27.3 C
Jakarta
20 November 2024, 18:45 PM WIB

Sidang Kasus Korupsi Dana Insentif Daerah Tabanan

Dewa Wiratmaja Ngaku Ditugaskan Eka Wiryastuti, Jaksa KPK Putar Rekaman

 

DENPASAR- Terdakwa I Nyoman Wiratmaja menjalani sidang pembuktian kasus korupsi Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan. Dalam sidang yang berlangsung 4,5 jam itu, terkuak Dewa sebagai staf khusus Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti memiliki peran sangat besar.

 

Dewa diizinkan memberikan masukan terkait keuangan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Tidak hanya dalam hal keuangan, Dewa juga bisa memberikan masukan atau rekomendasi dalam hal lelang jabatan di Pemkab Tabanan.

 

Saking besarnya peran Dewa, saat 2017 Pemkab Tabanan mengalami defisit anggaran, Dewa mendapat misi khusus dari Eka untuk memperjuangkan DID ke pemerintah pusat.

 

Padahal, status Dewa hanya sebagai staf khusus Bupati yang tidak masuk dalam struktur organisasi Pemkab Tabanan. Namun, terkait keuangan daerah Bupati Eka sangat percaya pada terdakwa.

 

“Terdakwa bertanggungjawab langsung pada Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti,” ujar I Nyoman Wirna Ariwangsa, 62, mantan Sekda Tabanan di muka majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna, Kamis kemarin (23/6).

 

Dikatakan Wirna, Eka Wiryastuti juga memerintahkan Sekda agar koordinasi dengan terdakwa terkait keuangan daerah. Misalnya menangani audit BPK dan memberikan masukan penyusunan APBD.

 

“Pada pertengahan 2017 APBD Tabanan defisit Rp 40 miliar,” terang Wirna. JPU KPK menanyakan penyebab anggaran defisit, Wirna menjawab karena belanja daerah lebih banyak dari pendapatan. Menurutnya tahun sebelumnya ada, tapi tidak sebesar itu.

 

Menindaklanjuti kondisi tersebut, Eka lalu memanggil Dewa, Wirna, dan beberapa orang lainnya. Dalam pertemuan itu akhirnya muncul usul memperjuangkan dana DID ke pusat.

 

Namun, saat JPU mengejar siapa yang mencetuskan ide mencari dana ke pusat, Wirna menutupi. Dia tidak mau berterus terang. Hakim Wiguna ikut geram melihat jawaban berbelit terdakwa.

 

“Saudara sebagai saksi sudah disumpah, berikan jawaban yang benar!” cetus JPU. JPU lantas membacakan ulang BAP. “Di BAP ini fakta dan keterangan saudara sendiri, jangan ditutup-tutupi,” cecar JPU.

 

Akhirnya Wirna mengaku ada arahan bupati pada Agustus 2017. Kata Wirna, dalam pertemuan dengan Bupati yang dihadiri terdakwa Dewa, Bupati Eka memberikan arahan agar berjuang mendapat DID sebesar Kabupaten Buleleng. Pada 2017 Buleleng mendapat DID sebesar Rp 55 miliar, sedangkan Tabanan hanya mendapat Rp 7,5 miliar.

 

Dewa disebut terbang ke Jakarta berjuang mengusahakan DID. Saat itu jumlah yang diusulkan Rp 65 miliar. Namun, jumlah yang cair Rp 51 miliar.

 

Hakim pun kaget dengan peningkatan DID yang didapat Pemkab Tabanan, dari Rp 7,5 miliar melonjak menjadi Rp 51 miliar. Hakim menanyakan proses pengajuan DID pada Wirna, tapi Wirna tidak memberikan jawaban kelas. Katanya ada berbagai faktor, salah satunya penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI.

 

Yang menarik, Wirna mengaku tidak tahu proses pengajuan DID. “Saya tahunya ada itu (DID Rp 51 miliar) setelah membaca surat dari Badan Keuangan Daerah,” akunya.

 

“Anda ini Sekda sebagai jabatan PNS tertinggi di Tabanan sekaligus Pengguna Anggaran, kok tidak tahu?” tanya JPU.

 

“Sungguh saya tidak tahu, saya tahunya setelah Agustus ada dana DID Rp 50 miliar. Saya tidak tahu prosesnya, tahunya malah belakangan setelah ada surat dari badan keuangan,” kelitnya.

 

Jaksa lantas menyinggung nama Bahrulah Akbar, Wakil Ketua BPK RI. Setelah didesak, Wirna mengaku pernah mendengar pengusulan DID melalui jalur BPK yaitu Bahrulah Akbar. Bahrulah Akbar diminta untuk menjembatani dengan orang di Kementerian Keuangan.

 

Saksi kedua adalah I Gede Urip Gunawan, Kepala Inspektorat Kabupaten Tabanan (2014 – 2021). Urip mengakui berhubungan dengan Dewa dalam hal menyusun laporan keuangan.

 

“Terdakwa sebagai ahli akuntansi dalam penyusunan neraca keuangan,” terangnya.

 

Urip sempat mengelak tidak tahu tentang peran terdakwa dalam mengurus DID. JPU KPK tidak kehilangan akal. Jaksa lantas memutar rekaman percakapan antara Urip dengan terdakwa.

 

Dalam percakapan itu, Urip mengaku dihubungi I Gusti Ngurah Satria Perwira Kepala Sub Auditor BPK RI Perwakilan Bali. “Saya dihubungi Pak Ngurah Satria, katanya DID bisa naik, tapi perlu penghubung,” ujar Urip dalam percakapan itu.

 

“Saya disuruh ke Jakarta secara khusus untuk mengurus ini,” jawab Dewa, sebagaimana dalam rekaman. “Oh, berarti sudah nyambung, sudah klir,” ucap Urip.

 

Terdakwa Dewa menyanggah rekaman yang diputar JPU. Menurutnya rekaman itu tidak utuh. Ada bagian-bagian yang tidak masuk dalam BAP. Hakim meminta terdakwa untuk menyampaikan itu dalam pledoi.

 

Di bagian akhir sidang, majelis hakim memarahi habis-habisan Ngurah Satria. Hakim Nelson menyebut dengan memberikan informasi pada terdakwa, Ngurah tak ubahnya menjual jabatan. Hakim Astawa tak kalah galak, Ngurah disebut tak ubahnya calo yang memberikan jalan pada orang lain.

 

Hakim menganggap perbuatan Ngurah ini bukan pertama kalinya. Namun, Ngurah tetap mengaku baru pertama. Sebelum menutup sidang, hakim Wiguna memberikan nasihat pedas pada Satria Perwira.

 

“Anda sebagai orang BPK itu lebih baik pecah di perut daripada pecah di mulut. Anda jangan ember dengan hasil pemeriksaan,” tukasnya. (san)

 

 

DENPASAR- Terdakwa I Nyoman Wiratmaja menjalani sidang pembuktian kasus korupsi Dana Insentif Daerah (DID) Kabupaten Tabanan. Dalam sidang yang berlangsung 4,5 jam itu, terkuak Dewa sebagai staf khusus Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti memiliki peran sangat besar.

 

Dewa diizinkan memberikan masukan terkait keuangan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Tidak hanya dalam hal keuangan, Dewa juga bisa memberikan masukan atau rekomendasi dalam hal lelang jabatan di Pemkab Tabanan.

 

Saking besarnya peran Dewa, saat 2017 Pemkab Tabanan mengalami defisit anggaran, Dewa mendapat misi khusus dari Eka untuk memperjuangkan DID ke pemerintah pusat.

 

Padahal, status Dewa hanya sebagai staf khusus Bupati yang tidak masuk dalam struktur organisasi Pemkab Tabanan. Namun, terkait keuangan daerah Bupati Eka sangat percaya pada terdakwa.

 

“Terdakwa bertanggungjawab langsung pada Bupati Tabanan Ni Putu Eka Wiryastuti,” ujar I Nyoman Wirna Ariwangsa, 62, mantan Sekda Tabanan di muka majelis hakim yang diketuai I Nyoman Wiguna, Kamis kemarin (23/6).

 

Dikatakan Wirna, Eka Wiryastuti juga memerintahkan Sekda agar koordinasi dengan terdakwa terkait keuangan daerah. Misalnya menangani audit BPK dan memberikan masukan penyusunan APBD.

 

“Pada pertengahan 2017 APBD Tabanan defisit Rp 40 miliar,” terang Wirna. JPU KPK menanyakan penyebab anggaran defisit, Wirna menjawab karena belanja daerah lebih banyak dari pendapatan. Menurutnya tahun sebelumnya ada, tapi tidak sebesar itu.

 

Menindaklanjuti kondisi tersebut, Eka lalu memanggil Dewa, Wirna, dan beberapa orang lainnya. Dalam pertemuan itu akhirnya muncul usul memperjuangkan dana DID ke pusat.

 

Namun, saat JPU mengejar siapa yang mencetuskan ide mencari dana ke pusat, Wirna menutupi. Dia tidak mau berterus terang. Hakim Wiguna ikut geram melihat jawaban berbelit terdakwa.

 

“Saudara sebagai saksi sudah disumpah, berikan jawaban yang benar!” cetus JPU. JPU lantas membacakan ulang BAP. “Di BAP ini fakta dan keterangan saudara sendiri, jangan ditutup-tutupi,” cecar JPU.

 

Akhirnya Wirna mengaku ada arahan bupati pada Agustus 2017. Kata Wirna, dalam pertemuan dengan Bupati yang dihadiri terdakwa Dewa, Bupati Eka memberikan arahan agar berjuang mendapat DID sebesar Kabupaten Buleleng. Pada 2017 Buleleng mendapat DID sebesar Rp 55 miliar, sedangkan Tabanan hanya mendapat Rp 7,5 miliar.

 

Dewa disebut terbang ke Jakarta berjuang mengusahakan DID. Saat itu jumlah yang diusulkan Rp 65 miliar. Namun, jumlah yang cair Rp 51 miliar.

 

Hakim pun kaget dengan peningkatan DID yang didapat Pemkab Tabanan, dari Rp 7,5 miliar melonjak menjadi Rp 51 miliar. Hakim menanyakan proses pengajuan DID pada Wirna, tapi Wirna tidak memberikan jawaban kelas. Katanya ada berbagai faktor, salah satunya penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI.

 

Yang menarik, Wirna mengaku tidak tahu proses pengajuan DID. “Saya tahunya ada itu (DID Rp 51 miliar) setelah membaca surat dari Badan Keuangan Daerah,” akunya.

 

“Anda ini Sekda sebagai jabatan PNS tertinggi di Tabanan sekaligus Pengguna Anggaran, kok tidak tahu?” tanya JPU.

 

“Sungguh saya tidak tahu, saya tahunya setelah Agustus ada dana DID Rp 50 miliar. Saya tidak tahu prosesnya, tahunya malah belakangan setelah ada surat dari badan keuangan,” kelitnya.

 

Jaksa lantas menyinggung nama Bahrulah Akbar, Wakil Ketua BPK RI. Setelah didesak, Wirna mengaku pernah mendengar pengusulan DID melalui jalur BPK yaitu Bahrulah Akbar. Bahrulah Akbar diminta untuk menjembatani dengan orang di Kementerian Keuangan.

 

Saksi kedua adalah I Gede Urip Gunawan, Kepala Inspektorat Kabupaten Tabanan (2014 – 2021). Urip mengakui berhubungan dengan Dewa dalam hal menyusun laporan keuangan.

 

“Terdakwa sebagai ahli akuntansi dalam penyusunan neraca keuangan,” terangnya.

 

Urip sempat mengelak tidak tahu tentang peran terdakwa dalam mengurus DID. JPU KPK tidak kehilangan akal. Jaksa lantas memutar rekaman percakapan antara Urip dengan terdakwa.

 

Dalam percakapan itu, Urip mengaku dihubungi I Gusti Ngurah Satria Perwira Kepala Sub Auditor BPK RI Perwakilan Bali. “Saya dihubungi Pak Ngurah Satria, katanya DID bisa naik, tapi perlu penghubung,” ujar Urip dalam percakapan itu.

 

“Saya disuruh ke Jakarta secara khusus untuk mengurus ini,” jawab Dewa, sebagaimana dalam rekaman. “Oh, berarti sudah nyambung, sudah klir,” ucap Urip.

 

Terdakwa Dewa menyanggah rekaman yang diputar JPU. Menurutnya rekaman itu tidak utuh. Ada bagian-bagian yang tidak masuk dalam BAP. Hakim meminta terdakwa untuk menyampaikan itu dalam pledoi.

 

Di bagian akhir sidang, majelis hakim memarahi habis-habisan Ngurah Satria. Hakim Nelson menyebut dengan memberikan informasi pada terdakwa, Ngurah tak ubahnya menjual jabatan. Hakim Astawa tak kalah galak, Ngurah disebut tak ubahnya calo yang memberikan jalan pada orang lain.

 

Hakim menganggap perbuatan Ngurah ini bukan pertama kalinya. Namun, Ngurah tetap mengaku baru pertama. Sebelum menutup sidang, hakim Wiguna memberikan nasihat pedas pada Satria Perwira.

 

“Anda sebagai orang BPK itu lebih baik pecah di perut daripada pecah di mulut. Anda jangan ember dengan hasil pemeriksaan,” tukasnya. (san)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/