LPD mendapat modal bantuan pemerintah Rp 7,5 juta. Tugas panureksa melakukan pengawasan dan monitoring, audit, memberikan petunjuk, membantu menyelesaikan masalah, dan lainnya.
Pengelolaan yang tak profesional akhirnya berujung petaka. Salah seorang karyawan melihat kas di LPD minus. Setelah dilakukan musyawarah bersama pengurus adat, LPD dan badan pengawas, ditemukan kredit macet atas nama sejumlah pengurus LPD.
Salah satunya mantan Bendesa Adat Sunantaya, terdakwa I Wayan Sutarja, 57, yang juga mantan anggota DPRD Tabanan dua periode dan terdakwa Ni Putu Eka Swandewi.
Sementara saksi Pande Nyoman Renata, 61, mengungkapkan Sutarja sebagai Bendesa adat sekaligus pengawas LPD mendapatkan fasilitas suku bunga di bawah ketentuan. Dalam rapat desa adat disepakati suku bunga 2,75 persen untuk semua nasabah. Namun, terdakwa Sutarja meminjam dengan bunga di bawah 2,75 persen.
Parahnya lagi, Sutarja lebih dari dua kali mengajukan pinjaman kredit. Tercatat Sutarja memiliki tujuh pinjaman di LPD Sunantaya. Padahal, satu orang hanya berhak mengajukan satu kali pinjaman.
“Pinjaman pertama dan kedua macet, tapi masih diberikan pinjaman. Terdakwa juga sempat menggunakan nama desa adat untuk meminjam uang. Atas nama desa adat, tapi dipakai untuk kepentingan pribadi,” ungkap Renata.
Fakta tidak kalah mengejutkan terungkap saat JPU menanyakan modus Eka Suwandewi. Saksi mengatakan, Suwandewi melakukan kas bon dana LPD. Padahal hal itu tidak diperbolehkan. “Apakah terdakwa Suwandewi juga mengajukan kredit tanpa agunan?” cecar jaksa. “Iya, betul,” jawab saksi.
Dikatakan saksi, apa yang dilakukan Suwandewi sudah merupakan pelanggaran aturan LPD. Sebab, ada perarem (aturan adat) menyatakan pinjaman Rp 1 juta ke atas wajib menyertakan agunanan atau jaminan. Hanya pinjaman di bawah Rp 1 juta yang tanpa jaminan.