SINGARAJA – Sengketa bangunan Rumah Sangat Sederhana (RSS) di Lingkungan Kayubuntil Barat, agaknya mulai menemui titik terang.
Warga disebut sudah sepakat dengan opsi penilaian ulang terhadap nilai bangunan RSS tersebut. Warga pun berharap agar nilai bangunan bisa diturunkan, sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat setempat.
Kepala Lingkungan Kayubuntil Barat Ketut Bukit mengatakan, warga sudah sepakat dengan proses mediasi dengan Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng.
Mediasi itu dilangsungkan di Kejaksaan Negeri Buleleng beberapa hari lalu. Bukit menyebut sebagian besar warga sepakat dengan opsi yang ditawarkan kejaksaan.
Yakni dilakukan penghitungan ulang terhadap nilai bangunan. “Kami ikuti apa yang jadi keputusan kejaksaan. Harapan masyarakat itu sebenarnya hanya satu pak.
Kalau bisa nilainya serendah-rendahnya. Karena mata pencaharian masyarakat di sini sebagian besar itu buruh dan nelayan. Ada yang pemulung juga. Kondisi ini agar dipertimbangkan,” ujar Bukit.
Sementara itu Anggota Komisi I DPRD Buleleng Gede Wisnaya Wisna mengatakan, dirinya memang sempat diminta melakukan pendampingan terhadap persoalan tersebut.
Wisnaya mengaku sudah berkomunikasi dengan kepala lingkungan dan warga setempat. Wisnaya mengatakan warga sebenarnya menginginkan negosiasi terhadap nilai bangunan.
Sebab nilai sebanyak Rp 25,4 juta sesuai hasil apraisal tim independen, dirasa masih terlalu besar. “Dari yang saya tangkap, warga ingin negosiasi agar harganya bisa turun.
Harapan warga kan bisa dibawah itu (Rp 25,4 juta). Bahkan kalau bisa Rp 15 juta, sesuai kemampuan warga di sana,” ujar Wisnaya Wisna.
Seperti diberitakan sebelumnya, sengketa RSS Kayubuntil kembali mencuat. Sejumlah warga yang menghuni RSS Kayubuntil mengadu ke Komisi I DPRD Buleleng.
Warga merasa keberatan karena SHM yang terbit lewat program PTSL pada tahun 2018 lalu, tak kunjung diserahkan pada warga.
Salah seorang warga penghuni RSS Kayubuntil, Wayan Bagiada mengklaim warga dipatok biaya Rp 25 juta sebagai biaya pengganti sertifikat.
“Masalah bangunan dengan dipatok harga Rp 25 juta untuk pengganti sertifikat. Kami sebagai warga masyarakat keberatan,” kata Bagiada.