27.1 C
Jakarta
23 November 2024, 17:15 PM WIB

Melihat Konsep Pertanian Perkotaan di Lahan Sempit Setelah Harga BBM Naik (1-bersambung)

Menyokong Pangan dari Halaman dan Pekarangan Sempit

Usai pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), harga sejumlah kebutuhan pokok ikut terkerek. Di sisi lain penghasilan masyarakat jalan di tempat. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan siasat untuk memperpanjang napas hidup. Salah satunya dengan melakukan urban farming atau konsep pertanian perkotaan di lahan sempit.

Eka Prasetya/Maulana Sandijaya

BEBERAPA tanaman yang umum dibudidayakan adalah sayuran hijau seperti sawi, kangkung, dan bayam. Tanaman untuk bumbu dapur seperti cabai, tomat, terong, kacang panjang, dan mentimun juga bisa dicoba.

Desa Baktiseraga di Kecamatan Buleleng sukses mengembangkan konsep urban farming. Bermula dari sebidang lahan mangkrak, kini jadi lahan produktif. Konsep itu pun diadopsi pemerintah kabupaten. Seperti apa?

Komang Ariawan tampak suntuk di kebun urban farming Desa Baktiseraga. Tiap sore dia selalu menyempatkan diri mampir ke kebun yang terletak di Jalan Kumba Karna itu. Alasannya hanya sekadar melepas lelah usai beraktivitas sebagai aparatur desa.

“Ya, hanya cuci mata saja lihat (tanaman) yang hijau-hijau. Sambil ngobrol sama teman-teman. Di sini kalau sudah lewat jam kerja ya bercanda, nggak ada ngomongin urusan kantor,” kata pria yang juga Kelian Banjar Dinas Seraya itu.

Urban farming Baktiseraga relatif mudah ditemukan. Kebun itu terletak di tepi Jalan Kumba Karna, Desa Baktiseraga. Tepat di seberang TPS 3R Baktiseraga Bersih. Ide membuat kebun itu berawal dari keinginan sederhana. Desa Baktiseraga pada tahun 2020 lalu mendapat bantuan pembangunan TPS 3R. Setelah beroperasi, TPS itu menghasilkan pupuk kompos serta media tanam. Tak mudah mengawali pemasaran kompos, karena masyarakat telanjur fanatik dengan pupuk kimia.

Mencegah penumpukan kompos, pemerintah desa memutuskan membuat sebuah kebun sayur dengan konsep urban farming. Sepetak lahan seluas delapan are yang berada di sisi barat TPS 3R pun dilirik. Lahan itu merupakan milik warga setempat, tapi tidak produktif. Lahan dipenuhi tanaman parasit. Pemerintah desa pun meminjam lahan itu dengan percuma.

Pada Februari 2021 pemerintah desa mulai merabas lahan itu. Membersihkan gulma, meratakan lahan, serta menyiapkan batu bata. Batu bata ditumpuk sedemikian rupa sehingga membentuk petak-petak tertentu dengan ukuran 1,5×3 meter. Di bawahnya dilapisi selembar plastik. “Biar gulmanya nggak gampang naik,” jelas Perbekel Baktiseraga, Gusti Putu Armada.

Untuk menanam, pemerintah desa tak perlu bingung. Media tanam didatangkan dari TPS 3R. Petak-petak tanaman itu kemudian ditanami berbagai jenis sayur mayur. Seperti kangkung, bayam merah, cabai, terong, tomat, serta sayur hijau.

Proses perawatan dipercayakan pada warga desa. Sementara penjualan dilakukan oleh PKK Baktiseraga. Ternyata pembuatan urban farming itu memberikan dampak tak langsung bagi TPS 3R. Masyarakat tertarik menggunakan produk-produk yang dihasilkan TPS 3R Baktiseraga Bersih, lantaran hasil panen urban farming cukup menjanjikan.

Menurut Armada, tadinya ia membuat urban farming semata-mata untuk menjaga ketahanan pangan. Sekaligus memberikan solusi alternatif menyediakan pangan sehat dan murah, yang bisa memberi dampak ekonomi bila digarap lebih serius.

“Ternyata dampaknya besar juga. Hasil TPS 3R kami lebih dilirik. Sekarang banyak yang beli, sampai kami kewalahan menyediakan media tanam dan kompos. Kebun juga jalan terus,” imbuh Armada.

Satu-satunya kendala yang ia hadapi adalah status lahan. Armada sadar betul bila lahan tersebut milik orang lain, dengan status kepemilikan hak milik yang sah. Sehingga dia harus siap meratakan kebun itu kapan saja. “Kalau pemiliknya membutuhkan, ya sudah kami berikan. Selama ini memang kami menumpang. Karena desa tidak punya lahan yang memadai. Tapi sejauh ini pemiliknya masih mengizinkan kami beraktivitas di sini. Tiap panen juga kami biasa ngejot sayur ke sana,” tuturnya. (*)

Usai pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), harga sejumlah kebutuhan pokok ikut terkerek. Di sisi lain penghasilan masyarakat jalan di tempat. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan siasat untuk memperpanjang napas hidup. Salah satunya dengan melakukan urban farming atau konsep pertanian perkotaan di lahan sempit.

Eka Prasetya/Maulana Sandijaya

BEBERAPA tanaman yang umum dibudidayakan adalah sayuran hijau seperti sawi, kangkung, dan bayam. Tanaman untuk bumbu dapur seperti cabai, tomat, terong, kacang panjang, dan mentimun juga bisa dicoba.

Desa Baktiseraga di Kecamatan Buleleng sukses mengembangkan konsep urban farming. Bermula dari sebidang lahan mangkrak, kini jadi lahan produktif. Konsep itu pun diadopsi pemerintah kabupaten. Seperti apa?

Komang Ariawan tampak suntuk di kebun urban farming Desa Baktiseraga. Tiap sore dia selalu menyempatkan diri mampir ke kebun yang terletak di Jalan Kumba Karna itu. Alasannya hanya sekadar melepas lelah usai beraktivitas sebagai aparatur desa.

“Ya, hanya cuci mata saja lihat (tanaman) yang hijau-hijau. Sambil ngobrol sama teman-teman. Di sini kalau sudah lewat jam kerja ya bercanda, nggak ada ngomongin urusan kantor,” kata pria yang juga Kelian Banjar Dinas Seraya itu.

Urban farming Baktiseraga relatif mudah ditemukan. Kebun itu terletak di tepi Jalan Kumba Karna, Desa Baktiseraga. Tepat di seberang TPS 3R Baktiseraga Bersih. Ide membuat kebun itu berawal dari keinginan sederhana. Desa Baktiseraga pada tahun 2020 lalu mendapat bantuan pembangunan TPS 3R. Setelah beroperasi, TPS itu menghasilkan pupuk kompos serta media tanam. Tak mudah mengawali pemasaran kompos, karena masyarakat telanjur fanatik dengan pupuk kimia.

Mencegah penumpukan kompos, pemerintah desa memutuskan membuat sebuah kebun sayur dengan konsep urban farming. Sepetak lahan seluas delapan are yang berada di sisi barat TPS 3R pun dilirik. Lahan itu merupakan milik warga setempat, tapi tidak produktif. Lahan dipenuhi tanaman parasit. Pemerintah desa pun meminjam lahan itu dengan percuma.

Pada Februari 2021 pemerintah desa mulai merabas lahan itu. Membersihkan gulma, meratakan lahan, serta menyiapkan batu bata. Batu bata ditumpuk sedemikian rupa sehingga membentuk petak-petak tertentu dengan ukuran 1,5×3 meter. Di bawahnya dilapisi selembar plastik. “Biar gulmanya nggak gampang naik,” jelas Perbekel Baktiseraga, Gusti Putu Armada.

Untuk menanam, pemerintah desa tak perlu bingung. Media tanam didatangkan dari TPS 3R. Petak-petak tanaman itu kemudian ditanami berbagai jenis sayur mayur. Seperti kangkung, bayam merah, cabai, terong, tomat, serta sayur hijau.

Proses perawatan dipercayakan pada warga desa. Sementara penjualan dilakukan oleh PKK Baktiseraga. Ternyata pembuatan urban farming itu memberikan dampak tak langsung bagi TPS 3R. Masyarakat tertarik menggunakan produk-produk yang dihasilkan TPS 3R Baktiseraga Bersih, lantaran hasil panen urban farming cukup menjanjikan.

Menurut Armada, tadinya ia membuat urban farming semata-mata untuk menjaga ketahanan pangan. Sekaligus memberikan solusi alternatif menyediakan pangan sehat dan murah, yang bisa memberi dampak ekonomi bila digarap lebih serius.

“Ternyata dampaknya besar juga. Hasil TPS 3R kami lebih dilirik. Sekarang banyak yang beli, sampai kami kewalahan menyediakan media tanam dan kompos. Kebun juga jalan terus,” imbuh Armada.

Satu-satunya kendala yang ia hadapi adalah status lahan. Armada sadar betul bila lahan tersebut milik orang lain, dengan status kepemilikan hak milik yang sah. Sehingga dia harus siap meratakan kebun itu kapan saja. “Kalau pemiliknya membutuhkan, ya sudah kami berikan. Selama ini memang kami menumpang. Karena desa tidak punya lahan yang memadai. Tapi sejauh ini pemiliknya masih mengizinkan kami beraktivitas di sini. Tiap panen juga kami biasa ngejot sayur ke sana,” tuturnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/