27.3 C
Jakarta
30 April 2024, 9:23 AM WIB

Dua Peneliti Asing Teliti Kesehatan Jiwa Warga Bali, Ini Alasannya…

DENPASAR– Kondisi kesehatan jiwa warga Bali menjadi obyek penelitian dua peneliti asing, yakni Dr Niko Tiliopoulos dari University of Sydney (Australia) dan Annemieke Bikker dari University of Edinburgh (Skotlandia). 

Mereka juga didampingi peneliti lokal, yakni Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K) dari Universitas Udayana.

Penelitian ini sebagai bagian dari hibah penelitian yang didanai oleh  Sydney Southeast Asia Centre (SSAC), University of Sydney, Australia.

“Kami ingin mengetahui sejauh mana penerapan UU Nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa benar-benar diterapkan di Bali,” kata Niko.

Masalah kesehatan jiwa, menurut keduanya, sangat menarik karena di seluruh dunia belum cukup mendapat perhatian.

Perhatian umumnya lebih terfokus ada kesehatan fisik padahal baik fisik maupun mental sama pentingnya dan saling berkaitan. 

Dipilihnya Bali sebagai lokasi penelitian karena kedekatan Niko yang sebelumnya pernah tinggal di Bali dan telah banyak melakukan penelitian dengan Suryani Institute for Mental Health.

Penelitian selama 1 bulan  itu dilakukan dengan melakukan wawancara pada 27 psikiater di Kota Denpasar dan 7  Kabupaten lainnya.

Di Jembrana, wawancara tidak dilakukan karena memang tidak ada psikiater yang melakukan praktek di kabupaten paling barat itu.

Para psikiater sendiri umumnya bekerja di Rumah Sakit dan belum ada yang bekerja di level Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Akibatnya, mereka kurang berinteraksi dengan problem masyarakat sehari-hari dan hanya terfokus untuk menangani kasus-kasus yang sudah akut.

Menurut Annemieke, dari wawancara yang telah dilakukan, terkesan para psikiater memiliki kepedulian untuk ikut terjun membantu masyarakat secara lebih luas.

Tetapi mereka terbentur pada belum adanya prosedur untuk tindakan preventif maupun mitigasi (pengurangan resiko). “Mereka sangat ingin tetapi tidak tahu bagaimana caranya,” ujarnya.

Dari pihak masyarakat sendiri masih terdapat stigma sehingga siapapun yang mengalami masalah kesehatan mental dan mendatangi psikiater akan dianggap sebagai orang gila.

Masyarakatpun kemudian  lebih banyak yang pergi ke balian.  Mereka berharap, hasil penelitian nantinya akan dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan Pemerintah Bali sehingga terdapat dorongan untuk menangani masalah ini. 

DENPASAR– Kondisi kesehatan jiwa warga Bali menjadi obyek penelitian dua peneliti asing, yakni Dr Niko Tiliopoulos dari University of Sydney (Australia) dan Annemieke Bikker dari University of Edinburgh (Skotlandia). 

Mereka juga didampingi peneliti lokal, yakni Dr dr Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ(K) dari Universitas Udayana.

Penelitian ini sebagai bagian dari hibah penelitian yang didanai oleh  Sydney Southeast Asia Centre (SSAC), University of Sydney, Australia.

“Kami ingin mengetahui sejauh mana penerapan UU Nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa benar-benar diterapkan di Bali,” kata Niko.

Masalah kesehatan jiwa, menurut keduanya, sangat menarik karena di seluruh dunia belum cukup mendapat perhatian.

Perhatian umumnya lebih terfokus ada kesehatan fisik padahal baik fisik maupun mental sama pentingnya dan saling berkaitan. 

Dipilihnya Bali sebagai lokasi penelitian karena kedekatan Niko yang sebelumnya pernah tinggal di Bali dan telah banyak melakukan penelitian dengan Suryani Institute for Mental Health.

Penelitian selama 1 bulan  itu dilakukan dengan melakukan wawancara pada 27 psikiater di Kota Denpasar dan 7  Kabupaten lainnya.

Di Jembrana, wawancara tidak dilakukan karena memang tidak ada psikiater yang melakukan praktek di kabupaten paling barat itu.

Para psikiater sendiri umumnya bekerja di Rumah Sakit dan belum ada yang bekerja di level Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Akibatnya, mereka kurang berinteraksi dengan problem masyarakat sehari-hari dan hanya terfokus untuk menangani kasus-kasus yang sudah akut.

Menurut Annemieke, dari wawancara yang telah dilakukan, terkesan para psikiater memiliki kepedulian untuk ikut terjun membantu masyarakat secara lebih luas.

Tetapi mereka terbentur pada belum adanya prosedur untuk tindakan preventif maupun mitigasi (pengurangan resiko). “Mereka sangat ingin tetapi tidak tahu bagaimana caranya,” ujarnya.

Dari pihak masyarakat sendiri masih terdapat stigma sehingga siapapun yang mengalami masalah kesehatan mental dan mendatangi psikiater akan dianggap sebagai orang gila.

Masyarakatpun kemudian  lebih banyak yang pergi ke balian.  Mereka berharap, hasil penelitian nantinya akan dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan Pemerintah Bali sehingga terdapat dorongan untuk menangani masalah ini. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/