31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 11:00 AM WIB

Jenazah Menumpuk di Kamar Mayat, PHDI: Wajib Dikubur, Titip Itu Nista

DENPASAR – Penumpukan jenazah yang terjadi di sejumlah rumah sakit di Bali bukan dikarenakan upacara Panca Wali Krama dan Betara Turun Kabeh, melainkan salah persepsi yang terjadi di masyarakat.
Hal tersebut ditegaskan Ketua PHDI Bali Prof Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. saat konferensi pers di kantor Gubernur Bali.

“Jika ada masyarakat yang keluarga meninggal, kalau dia seorang sulinggih atau pemangku boleh di kinsan di geni,” ungkapnya. 

Namun, jika dia welaka (orang biasa), diperkenankan untuk dititip  di pertiwi atau di lubang, dengan kata lain, mependem.

Keputusan ini pun sejatinya sudah berlaku sejak tanggal 31 januari sampai 12 april 2019. Bila masyarakat Bali memahami ini, masyarakat yang memiliki keluarga yang meninggal, semestinya tak akan menitipkan jenazah ke rumah sakit.

“Titip di rumah sakit, tidak ada di dalam sastra. Bahkan, ini (titip jenasah) yang disebut nista,” ungkapnya.
Untuk itu, Prof Sudiana menegaskan kembali, bahwa bukan panca wali krama yang menjadi penyebab penumpukan jenazah, melainkan kesalahanpahaman.

“Masyarakat justru menganggap rumah sakit lebih utama daripada mapendem di pertiwi. Ini yang keliru,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua MUDP Provinsi Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha meminta agar layon atau jenasah tersebut semestinya dihormati.

“Jangan pakai tenda. Karena tak sesuai dengan etika,” jelasnya yang ikut dalam konfersi pers tersebut.
Ia mengaku heran mengapa banyak jenasah yang meninggal di rumah kemudian dibawa ke rumah sakit untuk dititipkan.

Hal ini justru berbahaya bagi desa. “Meninggal di rumah, lalu di bawa ke rumah sakit, itu namanya layon ketundung (jenazah diusir). Bisa terjadi musibah di desa. Ini tak baik bagi desa,” ungkapnya.

Lalu apa yang mesti dilakukan? “Saya meminta kepada para tokoh yang ada di desa agar menjalankan keputusan Parisada. Besok (Rabu hari ini), puncak upacara di Besakih.

Bagi keluarga yang hendak membawa jenasah pulang, langsung bawa ke kuburan dan titip di pertiwi. Jangan jenazah di bawa ke rumah,” jawabnya.

Namun setelah puncak upacara di Besakih pada Rabu besok, dipersilakan untuk keluarga membawa pulang jenazah ke rumah atau langsung ke kuburan pada sore harinya. 

Disisi lain, Gubernur Bali Wayan Koster meminta masyarakat Bali untuk taat dengan aturan yang ada. “Ini jalan keluarnya.

Surat keputusan parisada yang kalau di jalankan, tidak ada masalah seperti itu. Saya mendukung penuh agar keputusan ini dijalankan

sebaik-baiknya oleh bendesa adat dan tokoh masyarakat yang berkaitkan pelaksanaan acara di Besakih dan di desa adat masing-masing,” pungkasnya.

DENPASAR – Penumpukan jenazah yang terjadi di sejumlah rumah sakit di Bali bukan dikarenakan upacara Panca Wali Krama dan Betara Turun Kabeh, melainkan salah persepsi yang terjadi di masyarakat.
Hal tersebut ditegaskan Ketua PHDI Bali Prof Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. saat konferensi pers di kantor Gubernur Bali.

“Jika ada masyarakat yang keluarga meninggal, kalau dia seorang sulinggih atau pemangku boleh di kinsan di geni,” ungkapnya. 

Namun, jika dia welaka (orang biasa), diperkenankan untuk dititip  di pertiwi atau di lubang, dengan kata lain, mependem.

Keputusan ini pun sejatinya sudah berlaku sejak tanggal 31 januari sampai 12 april 2019. Bila masyarakat Bali memahami ini, masyarakat yang memiliki keluarga yang meninggal, semestinya tak akan menitipkan jenazah ke rumah sakit.

“Titip di rumah sakit, tidak ada di dalam sastra. Bahkan, ini (titip jenasah) yang disebut nista,” ungkapnya.
Untuk itu, Prof Sudiana menegaskan kembali, bahwa bukan panca wali krama yang menjadi penyebab penumpukan jenazah, melainkan kesalahanpahaman.

“Masyarakat justru menganggap rumah sakit lebih utama daripada mapendem di pertiwi. Ini yang keliru,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua MUDP Provinsi Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesha meminta agar layon atau jenasah tersebut semestinya dihormati.

“Jangan pakai tenda. Karena tak sesuai dengan etika,” jelasnya yang ikut dalam konfersi pers tersebut.
Ia mengaku heran mengapa banyak jenasah yang meninggal di rumah kemudian dibawa ke rumah sakit untuk dititipkan.

Hal ini justru berbahaya bagi desa. “Meninggal di rumah, lalu di bawa ke rumah sakit, itu namanya layon ketundung (jenazah diusir). Bisa terjadi musibah di desa. Ini tak baik bagi desa,” ungkapnya.

Lalu apa yang mesti dilakukan? “Saya meminta kepada para tokoh yang ada di desa agar menjalankan keputusan Parisada. Besok (Rabu hari ini), puncak upacara di Besakih.

Bagi keluarga yang hendak membawa jenasah pulang, langsung bawa ke kuburan dan titip di pertiwi. Jangan jenazah di bawa ke rumah,” jawabnya.

Namun setelah puncak upacara di Besakih pada Rabu besok, dipersilakan untuk keluarga membawa pulang jenazah ke rumah atau langsung ke kuburan pada sore harinya. 

Disisi lain, Gubernur Bali Wayan Koster meminta masyarakat Bali untuk taat dengan aturan yang ada. “Ini jalan keluarnya.

Surat keputusan parisada yang kalau di jalankan, tidak ada masalah seperti itu. Saya mendukung penuh agar keputusan ini dijalankan

sebaik-baiknya oleh bendesa adat dan tokoh masyarakat yang berkaitkan pelaksanaan acara di Besakih dan di desa adat masing-masing,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/