31.1 C
Jakarta
30 April 2024, 10:37 AM WIB

Otokritik, Kesenian Dihargai Murah, Seni Wisata Bali Tanpa Taksu

DENPASAR – Masalah seni wisata (seni kemasan) yang sejak lama menjadi polemik mendapat sorotan para pelaku seni di Bali. Salah satunya pengamat kesenian Prof. I Wayan Dibia.

Menurut  Dibia, kondisi memprihatinkan kesenian Bali khususnya tarian justru mengalami kemunduran dari segi kualitas.

Jika permasalahan ini tidak disikapi dengan serius, maka akan sangat berdampak pada citra Bali yang dikenal memiliki seni budaya yang kuat.

Selain itu akan membawa efek negatif terhadap perkembangan industri pariwisata Bali. Dibia mengungkapkan, saat ini seni pariwisata di Bali telah mengalami kemunduran sejak tahun 70an.

Kondisi itu ia temukan tepatnya di tahun 1977 setelah kepulangannnya dari Jogjakarta, yang berlanjut hingga saat ini.

“Tahun itu (1977) saya sudah menulis artikel melesunya seni wisata di Bali,” tutur Dibia. Dalam artikel yang ia tulis itu,

Dibia menyebut bahwa seni wisata tengah mengalami kemunduran terutama untuk kesenian yang kerap kali dijadikan tontonan seperti tarian barong dan kecak.

Situasi yang saat ini di tengah pariwisata Bali yang terus menggeliat pun masih terjadi. “Ini harus diwaspadai.

Karena seni wisata saat ini, khususnya tarian yang ditampilkan, tidak lagi memiliki energi dan taksu,” jelasnya.

Akibat meredupnya seni dan budaya Bali yang ditampilkan untuk kebutuhan seni wisata ini, membuat seni yang dipertontonkan tidak memiliki daya pukau terhadap penonton.

“Jadi seolah menari bagi seniman ini rutinitas saja. Menari bukan dari dalam diri, atau menggunakan hati. Setiap hari mendapat job menari,” katanya

Pria kelahiran Singapadu, 1948 silam ini mengungkapkan, ada keterkaitan dengan tarif yang diberikan industri pariwisata di Bali terhadap para seniman ini.

Di mana hotel atau industri wisata lainnya, membayar para seniman tersebut dengan harga murah.

“Bukan penari yang terbaik yang disuguhkan, karena harganya pasti mahal. Jadi yang ditampilkan hanya sekadar bisa menari saja,” tuturnya.

Untuk itu, dia meminta agar kondisi atraksi wisata seni ini segera dibenahi. Dimana para penari yang ditampilkan merupakan penari yang memang memiliki skill juga,” kata Dibia.

Dengan begitu, tambah Dibia,  dari segi tarif pun akan bisa lebih layak. Selain itu, sekaa dan penari yang ditampilkan harus bergiliran, misalnya satu sekaa tampil maksimal dua kali seminggu.

“Jadi ada semangat. Kalau tiap hari kan pekerjaan merasa ada keterpaksaan. Jadi dari sekian banyak sekaa yang ada itu membuat jadwal kesepakatan,” terang mantan Guru Besar ISI Denpasar ini.

Selain itu, hotel-hotel berbintang atau industri pariwisata yang menyajikan atraksi seni wisata harus diarahkan. Masing-masing hotel berbintang harus memiliki kesenian Bali unggulan. Misalnya barong calonarang atau tari legong.  

“Jangan diberikan tontonan yang monoton. Misalnya, barong calonarang, semuanya barong calonarang. Kalau banyak versi kan bagus , jadi ada pilihan, sehingga tamu pun ingin melihat kesenian dengan kemasan berbeda,” ucapnya.

Saat ini harus dilakukan pembenahan, semacam revitalisasi potensi pariwisata di Bali. Menurut pengamatannya, Bali kerap terlena dalam pujian.

“Ketika dibilang tarian kita hebat, tapi tidak ada kritis, apakah betul seni yang ditampilkan itu hebat. Seharusnya ini ada survey, itu yang belum dijalankan,” pungkasnya

DENPASAR – Masalah seni wisata (seni kemasan) yang sejak lama menjadi polemik mendapat sorotan para pelaku seni di Bali. Salah satunya pengamat kesenian Prof. I Wayan Dibia.

Menurut  Dibia, kondisi memprihatinkan kesenian Bali khususnya tarian justru mengalami kemunduran dari segi kualitas.

Jika permasalahan ini tidak disikapi dengan serius, maka akan sangat berdampak pada citra Bali yang dikenal memiliki seni budaya yang kuat.

Selain itu akan membawa efek negatif terhadap perkembangan industri pariwisata Bali. Dibia mengungkapkan, saat ini seni pariwisata di Bali telah mengalami kemunduran sejak tahun 70an.

Kondisi itu ia temukan tepatnya di tahun 1977 setelah kepulangannnya dari Jogjakarta, yang berlanjut hingga saat ini.

“Tahun itu (1977) saya sudah menulis artikel melesunya seni wisata di Bali,” tutur Dibia. Dalam artikel yang ia tulis itu,

Dibia menyebut bahwa seni wisata tengah mengalami kemunduran terutama untuk kesenian yang kerap kali dijadikan tontonan seperti tarian barong dan kecak.

Situasi yang saat ini di tengah pariwisata Bali yang terus menggeliat pun masih terjadi. “Ini harus diwaspadai.

Karena seni wisata saat ini, khususnya tarian yang ditampilkan, tidak lagi memiliki energi dan taksu,” jelasnya.

Akibat meredupnya seni dan budaya Bali yang ditampilkan untuk kebutuhan seni wisata ini, membuat seni yang dipertontonkan tidak memiliki daya pukau terhadap penonton.

“Jadi seolah menari bagi seniman ini rutinitas saja. Menari bukan dari dalam diri, atau menggunakan hati. Setiap hari mendapat job menari,” katanya

Pria kelahiran Singapadu, 1948 silam ini mengungkapkan, ada keterkaitan dengan tarif yang diberikan industri pariwisata di Bali terhadap para seniman ini.

Di mana hotel atau industri wisata lainnya, membayar para seniman tersebut dengan harga murah.

“Bukan penari yang terbaik yang disuguhkan, karena harganya pasti mahal. Jadi yang ditampilkan hanya sekadar bisa menari saja,” tuturnya.

Untuk itu, dia meminta agar kondisi atraksi wisata seni ini segera dibenahi. Dimana para penari yang ditampilkan merupakan penari yang memang memiliki skill juga,” kata Dibia.

Dengan begitu, tambah Dibia,  dari segi tarif pun akan bisa lebih layak. Selain itu, sekaa dan penari yang ditampilkan harus bergiliran, misalnya satu sekaa tampil maksimal dua kali seminggu.

“Jadi ada semangat. Kalau tiap hari kan pekerjaan merasa ada keterpaksaan. Jadi dari sekian banyak sekaa yang ada itu membuat jadwal kesepakatan,” terang mantan Guru Besar ISI Denpasar ini.

Selain itu, hotel-hotel berbintang atau industri pariwisata yang menyajikan atraksi seni wisata harus diarahkan. Masing-masing hotel berbintang harus memiliki kesenian Bali unggulan. Misalnya barong calonarang atau tari legong.  

“Jangan diberikan tontonan yang monoton. Misalnya, barong calonarang, semuanya barong calonarang. Kalau banyak versi kan bagus , jadi ada pilihan, sehingga tamu pun ingin melihat kesenian dengan kemasan berbeda,” ucapnya.

Saat ini harus dilakukan pembenahan, semacam revitalisasi potensi pariwisata di Bali. Menurut pengamatannya, Bali kerap terlena dalam pujian.

“Ketika dibilang tarian kita hebat, tapi tidak ada kritis, apakah betul seni yang ditampilkan itu hebat. Seharusnya ini ada survey, itu yang belum dijalankan,” pungkasnya

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/