33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:05 PM WIB

Rabas 60 Are Pohon Kakao, Bikin Varietas Baru, Hasilnya Mengejutkan

Tanaman kakao selama ini memang menjadi sumber penghasilan utama bagi sebagai besar petani kebun di Jembrana.

Wajar kalau petani di Jembrana masih terus mempertahankan kakao, meski sering diserang berbagai penyakit yang sulit ditanggulangi. Benarkah begitu semua?

 

ANOM SUARDANA, Negara

PILIHAN menjadi petani kakao rupanya masih dijalani petani di Jembrana. Namun, tidak dengan yang dilakukan I Made Sunarya, 55, petani kebun warga banjar Tibu Beleng Tengah, Penyaringan, Mendoyo.

Meski kakao Jembrana kini sudah semakin dikenal dan sudah mendunia, namun Sunarya tidak terpengaruh.

Malah dia meninggalkan kakao untuk beralih ke tanaman yang tidak lazim dibudidayakan di Jembrana yakni salak.

Berawal dari dua pohon salak yang tumbuh di pekarangan rumahnya, Sunarya kemudian memutuskan merabas pohon kakao di kebun miliknya yang cukup lama menjadi tumpuan hidup keluarganya.

“Saya meliihat pohon salak Bali dan pohon salak Pondoh tumbuh dengan baik dipekarangan rumah. Melihat itu muncul niat saya untuk mencoba menanam salak,” ujar Sunaryo.

Awalnya Sunarya tahun 1995 silam mencoba mengawinkan bunga jantan salak pondoh dengan bunga betina salak Bali.

Uji coba itu berhasil dan biji buah salak tersebut kemudian dijadikan bibit. Setelah bibit tumbuh, Sunarya lalu menganti tanaman kakao miliknya dnegan menanam salak hasil persilangan tersebut.

Semakin lama bibit yang didapat dari persilangan kedua pohon salak miliknya itu semakin banyak sehingga akhirnya Sunarya merabas 60 are kakao miliknya untuk dijadikan kebun salak.

Berbekal pengetahuan seadanya, serta menonton siaran pertanian di TVRI saat itu Sunarya memberanikan diri membudidaya salak.

Sebuah pilihan yang  sangat tidak biasa, mengingat Penyaringan khususnya merupakan penghasil kakao dan cengkeh dan di Jembrana belum ada petani yang serius mengembangkan salak.

“Dilahan 60 are itu saya menanam salak sebanyak 500 pohon,” ujarnya. Namun, dari 500 bibit itu yang hidup dan tumbuh dengan baik hanya sekitar 150 pohon.

Dengan perawatan dan pemupukan yang dilakukan, pohon salak miliknya akhirnya berbuah. Buah salak yang dihasilkan berbeda dengan salak Bali umumnya.

Rasanya manis dan enak mirip salak pondoh, namun memiliki tekstur daging buah yang lebih lembek seperti salak Bali dan ukuran buahnya lebih besar. 

Setelah berkonsultasi dengan dinas pertanian dan perkebunan Pemkab Jembrana  varietas salak silangan itu diberi nama salak gatri mengacu pada nama leluhurnya pemilik tanah tempat bididaya salak itu.

Nama Gatri itu dijadikannya nama dagang buah salaknya sampai sekarang. Membudidayakan salak tidak terlalu sulit seperti kakao.

Hanya perlu mengontrol tanaman setiap hari, memangkas  dahan, serta melakukan pencegahan hama.

“Hama yang sering muncul adalah jamur. Saya atasi cukup dengan menabur kapur disekitar pohon salak. Pupuknya juga cukup kotoran sapi, bukan pupuk kimia yang harganya relatif mahal,” ungkapnya.

Dari lahan 60 are setiap 3 bulan Sunarya menghasilkan 150 kilogram salak Gatri yang dijual ke pengepul dengan harga Rp10 ribu perkilo.

Saat musim hari raya, Sunarya sampai kewalahan melayani pesanan “Saya belum bisa penuhi untuk pasar luar baru diseputaran Jembrana saja.

Lahan yang saya miliki juga tidak luas, sekaligus sebagai tempat tinggal, ” ujar bapak dua anak ini.  Dengan berkebun salak, Sunarya mengaku penghasilanya mampu untuk menghidupi keluarganya.

Termasuk membiayai kuliah putra pertamanya sampai menjadi sarjana dan sekarang bekerja sebagai tenaga kontrak di Dinas Lingkuhan Hidup Pemkab Jembrana.

“Hasilnya cukup lumayan sehingga saya bersama istri dan anak-anak akan terus berkebun salak ini,” ucapnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Pangan Pemkab Jembrana I Wayan Sutama, mengatakan memang selama ini salak menjadi komoditi utama di wilayah Bali Timur terutama di Karangasem dan bukan komoditi unggulan di Jembrana.

Masyarakat, kata dia, belum familiar menanam salak seperti cengkeh, vanili atau kakao. Untuk  salak varietas lokal gatri

yang ada di Penyaringan itu akan segera dikoordinasikan dengan Balai besar karena kewenangan penetapan varietas ada disana.

“Kami juga sudah mengajukan beberapa varietas lokal Jembrana untuk didaftarkan seperti kawista, pisang kayu, pisang lumut, deruju,

kelapa genjah merah, serta kelapa genjah hijau. Salak Gatri ini juga kita dukung sebagai potensi pertanian Jembrana,” ujarnya.

Tanaman kakao selama ini memang menjadi sumber penghasilan utama bagi sebagai besar petani kebun di Jembrana.

Wajar kalau petani di Jembrana masih terus mempertahankan kakao, meski sering diserang berbagai penyakit yang sulit ditanggulangi. Benarkah begitu semua?

 

ANOM SUARDANA, Negara

PILIHAN menjadi petani kakao rupanya masih dijalani petani di Jembrana. Namun, tidak dengan yang dilakukan I Made Sunarya, 55, petani kebun warga banjar Tibu Beleng Tengah, Penyaringan, Mendoyo.

Meski kakao Jembrana kini sudah semakin dikenal dan sudah mendunia, namun Sunarya tidak terpengaruh.

Malah dia meninggalkan kakao untuk beralih ke tanaman yang tidak lazim dibudidayakan di Jembrana yakni salak.

Berawal dari dua pohon salak yang tumbuh di pekarangan rumahnya, Sunarya kemudian memutuskan merabas pohon kakao di kebun miliknya yang cukup lama menjadi tumpuan hidup keluarganya.

“Saya meliihat pohon salak Bali dan pohon salak Pondoh tumbuh dengan baik dipekarangan rumah. Melihat itu muncul niat saya untuk mencoba menanam salak,” ujar Sunaryo.

Awalnya Sunarya tahun 1995 silam mencoba mengawinkan bunga jantan salak pondoh dengan bunga betina salak Bali.

Uji coba itu berhasil dan biji buah salak tersebut kemudian dijadikan bibit. Setelah bibit tumbuh, Sunarya lalu menganti tanaman kakao miliknya dnegan menanam salak hasil persilangan tersebut.

Semakin lama bibit yang didapat dari persilangan kedua pohon salak miliknya itu semakin banyak sehingga akhirnya Sunarya merabas 60 are kakao miliknya untuk dijadikan kebun salak.

Berbekal pengetahuan seadanya, serta menonton siaran pertanian di TVRI saat itu Sunarya memberanikan diri membudidaya salak.

Sebuah pilihan yang  sangat tidak biasa, mengingat Penyaringan khususnya merupakan penghasil kakao dan cengkeh dan di Jembrana belum ada petani yang serius mengembangkan salak.

“Dilahan 60 are itu saya menanam salak sebanyak 500 pohon,” ujarnya. Namun, dari 500 bibit itu yang hidup dan tumbuh dengan baik hanya sekitar 150 pohon.

Dengan perawatan dan pemupukan yang dilakukan, pohon salak miliknya akhirnya berbuah. Buah salak yang dihasilkan berbeda dengan salak Bali umumnya.

Rasanya manis dan enak mirip salak pondoh, namun memiliki tekstur daging buah yang lebih lembek seperti salak Bali dan ukuran buahnya lebih besar. 

Setelah berkonsultasi dengan dinas pertanian dan perkebunan Pemkab Jembrana  varietas salak silangan itu diberi nama salak gatri mengacu pada nama leluhurnya pemilik tanah tempat bididaya salak itu.

Nama Gatri itu dijadikannya nama dagang buah salaknya sampai sekarang. Membudidayakan salak tidak terlalu sulit seperti kakao.

Hanya perlu mengontrol tanaman setiap hari, memangkas  dahan, serta melakukan pencegahan hama.

“Hama yang sering muncul adalah jamur. Saya atasi cukup dengan menabur kapur disekitar pohon salak. Pupuknya juga cukup kotoran sapi, bukan pupuk kimia yang harganya relatif mahal,” ungkapnya.

Dari lahan 60 are setiap 3 bulan Sunarya menghasilkan 150 kilogram salak Gatri yang dijual ke pengepul dengan harga Rp10 ribu perkilo.

Saat musim hari raya, Sunarya sampai kewalahan melayani pesanan “Saya belum bisa penuhi untuk pasar luar baru diseputaran Jembrana saja.

Lahan yang saya miliki juga tidak luas, sekaligus sebagai tempat tinggal, ” ujar bapak dua anak ini.  Dengan berkebun salak, Sunarya mengaku penghasilanya mampu untuk menghidupi keluarganya.

Termasuk membiayai kuliah putra pertamanya sampai menjadi sarjana dan sekarang bekerja sebagai tenaga kontrak di Dinas Lingkuhan Hidup Pemkab Jembrana.

“Hasilnya cukup lumayan sehingga saya bersama istri dan anak-anak akan terus berkebun salak ini,” ucapnya.

Sementara itu Kepala Dinas Pertanian Pangan Pemkab Jembrana I Wayan Sutama, mengatakan memang selama ini salak menjadi komoditi utama di wilayah Bali Timur terutama di Karangasem dan bukan komoditi unggulan di Jembrana.

Masyarakat, kata dia, belum familiar menanam salak seperti cengkeh, vanili atau kakao. Untuk  salak varietas lokal gatri

yang ada di Penyaringan itu akan segera dikoordinasikan dengan Balai besar karena kewenangan penetapan varietas ada disana.

“Kami juga sudah mengajukan beberapa varietas lokal Jembrana untuk didaftarkan seperti kawista, pisang kayu, pisang lumut, deruju,

kelapa genjah merah, serta kelapa genjah hijau. Salak Gatri ini juga kita dukung sebagai potensi pertanian Jembrana,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/