26.3 C
Jakarta
25 April 2024, 5:21 AM WIB

Apakah Rapid Test Efektif? Ini Pandangan Guru Besar FKH Unud

DENPASAR – Membludaknya hasil positif atau reaktif rapid test untuk warga Banjar Serokadan, Desa Abuan, Bangli beberapa waktu lalu memang menyisakan banyak persoalan.

Dugaan kuat mengarah karena errornya alat rapid tes yang digunakan saat menguji warga. Dimana dari 1210 warga yang di tes, 443 orang dinyatakan reaktif.

Sehari kemudian kembali dilakukan rapid test dengan hasil berbeda jauh. Dimana dari 669 warga yang di rapid, hanya 4 orang yang positif.

Hal ini menjadi dugaan kuat bahwa alat yang digunakan tersebut error sebagaimana yang disampaikan guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (FKH Unud), Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika.

“Bisa jadi itu (alat) error. Maka pertanyaan, apakah alat yang digunakan sama atau beda merk? Jika sama, maka bisa saja error karena salah dalam penyimpanan dan sebagainnya,” ujar Prof Mahardika, Sabtu (2/5) sore kepada RadarBali.id.

Bila pun yang digunakan merk yang sama, lanjut Prof Mahardika, bisa juga saat pembuatan alat, membuat kualitas dari alat rapid test tersebut berbeda.

“Makanya, test yang baik itu harus menyediakan kontrol negatif dan positif. Setelah hasilnya tepat, baru bisa digunakan dengan spesimen orang. Kalau tak berisi kontrol negatif dan positif, kita sebaiknya tidak usah dipakai” jelasnya.

Dikatakan, error-nya alat rapid test tersebut bukan berarti alat itu tidak efektif untuk digunakan. Sebab, rapid test berguna untuk melakukan screening agar dapat  mengetahui dengan cepat.

“Jadi bukan untuk justifikasi orangnya membawa virus atau tidak ya. Untuk menentukannya memang harus dengan PCR,” jelasnya.

Berati rapid test masih efektif untuk digunakan? “Nyabit rumput tak bisa pakai cangkul,” kata Prof Mahardika beranalogi.

Meski begitu, Prof Mahardika juga menyampaikan ada kesalahkaprahan dalam memahami terkait kapan orang itu harus dikarantina atau dilepas setelah melakukan rapid test dan uji swab melalui PCR di Bali.

Semestinya, mereka yang saat setelah di tes dan antibodi ternyata positif memang harus di PCR. Jika tes PCR nanti hasilnya negatif, maka harus dilepas (aman). Sebab, orang ini sudah kebal.

Sedangkan bila orang yang di rapid test negatif dan kemudian ditest swab hasilnya positif, ini yang semestinya dikarantina.

“Nah, yang rapid test hasilnya negatif dan kemudian dilepas, ini fatal. Ini perlu tes swab. Sebab, belum tentu orang yang rapid tes dan hasilnya negatif ini tak membawa virus,” tegasnya. 

DENPASAR – Membludaknya hasil positif atau reaktif rapid test untuk warga Banjar Serokadan, Desa Abuan, Bangli beberapa waktu lalu memang menyisakan banyak persoalan.

Dugaan kuat mengarah karena errornya alat rapid tes yang digunakan saat menguji warga. Dimana dari 1210 warga yang di tes, 443 orang dinyatakan reaktif.

Sehari kemudian kembali dilakukan rapid test dengan hasil berbeda jauh. Dimana dari 669 warga yang di rapid, hanya 4 orang yang positif.

Hal ini menjadi dugaan kuat bahwa alat yang digunakan tersebut error sebagaimana yang disampaikan guru besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (FKH Unud), Prof. Dr. drh. I Gusti Ngurah Kade Mahardika.

“Bisa jadi itu (alat) error. Maka pertanyaan, apakah alat yang digunakan sama atau beda merk? Jika sama, maka bisa saja error karena salah dalam penyimpanan dan sebagainnya,” ujar Prof Mahardika, Sabtu (2/5) sore kepada RadarBali.id.

Bila pun yang digunakan merk yang sama, lanjut Prof Mahardika, bisa juga saat pembuatan alat, membuat kualitas dari alat rapid test tersebut berbeda.

“Makanya, test yang baik itu harus menyediakan kontrol negatif dan positif. Setelah hasilnya tepat, baru bisa digunakan dengan spesimen orang. Kalau tak berisi kontrol negatif dan positif, kita sebaiknya tidak usah dipakai” jelasnya.

Dikatakan, error-nya alat rapid test tersebut bukan berarti alat itu tidak efektif untuk digunakan. Sebab, rapid test berguna untuk melakukan screening agar dapat  mengetahui dengan cepat.

“Jadi bukan untuk justifikasi orangnya membawa virus atau tidak ya. Untuk menentukannya memang harus dengan PCR,” jelasnya.

Berati rapid test masih efektif untuk digunakan? “Nyabit rumput tak bisa pakai cangkul,” kata Prof Mahardika beranalogi.

Meski begitu, Prof Mahardika juga menyampaikan ada kesalahkaprahan dalam memahami terkait kapan orang itu harus dikarantina atau dilepas setelah melakukan rapid test dan uji swab melalui PCR di Bali.

Semestinya, mereka yang saat setelah di tes dan antibodi ternyata positif memang harus di PCR. Jika tes PCR nanti hasilnya negatif, maka harus dilepas (aman). Sebab, orang ini sudah kebal.

Sedangkan bila orang yang di rapid test negatif dan kemudian ditest swab hasilnya positif, ini yang semestinya dikarantina.

“Nah, yang rapid test hasilnya negatif dan kemudian dilepas, ini fatal. Ini perlu tes swab. Sebab, belum tentu orang yang rapid tes dan hasilnya negatif ini tak membawa virus,” tegasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/