DENPASAR- Polda Bali kembali menerima laporan dari pemerintah kabupaten Badung melalui Kasatpol PP Badung, Gusti Agung Ketut Suryanegara, Selasa ( 28/6). Laporan itu terkait dugaan adanya reklamasi di Pantai Melasti, Ungasan seluas 2,6 hektare. Yang dilaporkan adalah kelompok nelayan dan PT. Tebing Mas Estate.
Informasi yang dihimpun Jawa Pos Radar Bali, dalam laporan Kasatpol PP Badung Gusti Agung Ketut Suryanegara, lokasi reklamasi itu masih berada diseputaran pantai Melasti. Objeknya di sebelah timur anjungan, bentuknya seperti cincin. “Nah kalau subjeknya, kelompok nelayan dan perusahaan. Dua pihak ini diduga melakukan reklamasi berkenaan dengan berangkat dari perjanjian,” cetus sumber polisi di Mapolda Bali.
Diceritakan, reklamasi itu untuk pangkalan kapal, kemudian penangkaran ikan dan beach club. Sayangya, para pihak ini tidak ada sama sekali mengajukan izin. “Ya, diduga ada pihak yang merasa memiliki kewenanangan memberikan izin pengelolaan, seakan-akan ada pemerintah dalam pemerintahan,” beber sumber polisi mengutip pernyataan pelapor.
Lanjutnya, seakan-akan kelompok ini memiliki kewenangan yang luar biasa sehingga tidak mengindahkan perizinan pemerintah. Terkait dengan laporan tersebut, Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Bali Komisaris Besar Polisi (Kombespol) Surawan membenarkan. Kantanya, laporan tersebut masih didalami.
“Ya benar, kami sudah terima laporan atas lahan yang diduga hasil reklamasi di Pantai Melasti,” kata Surawan semberi mengatakan bahwa laporan itu terkait diduga menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta autentik yakni pasal 266 KUHP. “Tentunya dalam perjanjian antara kelompok nelayan dengan PT. Tebing Mas Estate,”ujar Surawan.
Di tempat terpisah, Kasatpol PP Badung I Gusti Agung Ketut Suryanegara mengatakan, pihaknya telah melaporkan secara resmi oknum pihak pemilik usaha di Pantai Melasti ke SPKT Polda Bali karena telah melanggar Pasal 266 KUHP, dengan melakukan tindak pemalsuan akta autentik.
Suryanegara menegaskan, laporan tersebut berbeda dengan kasus sebelumnya terkait dugaan penyerobotan tanah negara. Namun, dalam kasus ini juga ditemukan penggunaan lahan sekitar 2,6 hektare. “Jadi dari keterangan palsu itu, seakan-akan ada pihak yang memiliki hak dan memberikan izin untuk melakukan pengurukan (reklamasi). Sebenarnya sudah jelas-jelas negara yang seharusnya memberikan izin,” terang Suryanegara, kemarin.
Seperti diketahui, pemberian izin penggunaan lahan tersebut dilakukan oleh kelompok nelayan yang juga dilaporkan sebagai pihak pertama. Sementara untuk pihak kedua yakni yang melakukan kerjasama untuk penggunaan lahan yakni dari salah satu perusahaan. Terlebih reklamasi dapat mempengaruhi lingkungan hidup, tata ruang, dan kondisi laut.
“Dengan alasan apapun dengan alas hak sendiri, atau yang tidak ada memiliki alas hak itu harus ada izin. Nah izinnya itu yang tidak ada apalagi terkait dengan lingkungan hidup,” tandas birokrat asal Denpasar ini.
Suryanegara menambahkan, dalam kasus ini telah terjadi transaksi sebesar Rp 7 miliar antara para pihak dalam rangka menata dan merapikan loloan, serta pemanfaatan area pantai Melasti dalam jangka waktu 25 tahun. Kemudian, para pihak ini melibatkan perusahaan, kelompok nelayan dan desa adat.
“Dari transaksi Rp 7 miliar ini, pihak pertama telah menerima uang sebesar Rp 4 miliar dari pihak kedua. Sisanya lagi Rp 3 miliar akan dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak pertama dalam 30 kali angsuran bulanan. Namun, pihak kedua tidak membayarkan kewajibannya kepada pihak pertama sebagaimana yang telah tertuang dalam perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak,” pungkasnya. (dre/dwi)