32.6 C
Jakarta
25 April 2024, 16:02 PM WIB

Pilkada Serentak Mundur, Pemerintah Harus Siapkan 270 Plt/Pj

DENPASAR – Maju kena mundur kena. Judul film drama komedi Indonesia tahun 1983 yang dibintangi Warkop DKI, Eva Arnaz, dan Lydia Kandou ini “membayangi” perhelatan Pilkada Serentak, 9 Desember 2020.

Dilaksanakan tetap di hari itu, maju, atau mundur alias ditunda hingga 2021 memiliki resiko masing-masing.

“Saat ini, kita ketahui bersama bahwa hari H pencoblosan untuk Pilkada serentak telah diputuskan akan berlangsung 9 Desember 2020.

Dengan begitu, tahapan Pilkada telah dimulai pada pertengahan Juni 2020, ketika jumlah kasus Covid – 19 mengalami lonjakan yang cukup tajam di beberapa wilayah di Bali.

Grafik pandemi belum melandai, namun tahapan Pilkada sudah harus berjalan,” ucap Dr Kadek Dwita Apriani S.Sos, MIP, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Udayana, Senin (21/6).

Perempuan pertama di Bali yang menyandang gelar doktor di bidang ilmu politik itu mengingatkan setidaknya ada 11 tahapan Pilkada

yang akan melibatkan banyak interaksi: pelantikan PP/PPS, pembentukan PPDP, pemutakhiran data pemilih, rekap DPS/DPT, pencalonan,

kampanye, pembentukan KPPS, logistik, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi suara di semua tingkatan, dan sengketa pemilihan.

Dirinya sangat berharap sebelas tahapan tersebut dapat berjalan dengan penerapan protokol kesehatan.

Imbuhnya, pihak penyelenggara Pilkada Serentak juga wajib sadar dan tangar menyikapi beberapa isu yang berpeluang muncul di tengah pilkada pada masa pandemi.

Isu utama adalah keselamatan dan kesehatan warga negara dan juga penyelenggara. Isu berikutnya adalah adanya resiko penurunan tingkat partisipasi pemilih;

pengawasan warga atas proses Pilkada juga mungkin akan mengalami penurunan; kendala teknis dalam pelatihan online panitia ad hoc; menguatnya politik berbiaya tinggi, dan politisasi Bansos.

“Kondisi hari ini, khususnya di Bali memang telah ada kepastian anggaran pilkada sehingga instrument dan infrastruktur pilkada dapat menyesuaikan dengan protokol kesehatan.

Namun, masih sangat dibutuhkan regulasi teknis dari penyelenggaraannya,” ungkap alumnus SMA Negeri 1 Denpasar itu. Sosialisasi pada pemilih juga dinilai belum optimal.

Hal tersebut, tegas Dwita merupakan tanggung jawab bukan saja penyelenggara, melainkan seluruh stakeholders pilkada, seperti kandidat, tim sukses kandidat, dan partai politik.

Jika Pilkada Serentak 2020 ditunda hingga 2021 juga terdapat risiko lainnya. Dwita merinci, resiko yang paling sering menjadi pembahasan adalah terbengkalainya

urusan publik di daerah jika masa jabatan kepala daerahnya telah berakhir dan posisi tersebut diisi oleh pelaksana tugas (plt) atau penjabat (pj).

“Hal ini karena kewenangan pj sangat terbatas. Paling tidak harus disiapkan 270 plt/pj di seluruh Indonesia jika Pilkada Serentak ditunda hingga 2021,” tandasnya. 

DENPASAR – Maju kena mundur kena. Judul film drama komedi Indonesia tahun 1983 yang dibintangi Warkop DKI, Eva Arnaz, dan Lydia Kandou ini “membayangi” perhelatan Pilkada Serentak, 9 Desember 2020.

Dilaksanakan tetap di hari itu, maju, atau mundur alias ditunda hingga 2021 memiliki resiko masing-masing.

“Saat ini, kita ketahui bersama bahwa hari H pencoblosan untuk Pilkada serentak telah diputuskan akan berlangsung 9 Desember 2020.

Dengan begitu, tahapan Pilkada telah dimulai pada pertengahan Juni 2020, ketika jumlah kasus Covid – 19 mengalami lonjakan yang cukup tajam di beberapa wilayah di Bali.

Grafik pandemi belum melandai, namun tahapan Pilkada sudah harus berjalan,” ucap Dr Kadek Dwita Apriani S.Sos, MIP, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Udayana, Senin (21/6).

Perempuan pertama di Bali yang menyandang gelar doktor di bidang ilmu politik itu mengingatkan setidaknya ada 11 tahapan Pilkada

yang akan melibatkan banyak interaksi: pelantikan PP/PPS, pembentukan PPDP, pemutakhiran data pemilih, rekap DPS/DPT, pencalonan,

kampanye, pembentukan KPPS, logistik, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi suara di semua tingkatan, dan sengketa pemilihan.

Dirinya sangat berharap sebelas tahapan tersebut dapat berjalan dengan penerapan protokol kesehatan.

Imbuhnya, pihak penyelenggara Pilkada Serentak juga wajib sadar dan tangar menyikapi beberapa isu yang berpeluang muncul di tengah pilkada pada masa pandemi.

Isu utama adalah keselamatan dan kesehatan warga negara dan juga penyelenggara. Isu berikutnya adalah adanya resiko penurunan tingkat partisipasi pemilih;

pengawasan warga atas proses Pilkada juga mungkin akan mengalami penurunan; kendala teknis dalam pelatihan online panitia ad hoc; menguatnya politik berbiaya tinggi, dan politisasi Bansos.

“Kondisi hari ini, khususnya di Bali memang telah ada kepastian anggaran pilkada sehingga instrument dan infrastruktur pilkada dapat menyesuaikan dengan protokol kesehatan.

Namun, masih sangat dibutuhkan regulasi teknis dari penyelenggaraannya,” ungkap alumnus SMA Negeri 1 Denpasar itu. Sosialisasi pada pemilih juga dinilai belum optimal.

Hal tersebut, tegas Dwita merupakan tanggung jawab bukan saja penyelenggara, melainkan seluruh stakeholders pilkada, seperti kandidat, tim sukses kandidat, dan partai politik.

Jika Pilkada Serentak 2020 ditunda hingga 2021 juga terdapat risiko lainnya. Dwita merinci, resiko yang paling sering menjadi pembahasan adalah terbengkalainya

urusan publik di daerah jika masa jabatan kepala daerahnya telah berakhir dan posisi tersebut diisi oleh pelaksana tugas (plt) atau penjabat (pj).

“Hal ini karena kewenangan pj sangat terbatas. Paling tidak harus disiapkan 270 plt/pj di seluruh Indonesia jika Pilkada Serentak ditunda hingga 2021,” tandasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/