DENPASAR – Kritik pedas Gubernur Bali Made Mangku Pastika merespons pohon cabe layu yang disuguhkan Ketua Komisi IV DPRD Provinsi Bali I Nyoman Parta dalam Rapat Kerja (Raker) DPRD Bali, Senin (25/7) lalu menuai respons balasan.
Rabu (25/7) kemarin, Dekan Fakultas Pertanian, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian, dan Dekan Fakultas Peternakan serta para guru besar dan doktor ilmu-ilmu pertanian di lingkungan Universitas Udayana menggelar rapat.
Para akademisi tersebut menyampaikan tanggapan terkait eksistensi akademisi (Guru Besar dan Doktor) pertanian yang disodok oleh Pastika.
Pernyataan Pastika tentang penutupan Fakultas Pertanian dan penganuliran gelar doktor dan jabatan guru besar (profesor, red) dinilai sangat naif, emosional, dan tidak relevan.
Perwakilan doktor di lingkup Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Dr. I Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya mengatakan, ada tiga buah pernyataan sikap dalam rapat yang
dihadiri Dekan Fakultas Pertanian Unud Prof. Dr. Ir. Nyoman Rai, MS; Dekan Fakutas Teknologi Pertanian Unud Prof. Dr. Ir. Ketut Satriawan, MT;
Dekan Fakultas Peternakan Unud Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS, dan perwakilan guru besar di lingkup Fakultas Pertanian Unud, Prof. Dr. Wayan Windia.
Pertama, menyesalkan pernyataan Gubernur Made Mangku Pastika untuk menganulir gelar akademis (Doktor dan Guru Besar) serta penutupan Fakultas Pertanian akibat penyakit layu cabe (Fusarium sp.) di depan Sidang DPRD Bali.
Pernyataan itu dinilai sangat naif, emosional, dan tidak relevan berdasarkan beberapa pertimbangan.
1). Akademisi pertanian tidak memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama mengatasi permasalahan pertanian di lapangan, yang dihadapi langsung oleh petani.
Tugas-tugas itu menjadi kewenangan lembaga teknis (Dinas Pertanian dan tenaga penyuluh). Tupoksi akademisi
di Perguruan Tinggi adalah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat).
2). Substansi yang disampaikan menunjukkan kapasitas seseorang yang kurang memahami sektor pertanian secara komprehensif, di mana pertanian hanya diasumsikan sebagai masalah sederhana dan gampang.
3). Keberhasilan pembangunan sektor pertanian di Bali tidak berdiri sendiri. Tanggung jawab utama ada di tangan pemerintah daerah dengan melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi dan dunia usaha.
Kegagalan pemimpin dalam mensinergikan seluruh komponen tersebut, justru dapat menyulut situasi saling menyalahkan.
4.) Akademisi pertanian di Bali sudah bekerja sesuai tupoksi dan sudah menghasilkan berbagai teknologi seperti pengelolaan hama dan penyakit terpadu (PHT),
biopestisida, biofertilizer, pupuk mineral, teknologi produksi di luar musim, dan lain-lain, tetapi belum diadopsi secara baik oleh pemda.
Kedua, rapat menyodorkan beberapa solusi di masa yang akan datang. Antara lain terkait kolaborasi antara perguruan tinggi, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk memecahkan masalah-masalah bidang pertanian.
Hal ini mengingat perlunya sinergi dalam mengembangkan dan memanfaatkan teknologi hasil-hasil penelitian perguruan tinggi pertanian, agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat, dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
“Kearifan seorang pemimpin menyampaikan pendapat dalam forum formal, seyogianya proporsional dan tidak kontroversial,” ucap Alit Susanta mengutip hasil rapat.
Lebih lanjut pada poin ketiga ditegaskan bahwa para akademisi tersinggung atas pernyataan Gubernur Bali yang akan mengakhiri masa tugasnya Rabu (29/8) mendatang.
“Kami adalah pihak yang merasa tersinggung terhadap pernyataan yang disampaikan Gubernur Bali dalam sidang DPRD Bali.
Kami menerima permintaan maaf yang disampaikan oleh Gubernur yang disampaikan dalam Rapat Evaluasi Program Pembangunan Provinsi Bali di Wiswa Sabha, Denpasar Selasa, 24 Juli 2018.
Kami menghimbau agar di lain waktu tidak ada lagi pernyataan yang melecehkan profesi dan institusi pihak lain,” tegasnya.
“Malah kita merencanakan segera akan mengadakan sarasehan (duduk bersama, red) dengan gubernur dan gubernur baru terpilih (Wayan Koster, red) untuk menyelaraskan langkah dalam membangun pertanian di Bali,” tuturnya.