27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 6:40 AM WIB

Cok Pamecutan: Sejarah Harus Diluruskan, Jangan “Lengeh Buah”

DENPASAR – Fenomena “raja-rajaan” yang bermunculan di berbagai pelosok tanah air menjadi kecemasan tersendiri bagi Penglingsir Puri Agung Pemecutan Denpasar, AA Ngurah Manik Parasara atau Ida Cokorda Pemecutan XI.

Dia berharap tidak ada pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai raja tanpa dasar hukum atau silsilah sejarah yang jelas.

Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah terangnya diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih tepatnya fakta sejarah.

Fakta atau peninggalan sejarah dimaksud berupa objek, baik yang bersifat artifak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya yang bisa dilihat dan diteliti.

Kepada Radarbali.id, Ida Cokorda Pemecutan XI menegaskan, sejarah harus objektif alias tidak palsu sebab akan diterima oleh generasi yang akan datang sebagai kekayaan suatu daerah atau kearifan bangsa.

Jika ada sejarah yang dimanipulasi, maka harus diluruskan apapun konsekuensinya. Terkait oknum bernama Toto Santoso yang mengaku Raja Keraton Agung Sejagat

di Desa Pogung Juru Tengah, Purworejo, Jawa Tengah, Ida Cokorda Pemecutan XI tak menampik kerinduan-kerinduan dan fantasi kejayaan era kerajaan sering terjadi.

“Waktu zaman kerajaan semua mengaku saya keturunan raja, begitu tidak dapat tempat di kerajaan, republik dianggap lebih cocok. Republik disebut nomor satu, kerajaan jelek karena feodal.

Ketika di republik tidak mendapat tempat, jadi rindu kerajaan. Kalau orang Bali menyebut itu dengan istilah lengeh buah, mabuk kepayang. Tapi kalau memang trahnya raja, silakan,” ucap Cok Pemecutan XI kemarin.

Trah, jelasnya tidak bisa dihilangkan. Tak hanya di Bali, trah ini juga masih kental di sejumlah daerah di Indonesia dan mancanegara.

Antara lain di Ambon, Sunda, Jawa, Batak, Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan sebagainya.

“Seperti kami di Puri Pemecutan. Memang ada trah kami sebagai keturunan raja di Bali. Bagaimana dihilangkan? Waktu saya jadi Cokorda banyak yang ribut.

Gubernur Bali saat itu bahkan mengirim surat agar jangan hadir di penobatan Cokorda Pemecutan sebab dia bikin negeri di dalam negeri.

Tapi Cokorda Pemecutan kayak bola. Ditendang melinting, diinjak rebah. Jadi tidak usah diributkan itu (asal trahnya jelas, red).

Tapi, kalau menipu, ada aparat hukum ya tangkap saja! Bukan trah jadi raja ngaku raja, ya repot kita. Betul nggak?” ungkap Ida Cokorda Pemecutan XI.

Tentang pengangkatan dirinya sebagai raja, Ida Cokorda Pemecutan XI menyebut hal tersebut bukan kehendaknya sendiri, melainkan merupakan garis keturunan.

“Saya tidak ada menipu. Menjanjikan orang sebagai Menteri. Tidak. Saya Pancasilais sejati. Saya besar dan hidup di lingkungan keluarga pejuang kemerdekaan NKRI.

Bagi saya kalau ada raja penipu ya tangkap saja. Aturan hukum merupakan segala-galanya di negeri ini. Jangan sampai Pancasila harga mati hanya manis di bibir saja,” tegasnya.

Mengerujut pada kerajaan Majapahit fiktif di Bali sebagaimana yang dilontarkan Pinisepuh Perguruan Sandi Murti Indonesia, I Gusti Ngurah Harta, Ida Cokorda Pemecutan XI mengaku hal tersebut mesti disikapi dengan bijaksana dalam bingkai NKRI.

“Itu aparat punya ranahnya. Nanti dikira saya iri dengan Mancawarna (istana, red). Tidak. Kalau Puri Pemecutan jelas sebelum republik ini berdiri sudah ada.

Keluarga saya pendiri kerajaan, bukan Giri Prasta, bukan Rai Mantra, bukan Wayan Koster,” ungkap sang raja penuh semangat.

DENPASAR – Fenomena “raja-rajaan” yang bermunculan di berbagai pelosok tanah air menjadi kecemasan tersendiri bagi Penglingsir Puri Agung Pemecutan Denpasar, AA Ngurah Manik Parasara atau Ida Cokorda Pemecutan XI.

Dia berharap tidak ada pihak-pihak yang mengklaim diri sebagai raja tanpa dasar hukum atau silsilah sejarah yang jelas.

Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah terangnya diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih tepatnya fakta sejarah.

Fakta atau peninggalan sejarah dimaksud berupa objek, baik yang bersifat artifak, dokumen tertulis, dan lain sebagainya yang bisa dilihat dan diteliti.

Kepada Radarbali.id, Ida Cokorda Pemecutan XI menegaskan, sejarah harus objektif alias tidak palsu sebab akan diterima oleh generasi yang akan datang sebagai kekayaan suatu daerah atau kearifan bangsa.

Jika ada sejarah yang dimanipulasi, maka harus diluruskan apapun konsekuensinya. Terkait oknum bernama Toto Santoso yang mengaku Raja Keraton Agung Sejagat

di Desa Pogung Juru Tengah, Purworejo, Jawa Tengah, Ida Cokorda Pemecutan XI tak menampik kerinduan-kerinduan dan fantasi kejayaan era kerajaan sering terjadi.

“Waktu zaman kerajaan semua mengaku saya keturunan raja, begitu tidak dapat tempat di kerajaan, republik dianggap lebih cocok. Republik disebut nomor satu, kerajaan jelek karena feodal.

Ketika di republik tidak mendapat tempat, jadi rindu kerajaan. Kalau orang Bali menyebut itu dengan istilah lengeh buah, mabuk kepayang. Tapi kalau memang trahnya raja, silakan,” ucap Cok Pemecutan XI kemarin.

Trah, jelasnya tidak bisa dihilangkan. Tak hanya di Bali, trah ini juga masih kental di sejumlah daerah di Indonesia dan mancanegara.

Antara lain di Ambon, Sunda, Jawa, Batak, Malaysia, Brunei Darussalam, Arab Saudi, dan sebagainya.

“Seperti kami di Puri Pemecutan. Memang ada trah kami sebagai keturunan raja di Bali. Bagaimana dihilangkan? Waktu saya jadi Cokorda banyak yang ribut.

Gubernur Bali saat itu bahkan mengirim surat agar jangan hadir di penobatan Cokorda Pemecutan sebab dia bikin negeri di dalam negeri.

Tapi Cokorda Pemecutan kayak bola. Ditendang melinting, diinjak rebah. Jadi tidak usah diributkan itu (asal trahnya jelas, red).

Tapi, kalau menipu, ada aparat hukum ya tangkap saja! Bukan trah jadi raja ngaku raja, ya repot kita. Betul nggak?” ungkap Ida Cokorda Pemecutan XI.

Tentang pengangkatan dirinya sebagai raja, Ida Cokorda Pemecutan XI menyebut hal tersebut bukan kehendaknya sendiri, melainkan merupakan garis keturunan.

“Saya tidak ada menipu. Menjanjikan orang sebagai Menteri. Tidak. Saya Pancasilais sejati. Saya besar dan hidup di lingkungan keluarga pejuang kemerdekaan NKRI.

Bagi saya kalau ada raja penipu ya tangkap saja. Aturan hukum merupakan segala-galanya di negeri ini. Jangan sampai Pancasila harga mati hanya manis di bibir saja,” tegasnya.

Mengerujut pada kerajaan Majapahit fiktif di Bali sebagaimana yang dilontarkan Pinisepuh Perguruan Sandi Murti Indonesia, I Gusti Ngurah Harta, Ida Cokorda Pemecutan XI mengaku hal tersebut mesti disikapi dengan bijaksana dalam bingkai NKRI.

“Itu aparat punya ranahnya. Nanti dikira saya iri dengan Mancawarna (istana, red). Tidak. Kalau Puri Pemecutan jelas sebelum republik ini berdiri sudah ada.

Keluarga saya pendiri kerajaan, bukan Giri Prasta, bukan Rai Mantra, bukan Wayan Koster,” ungkap sang raja penuh semangat.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/