Perbekel Baktiseraga, Gusti Putu Armada mengatakan, konsep urban farming terus diperluas. Pemerintah desa tak lagi mengandalkan sepetak lahan di Jalan Kumba Karna. Beberapa petak lahan lain juga dilirik. Kebanyakan berada di kawasan Perumahan LC Desa Baktiseraga.
Eka Prasetya/Maulana Sandijaya
LAHAN-lahan yang luasannya 1 – 4 are selama ini merupakan lahan tidur yang dipenuhi semak belukar. Ketimbang tak produktif, pemerintah desa menanami lahan tersebut dengan tanaman sayur mayur dan pepaya California. Ada pula yang ditanami rumput gajah. Kini luas lahan yang dikelola mencapai 20 are.
“Semuanya itu lahan produktif milik warga. Daripada tidak produktif ditumbuhi belukar, lebih baik kami isi tanaman produktif. Kalau yang ditanami rumput gajah, hasilnya kami jadikan pakan kambing. Kebetulan kami punya rumah ternak juga,” jelas Armada.
Uniknya, saat mengelola lahan nonproduktif itu, Armada sempat didatangi seorang pemilik lahan. Pria itu datang dengan membawa selembar sertifikat hak milik. Ia mempertanyakan langkah sejumlah warga yang menanami lahan tersebut.
“Saya jelaskan kalau lahan itu dibersihkan dan ditanami pepaya, dari pada mangkrak. Setelah dijelaskan dia paham. Tadinya kami tawarkan sistem sewa, tapi pemiliknya tidak mau. Dia hanya minta lahannya dijaga, nanti pas dibutuhkan supaya dikembalikan. Ya, kami sanggupi itu,” cerita Armada.
Keberhasilan urban farming di Desa Baktiseraga pun menginspirasi sejumlah desa lain. Salah satunya Desa Panji. Pemerintah desa dan PKK desa setempat mengembangkan urban farming pada sepetak lahan yang tersedia di sisi utara Lapangan Ki Barak Panji Sakti.
Ada lima petak lahan yang disiapkan. Seluruhnya digunakan untuk cocok tanam kangkung. Upaya itu cukup membuahkan hasil. Sudah beberapa kali PKK Desa Panji melakukan panen di sana.
Bukan hanya Desa Panji, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Buleleng juga mengadopsi hal serupa. Sebidang lahan seluas 15,3 are di simpang Jalan Gajah Mada-Jalan Letkol Wisnu, kini dimanfaatkan sebagai lahan urban farming. Dulunya lahan itu merupakan eks Bank Perniagaan Umum (BPU) yang dilikuidasi pada era krisis moneter.
Pada 2019 lahan itu kemudian diratakan, karena akan digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan tema taman baca. Sayangnya pandemi covid-19 keburu datang, sehingga dana pembangunan RTH ikut dikoreksi.
Selama dua tahun mangkrak tanpa aktivitas, pada awal Agustus lalu, lahan itu mulai ditata dengan konsep urban farming. Di sana terdapat beberapa jenis tanaman. Seperti sayur hijau, bayam merah, kangkung, terong, dan cabai. Di sana juga ada sebuah kolam yang rencananya akan diisi ikan nila.
Kepala DLH Buleleng Gede Melandrat secara gamblang mengakui bahwa konsep urban farming itu terinspirasi dari Desa Baktiseraga. Menurut Melandrat, lahan itu untuk sementara waktu akan dijadikan pusat pengolahan kompos di Kota Singaraja.
Selama ini sampah-sampah organik di Kota Singaraja ditampung pada transfer depo di Jalan Seroja. Sampah itu kemudian diangkut ke TPA Bengkala. Setelah dipilah baru dikelola menjadi kompos, sebagian lainnya dibawa ke rumah kompos di Desa Jagaraga. Melandrat menilai proses distribusi itu memakan waktu dan biaya.“Jadi sementara sampah organik kami tampung di sini. Untuk saat ini kami jadikan urban farming dulu. Sampai nanti ada kebijakan pimpinan lebih lanjut, baru akan kami kelola jadi RTH,” kata Melandrat.
Sementara itu, Sekkab Buleleng Gede Suyasa memberi apresiasi positif terhadap konsep urban farming. Dia mendorong agar lahan-lahan milik pemkab yang non produktif, dimanfaatkan dengan konsep urban farming. Dia memercayakan pada DLH Buleleng mengelola lahan-lahan tersebut.
“Konsepnya bukan untuk cari untung. Tapi paling tidak lahan itu produktif selagi belum digunakan. Biar menginspirasi warga lain juga, kalau lahan sempit bisa dipakai menanam sayur mayur untuk kebutuhan sendiri,” ujarnya. (*)