DENPASAR – Ulah travel agent di Tiongkok yang mengobral Bali dengan harga sangat miring, yakni 299 renminbi atau sekitar Rp 600 ribu untuk paket wisata 5 hari 4 malam mendapat perhatian serius Togar Situmorang.
Fakta tersebut, kata Togar, harus menjadi otokritik alias evaluasi diri bagi pemerintah Provinsi Bali.
Hanya dengan mengetahui secara mendasar alasan Bali dijual murah, maka penataan secara menyeluruh bisa dilakukan.
Hujatan, caci maki, atau saling menyalahkan atas kondisi tersebut dia nilai hanya akan menambah buruk keadaan. Agar Bali bisa dijual dengan harga mahal, tentu banyak hal harus dibenahi.
Salah satunya adalah kecerdikan dan ketegasan pemerintah Provinsi Bali mengurangi setidaknya 50 persen jumlah kendaraan di Bali.
“Pemerintah harus mencatat. Banyak turis yang mati sia-sia saat berwisata di Bali karena kecelakaan lalu lintas. Pemerintah Bali mau serius tidak mengelola transportasi?
Serius tidak menyediakan angkutan umum massal? Bila tidak ya, ke depan jangan berharap banyak pada sektor pariwisata,” tegas Togar, Kamis (18/10) pagi.
Togar mengaku hampir setiap hari dirinya melihat turis yang geleng-geleng kepala karena harus bertaruh nyawa menyeberang jalan.
Kondisi riil itulah yang, menurutnya, menjadi salah satu indikator Bali dijual dengan harga murah. Khusus wisatawan Tiongkok yang tak perlu merogoh kocek mahal untuk berlibur ke Bali,
Togar menilai juga dipicu “silau” pemerintah Provinsi Bali selama ini terhadap kuantitas alias jumlah kunjungan wisatawan tanpa memperhatikan kualitas para turis.
“Berapa mereka bawa duit ke Bali saya pikir pemerintah tidak tahu. Kita tidak memakai standar layaknya negara tetangga yang menetapkan batas terendah bekal sebagai syarat turis bisa masuk ke negaranya,” ungkapnya.
Kondisi tersebut, terang Togar diperparah dengan fakta bahwa Bali kekurangan stok guide Tiongkok. Akhirnya, peluang itu dimanfaatkan oleh turis Tiongkok.
Tak hanya menjadi guide ilegal di Bali, para turis Negeri Tirai Bambu ini juga “menjajah” sektor lain karena kendala kita menguasai bahasa mereka.
Dengan kata lain, duit yang mereka bawa ke Bali kembali ke tangan mereka sendiri. Sementara Bali hanya mendapatkan “kebanggaan semu” atas predikat kenaikan kunjungan wisatawan.
“Istilahnya 1,3 juta wisatawan Tiongkok yang berkunjung ke Bali pada tahun 2017 hanya numpang kencing. Kita harus serius merespons hal ini,” tegas pria kelahiran Jakarta tersebut.
Togar menambahkan, keberhasilan Indonesia, khususnya Bali menjadi tuan rumah hajatan akbar International Monetary Fund (IMF) harus dijadikan batu pijakan untuk menata Bali ke depan.
Pasalnya, ini akan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Bali sekaligus alasan kuat menjual Bali dengan harga mahal bahkan sangat mahal.
“Hanya dengan Rp 600 ribu wisatawan Tiongkok bisa ke Bali. Pulang pergi dengan pesawat. Plus hotel 5 hari 4 malam. Ini sangat-sangat tidak masuk akal,” tegasnya.
Togar menanyakan ke mana selama ini instansi terkait sehingga hal ini bisa berlangsung sejak 3 tahun belakangan.
Sebagai pemerhati kebijakan publik, pria bernama lengkap Togar Situmorang,S.H.,M.H.,M.A.P., menilai fenomena perang harga itu akan lebih parah lagi di sisa tahun 2018 dan 2019.
Pasalnya, setiap agen pasti akan berlomba-lomba menawarkan paket wisata murah. “Ini akan merugikan dunia pariwisata nasional dan merusak citra pariwisata Bali, “ujarnya.
Togar menegaskan bahwa pemerintah harus menertibkan setiap kunjungan wisatawan Tiongkok. Termasuk mendeportasi para wisatawan yang tinggal dan bekerja di Pulau Dewata secara ilegal.
Dia mengaku ada banyak keluhan terkait ada banyaknya wisatawan Tiongkok pemegang “visa wisata” yang bekerja di Bali. Antara lain sebagai guide dan fotografer.
Buntutnya, muncul persaingan yang tidak sehat. “Gubernur Bali, Bapak Wayan Koster harus segera menertibkan praktik ilegal turis asal Tiongkok. Termasuk mengawasi transaksi mereka,” ungkap politisi Partai Golkar tersebut.
Agar kejadian serupa tak terulang, caleg DPRD Provinsi Bali Dapil Denpasar nomor urut 7 itu menyarankan Pemprov Bali
segera membuat regulasi dan bekerja sama dengan pihak imigrasi demi mengontrol dan mengawasi wisatawan, khususnya Tiongkok.
“Yang paling mendesak adalah membuat regulasi untuk menentukan tarif batas bawah uang milik si wisatawan sebagai syarat masuk Bali.
Ini demi menjaga Bali sebagai destinasi yang tetap ekslusif dan premium bagi dunia,” tutupnya sembari mengatakan Bali punya
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 Tentang Pariwisata Budaya, namun wujudnya di lapangan masih belum jelas. (rba)