27.1 C
Jakarta
1 Mei 2024, 6:36 AM WIB

Guru – Murid Tepergok di Ruangan Terkunci, SWAP: Kota Tak Layak Anak

DENPASAR – Empat penghargaan yang diraih Kota Denpasar dalam acara Penganugerahan Kabupaten dan Kota Layak Anak 2019 serangkaian Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2019 dinilai “lebay” oleh Solidaritas Warga Anti Pedofilia (SWAP).

Pasalnya, penghargaan yang diserahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise dan diterima langsung oleh

Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra di Four Point Makassar, Selasa (23/7) lalu itu berbarengan dengan terkuaknya dugaan

kasus pelecehan seksual oknum guru SD berinisial M, 54, terhadap mantan muridnya, K, 12, di Banjar Cengkilung, Desa Peguyangan Kangin, Denpasar Utara.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, I Wayan Setiawan, salah seorang anggota SWAP mengaku tensi darahnya mendadak naik membaca berita Denpasar meraih penghargaan kota layak anak kategori utama.

Menurutnya, penghargaan tersebut sangat formalitas mengingat kasus kekerasan demi kekerasan terhadap anak masih kerap terjadi di ibu kota Provinsi Bali tersebut.

“Penghargaan-penghargaan itu hanya sebatas formalitas. Buat gagah-gagahan dan gaya-gayaan saja. Kasus penggerebekan oleh masyarakat di SD 7 Peguyangan Kangin

terhadap salah seorang oknum guru yang sudah sangat layak diduga melakukan perbuatan asusila terhadap siswanya sendiri.

Ini contoh buruk betapa Pemkot Denpasar tidak layak menerima penghargaan apapun di bidang keselamatan anak,” ucap Setiawan.

Lebih lanjut, aktivis asal Banjar Tanggayuda, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Badung itu menilai Pemkot Denpasar lambat merespons fakta bahwa si oknum guru cabul pernah melakukan perbuatan serupa beberapa tahun silam.

Menurutnya, riwayat hidup M, 54, yang menikahi gadis di bawah umur setelah dihamili seharusnya menjadi dasar kuat bagi aparat terkait untuk menyeret oknum guru itu ke meja hijau.

“Dari pengakuan mantan istri terduga pelaku, M telah menyetubuhi korban sejak kelas VI SD dan menikahinya saat SMP. Ini menegaskan si oknum guru adalah pedofil sejati.

Fakta ini menurut saya tidak menjadi pelajaran atau dianggap serius oleh Pemkot Denpasar sehingga “tragedi” serupa terulang kembali,” tegasnya.

Lebih lanjut, Setiawan mengatakan SWAP berhasil menghimpun keterangan bahwa ketika dilakukan penggerebekan korban tidak mengenakan busana atau baju.

Hal itu, terangnya sangat cukup dijadikan dasar untuk menyeret pelaku ke meja hijau. “Pedofilia adalah kejahatan luar biasa. Tidak bisa dipaksakan korban untuk bersaksi apalagi melaporkan pelaku.

Dalam kasus ini korban umumnya justru melindungi pelaku dan cenderung tertutup akibat dari efek “Stockholm Syndrom”.

Menimbang maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Denpasar, SWAP menuntut kepada pemerintah agar mencabut penghargaan tersebut (Denpasar Kota Layak Anak, red),” tegasnya. 

DENPASAR – Empat penghargaan yang diraih Kota Denpasar dalam acara Penganugerahan Kabupaten dan Kota Layak Anak 2019 serangkaian Hari Anak Nasional (HAN) Tahun 2019 dinilai “lebay” oleh Solidaritas Warga Anti Pedofilia (SWAP).

Pasalnya, penghargaan yang diserahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise dan diterima langsung oleh

Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra di Four Point Makassar, Selasa (23/7) lalu itu berbarengan dengan terkuaknya dugaan

kasus pelecehan seksual oknum guru SD berinisial M, 54, terhadap mantan muridnya, K, 12, di Banjar Cengkilung, Desa Peguyangan Kangin, Denpasar Utara.

Kepada Jawa Pos Radar Bali, I Wayan Setiawan, salah seorang anggota SWAP mengaku tensi darahnya mendadak naik membaca berita Denpasar meraih penghargaan kota layak anak kategori utama.

Menurutnya, penghargaan tersebut sangat formalitas mengingat kasus kekerasan demi kekerasan terhadap anak masih kerap terjadi di ibu kota Provinsi Bali tersebut.

“Penghargaan-penghargaan itu hanya sebatas formalitas. Buat gagah-gagahan dan gaya-gayaan saja. Kasus penggerebekan oleh masyarakat di SD 7 Peguyangan Kangin

terhadap salah seorang oknum guru yang sudah sangat layak diduga melakukan perbuatan asusila terhadap siswanya sendiri.

Ini contoh buruk betapa Pemkot Denpasar tidak layak menerima penghargaan apapun di bidang keselamatan anak,” ucap Setiawan.

Lebih lanjut, aktivis asal Banjar Tanggayuda, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Badung itu menilai Pemkot Denpasar lambat merespons fakta bahwa si oknum guru cabul pernah melakukan perbuatan serupa beberapa tahun silam.

Menurutnya, riwayat hidup M, 54, yang menikahi gadis di bawah umur setelah dihamili seharusnya menjadi dasar kuat bagi aparat terkait untuk menyeret oknum guru itu ke meja hijau.

“Dari pengakuan mantan istri terduga pelaku, M telah menyetubuhi korban sejak kelas VI SD dan menikahinya saat SMP. Ini menegaskan si oknum guru adalah pedofil sejati.

Fakta ini menurut saya tidak menjadi pelajaran atau dianggap serius oleh Pemkot Denpasar sehingga “tragedi” serupa terulang kembali,” tegasnya.

Lebih lanjut, Setiawan mengatakan SWAP berhasil menghimpun keterangan bahwa ketika dilakukan penggerebekan korban tidak mengenakan busana atau baju.

Hal itu, terangnya sangat cukup dijadikan dasar untuk menyeret pelaku ke meja hijau. “Pedofilia adalah kejahatan luar biasa. Tidak bisa dipaksakan korban untuk bersaksi apalagi melaporkan pelaku.

Dalam kasus ini korban umumnya justru melindungi pelaku dan cenderung tertutup akibat dari efek “Stockholm Syndrom”.

Menimbang maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Denpasar, SWAP menuntut kepada pemerintah agar mencabut penghargaan tersebut (Denpasar Kota Layak Anak, red),” tegasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/