NEGARA – Rusaknya hutan di Jembrana dituding menjadi salah satu penyebab banjir bandang yang terjadi. Tidak hanya pembalakan liar, pemberian hak pengelolan hutan kepada masyarakat diduga menyumbang perusakan hutan. Karena itu, khsusus kepada pengelola hutan rakyat “dipaksa” untuk membuat pernyataan dan ultimatum apabila terjadi pelanggaran atau terjadi tindak pidana kehutanan di areal kelola.
Penandatangan pernyataan oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Kelompok Tani Hutan (KTH), disaksikan Bupati Jembrana I Nengah Tamba dan Kapolres Jembrana AKBP I Dewa Gde Juliana dan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali I Made Teja, di rumah jabatan Bupati Jembrana, Jumat (21/10).
Bupati Jembrana I Nengah Tamba mengatakan, pascabanjir bandang terjadi di Bilukpoh, kondisi hutan di Jembrana dituding menjadi salah satu penyebabnya. Terlihat dari batang kayu yang terbawa banjir bandang, banyak kayu yang diduga berasal dari hutan hingga merusak dan menimbun rumah warga terdampak banjir bandang.
Menurut bupati, sengaja mengundang LPHD dan KTH untuk membuat pernyataan, bukan berarti untuk menuduh bahwa kedua lembaga ini yang merusak hutan. “Tetapi karena melihat kayu yang ada terbawa banjir dan menutupi jembatan, paling tidak karena masyarakat berasumsi bahwa mereka (pengelola hutan) sebagai biang kerok atau pelaku, hari ini kita kumpulkan,” ujarnya.
Para pemegang hak pengelolaan hutan ini, diminta tanggungjawab dan empatinya terhadap yang terjadi di hulu, yakni hutan Jembrana yang menjadi hulu dari semua sungai. “Saya mengharapkan, meminta agar tahun depan atau selanjutnya agar tidak terjadi lagi banjir bandang,” terangnya.
Karena itu, para pengelola ini diminta membuat surat pernyataan, jika ketahuan memotong, membakar, meneres dan memberikan racun agar pohon mati, maka akan diproses hukum. Para pengelola ini bersedia dengan menandatangani pernyataan bermaterai. Ke depan juga akan diupayakan pembinaan ada pengelola hutan ini.
Mengenai rusaknya hutan di Jembrana ini, bupati menegaskan, agar dibedakan antara para pengelola hutan yang sudah memiliki surat keputusan menteri lingkungan hidup dengan kelompok pembalak hutan. Para pelaku pembalakan liar di hutan, merupakan pelaku kriminal yang tujuannya merusak hutan untuk kepentingan pribadi.
Karena itu, karena ada LPHD yang memiliki hak pengelola hutan dengan jumlah anggota 4.930 orang. Diharapakan tidak hanya untuk menjaga hutan agar tetap lestari, tetapi juga sebagai pemberi informasi kepada pihak terkait jika ada perusakan hutan. “Kalau ada yang berhasil memberikan bukti, ada aktivitas pemotongan pohon di hutan yang tidak sah. Ada foto dan ketahuan orangnya, bukti pohon yang ditebang saya kasih hadiah uang Rp 2 juta dari uang pribadi saya,” ungkapnya.
Di samping itu, upaya reboisasi juga dilakukan di hutan Jembrana untuk menjaga hutan di Jembrana. Terpenting saat ini, bupati menuntut kepada masyarakat, terutama pengelola hutan dan perambah hutan untuk introspeksi diri. “Kalau orang Bali bilang mulat sarira. Mereka harus sadar, apabila ada pembabatan hutan di atas, tersiksanya di hilir, ini kasian. Ini ketuk hari nurani mereka,” terangnya.
Menurut bupati, para pemegang hak pengelola hutan ini sudah diyakini sudah menjalankan aturan tidak merusak hutan. Tetapi jangan sampai kena getahnya lagi, dituding perusak hutan. Makanya sekarang harus menjadi informan atau jagawana menjaga hutan Jembrana.
Kepala UPTD KPH Bali Barat Agus Sugiyanto mengatakan, penindakan terhadap pelaku pembalakan liar sudah sering dilakukan bersama masyarkat, terutama LPHD di semua desa. Karena UPTD KPH Bali Barat yang terbatas personilnya harus menjaga hutan yang luasnya 37 ribu hektar. “Bukan klise, memang ini faktanya. Saya sudah siang malam bersama masyarakat,” terangnya.
Menurutnya, selama ini bersama LPHD yang sudah terbentuk dan saat ini dikumpulkan, sebenarnya sudah sadar diri dan melakukan upaya rehabilitasi hutan, bahkan menggunakan uang sendiri. “Karena kita sudah memberikan keputusan LPHD sebagai akses legal pengelola hutan,” tegasnya.
Mengenai dugaan adanya ilegal logging dan menjadi penyebab banjir bandang, Agus menyampaikan bahwa saat ini masih ada investigasi di daerah aliran sungai Bilukpoh. Bahkan dari balai pengamanan dan penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan, kementerian lingkungan hidup, serta Dirkrimsus Polda Bali masih masuk ke dalam hutan untuk investigasi. “Kita masih melakukan penelusuran,” ungkapnya.
Kapolres Jembrana AKBP I Dewa Gde Juliana mengatakan, kasus pembalakan liar di hutan Jembrana pada tahun 2020 sebanyak 11 kasus, tahun 2021 dan tahun 2022 ini sebanyak 3 kasus. “Terkait ilegal logging ini memang ada penurunan, tapi kasus ini memang sudah tidak ada atau memang belum menjamin itu atau belum ada informasi, ini yang harus kita dalami,” jelasnya.
Karena itu, pada saat forum bertemu dengan LPHD Jembrana yang digagas bupati, Kapolres menyampaikan agar para pengelola hutan ini memberikan informasi apabila ada kelompok atau oknum masyarakat yang merambah hutan Jembrana. “infomasi masyarakat, terutama pengelola hutan desa ini penting. Karena kita dari sisi personil dan kehutanan terbatas,” ujarnya.
Kapolres meminta komitmen para pengelola hutan untuk menjaga hutan, tidak menebang pohon di hutan. Apabila masih dilalukan, makan akan dilakuan penindakan.
Kapolres juga mengusulkan bantuan teknologi untuk bisa memetakan hutan lindung yang harus dievaluasi secara berkala. Agar ketika ditemukan wilayah berkurang, menjadi sasaran prioritas pengawasan. Artinya di wilayah itu kemungkinan besar ada upaya perambahan hutan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, kapolres menegaskan kepada kelompok tani agar tidak melakukan modus meracuni pohon untuk membuat pohon tidak tumbuh laku tumbang. Modus itu agar tidak dianggap menembang pohon. Kemudian digunakan untuk lahan bertani. “Memberikan racun pada pohon adalah pelanggaran,” terangnya. (bas/rid)