DENPASAR– Kasus penggelapan berkedok arisan online dengan terdakwa Ira Yuanita Kweani, 37, memasuki putusan. Sebagai owner sekaligus pendiri arisan online Ira Leenzo Kitchen (ILK), Ira Yuanita diganjar dua tahun penjara.
Majelis hakim yang diketuai I Wayan Suarta menyatakan terdakwa melanggar Pasal 372 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. “Kami menuntut 2,5 tahun penjara, hakim memutus dua tahun. Terdakwa mendapat keringanan enam bulan,” ujar JPU Eddy Arta Wijaya kepada Jawa Pos Radar Bali, Minggu kemarin (17/7).
Menanggpi putusan hakim, terdakwa menyatakan menerima. Begitu juga dengan terdakwa. “Untuk kasus yang ini sudah selesai, tapi terdakwa masih ada kasus satu lagi yang belum putusan,” imbuh JPU Kejati Bali itu.
Kasus arisan online ini sempat menggemparkan jagat dewata. Pasalnya, jumlah korban hingga ratusan orang.
Berdasar dakwaan JPU, Ira merekrut member atau anggota yang kebanyakan orang tua siswa salah satu sekolah dasar elite di Renon. Selanjutnya para korban mengajak member lain.
Jumlah anggota semakin banyak, terdakwa mendapatkan setoran ratusan juta. Bahkan, uang yang dikelolanya tembus miliaran rupiah. Menurut JPU, mekanisme arisan online ILK berbeda dengan arisan pada umumnya.
Arisan online ILK ini membentuk kelompok-kelompok yang disebut kloter. Total ada 19 kloter dengan jumlah 300 orang. “Setiap kloter jumlah anggotanya bervariasi. Antar member juga tidak kenal karena semua kegiatan arisan dilakukan secara online melalui WhatsApp (WA),” ungkap JPU.
Setelah kloter terbentuk, setiap kloter disiapkan nominal penarikan, biaya administrasi, dan tempo pembayaran. Selanjutnya disediakan nomor penarikan dimulai dari nomor satu sampai nomor urut paling bawah.
Jumlah iuran yang harus dibayarkan member arisan nomor urut atas hingga paling bawah nominalnya berbeda. Semakin ke bawah nomor urutnya, membayar arisannya semakin kecil.
Tapi, nominal yang didapat atau dicairkan sama, sehingga member yang mengambil penarikan nomor paling atas akan rugi karena membayar paling banyak. Sedangkan member yang menarik belakangan atau nomor paling bawah mendapat keuntungan karena membayarnya lebih sedikit.
Sampai akhirnya pada Desember 2019 mulai ada masalah, di mana uang penarikan milik korban yang jatuh tempo tidak bisa dicairkan dengan alasan perbaikan sistem. Namun, terdakwa terus mengulur waktu dan tidak bisa menepati pencairan. Salah satu saksi korban Kadek Sri Baliartini mengalami kerugian Rp 205,8 juta. (san)