Jaksa Erna Normawati saat ditugaskan sebagai jaksa untuk kasus besar yang menjadi sorotan media secara luas, sejauh ini berakhir dengan tuntutan hukuman paling maksimal. Kejadian serupa bisa saja terjadi dalam kasus Putri Candrawathi. Kita lihat saja nanti, bagaimana ending-nya.
JAKSA Erna Normawati S.H., M.H., adalah salah seorang jaksa yang pada Senin, Juni 2003 silam, menuntut Amrozi dengan berkas tuntutan setebal 263 halaman. Tuntutannya hukuman mati, di hadapan majelis hakim yang terdiri dari : I Made Karna Parna, Tjokorda Rai Suamba, Lilik Mulyadi, Mulyani dan I Gusti Ngurah Astawa.
Dia juga yang ikut menuntut hukuman mati Abdul Azis alias Imam Samudra, di hadapan majelis hakim yang terdiri dari IWayan Sugawa, Ifa Sudewi, Lanang Dauh, Arif Supratman dan Riston Sirait, pada Senin, 28 Juli 2003.
Hasil vonisnya? Waktu itu hasil vonisnya setali tiga uang dengan tuntutan. Tuntutannya paling maksimal : hukuman mati.
Dua dari empat pelaku utama (Amrozi, Abdul Azis alias Imam Samudra, Ali Ghufron dan Ali Imron) persidangan terdakwa pelaku Bom Bali 1, Erna Normawati masuk sebagai anggota tim jaksa.
Total ada tiga orang yang pada saat itu diganjar vonis mati, setelah sebelumnya juga dituntut mati. Tiga-tiganya juga sudah dieksekusi di Cilacap, pada Sabtu malam, 8 November 2008.
Hanya Ali Imron, adik Amrozi yang mendapat hukuman seumur hidup karena berperan sebagai justice collaborator. Masih menjalani hukuman sampai sekarang.
Mirip-mirip kasus Ferdy Sambo. Terdakwanya rombongan. Ramai. Hakimnya juga rombongan. Begitu pula pengacaranya.
Dari pantauan Jawa Pos Radar Bali, Jaksa Erna Normawati bisa dibilang cukup “kejam” untuk kasus-kasus besar, dengan pelaku atau terdakwa dalam perkara menyangkut nyawa orang. Tentu, tuntutan itu berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan.
“Kalau untuk kasus-kasus besar, perkara besar yang menjadi perhatian publik secara luas, apalagi menasional, jaksa-jaksa itu biasanya tegas, “kejam” urusan hukuman. Tetapi untuk perkara kecil, yang tidak terlalu mendapat perhatian publik, tidak di-blow up media, ya saya nggak tahu,” ujar seorang pengacara senior, yang dulu beperkara di sejumlah persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar.
Sumber pengacara itu mengatakan bahwa menurut analisisnya, jaksa-jaksa senior dalam menyidangkan kasus besar, apalagi kasus yang menjadi perhatian media secara nasional, lazimnya cenderung menjaga citra. Jaga image alias jaim. Tidak akan main-main. Karena akan sangat merugikan karirnya.
Justru, biasanya kalau kasus-kasus besar yang menjadi sorotan media secara luas, akan menjadi nilai plus. Menjadi semacam kredit poin penilaian dalam berkarir. “Risikonya terlalu besar, kalau main-main dengan kasus yang menasional,” imbuhnya.
Apakah hal serupa akan terjadi untuk perkara Ferdy Sambo, khususnya dalam perkara sang istri Sambo, Putri Candrawathi? Kita lihat saja bagaimana nanti. Karena dalam KUHP hukuman maksimal itu bisa hukuman mati, seumur hidup atau 20 tahun penjara. Tinggal bagaimana “rezekinya” Putri Candrawathi nanti.
Apakah “rezekinya” Putri Candrawathi di tangan Jaksa Erna Normawati dkk dalam tuntutan hukuman maksimal? Apakah akan bisa dibuktikan lewat fakta persidangan bahwa istri Ferdy Sambo bos dari mendiang Brigadir Novriansyah Yoshua Hutabarat ini sebagai mastermind dalam perkara pembunuhan atau cuma sekadar turut serta di drama perampasan nyawa yang menyedot perhatian warga dari Sabang sampai Merauke ini? Ya, kita lihat saja bagaimana Erna Normawati dkk beraksi. [pit]