28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 3:40 AM WIB

Nyaris Terancam Punah, Dua Tarian Kini Dilestarikan

SINGARAJA – Sejumlah tari khas Buleleng, sempat terancam punah. Di antaranya Tari Legong Pangeleb dan Tari Legong Tombol.

Beruntung tari-tari itu berhasil direkonstruksi. Meski telah berhasil direkonstruksi, sayangnya belum banyak penari yang tahu, apalagi mampu menarikan tari-tari tersebut.

Kemarin, Dinas Kebudayaan Buleleng secara khusus menggelar workshop yang membahas kedua tari itu.

Untuk Tari Legong Pangeleb, Disbud menghadirkan sosok Made Kranca, maestro sekaligus tokoh yang merekonstruksi tari itu bersama Sanggar Cudamani Ubud.

Sementara untuk Tari Legong Tombol, hadir akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Ida Ayu Wimba Ruspawati.

Dayu Wimba merupakan akademisi yang melakukan proses rekonstruksi Legong Tombol sejak 2013 sampai 2015 silam. Hingga akhirnya tari itu dipentaskan pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016 lalu.

Made Keranca mengatakan, sebelum direkonstruksi, ia terakhir kali menyaksikan Legong Pangeleb sekitar tahun 1957.

Legong itu ia saksikan bersama sang kakek, Pan Wadres, dalam sebuah pertunjukkan di Desa Menyali.

“Durasinya waktu itu pendek, hanya sekitar lima penit. Penarinya juga kostumnya sederhana sekali, mirip penari pendet.

Sekitar 2010 akhirnya saya bersama seniman karawitan dari Singaraja dan Menyali merekonstruksi Legong Pangeleb di (sanggar) Cudamani,” kata Kranca.

Menurutnya, tari itu secara umum berkisah mengenai kehidupan perempuan pada masa lampau, yang terkungkung dan terbatas.

Hingga akhirnya mereka berhasil membujuk orang tuanya untuk berbaur, bersosialisasi, dan bermain dengan anak-anak seusianya.

Tari itu menggambarkan keriangan anak perempuan desa yang terlepas dari belenggu kungkungan pergaulan.

Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang mengatakan, Buleleng sebenarnya sangat kaya dengan khasanah seni dan budaya.

Sayangnya kini ada beberapa kesenian yang terancam punah karena jarang ditarikan. Selain itu rekam data audio maupun visual terhadap tarian-tarian

itu sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Hanya berdasarkan ingatan para seniman-seniman lingsir di desa-desa.

“Selama penarinya atau penabuhnya masih ada, kami berusaha melakukan penggalian dan rekonstruksi. Supaya tarian-tarian ciptaan seniman

kita terdahulu tetap lestari. Kami sudah kerjasama dengan ISI Denpasar untuk rekonstruksi ini,” kata Gede Komang.

Setelah berhasil direkostruksi, pemerintah akan melakukan dokumentasi secara menyeluruh. Baik itu dalam bentuk audio, foto, maupun video. Sehingga ketika tari itu jarang ditarikan di masa mendatang, tak benar-benar punah.

Sementara untuk Tari Legong Pangeleb dan Legong Tombol, Gede Komang menyatakan, setelah workshop diharapkan kedua tarian itu makin lestari.

Ia juga berharap kedua tarian itu bisa ditarikan secara massal, sehingga tari-tari itu makin dikenal.

“Bukan cuma Bali Selatan yang punya legong, kami juga di Bali Utara punya legong. Ini harus disosialisasikan dan dilestarikan,” tukasnya. 

SINGARAJA – Sejumlah tari khas Buleleng, sempat terancam punah. Di antaranya Tari Legong Pangeleb dan Tari Legong Tombol.

Beruntung tari-tari itu berhasil direkonstruksi. Meski telah berhasil direkonstruksi, sayangnya belum banyak penari yang tahu, apalagi mampu menarikan tari-tari tersebut.

Kemarin, Dinas Kebudayaan Buleleng secara khusus menggelar workshop yang membahas kedua tari itu.

Untuk Tari Legong Pangeleb, Disbud menghadirkan sosok Made Kranca, maestro sekaligus tokoh yang merekonstruksi tari itu bersama Sanggar Cudamani Ubud.

Sementara untuk Tari Legong Tombol, hadir akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Ida Ayu Wimba Ruspawati.

Dayu Wimba merupakan akademisi yang melakukan proses rekonstruksi Legong Tombol sejak 2013 sampai 2015 silam. Hingga akhirnya tari itu dipentaskan pada Pesta Kesenian Bali (PKB) 2016 lalu.

Made Keranca mengatakan, sebelum direkonstruksi, ia terakhir kali menyaksikan Legong Pangeleb sekitar tahun 1957.

Legong itu ia saksikan bersama sang kakek, Pan Wadres, dalam sebuah pertunjukkan di Desa Menyali.

“Durasinya waktu itu pendek, hanya sekitar lima penit. Penarinya juga kostumnya sederhana sekali, mirip penari pendet.

Sekitar 2010 akhirnya saya bersama seniman karawitan dari Singaraja dan Menyali merekonstruksi Legong Pangeleb di (sanggar) Cudamani,” kata Kranca.

Menurutnya, tari itu secara umum berkisah mengenai kehidupan perempuan pada masa lampau, yang terkungkung dan terbatas.

Hingga akhirnya mereka berhasil membujuk orang tuanya untuk berbaur, bersosialisasi, dan bermain dengan anak-anak seusianya.

Tari itu menggambarkan keriangan anak perempuan desa yang terlepas dari belenggu kungkungan pergaulan.

Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng Gede Komang mengatakan, Buleleng sebenarnya sangat kaya dengan khasanah seni dan budaya.

Sayangnya kini ada beberapa kesenian yang terancam punah karena jarang ditarikan. Selain itu rekam data audio maupun visual terhadap tarian-tarian

itu sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Hanya berdasarkan ingatan para seniman-seniman lingsir di desa-desa.

“Selama penarinya atau penabuhnya masih ada, kami berusaha melakukan penggalian dan rekonstruksi. Supaya tarian-tarian ciptaan seniman

kita terdahulu tetap lestari. Kami sudah kerjasama dengan ISI Denpasar untuk rekonstruksi ini,” kata Gede Komang.

Setelah berhasil direkostruksi, pemerintah akan melakukan dokumentasi secara menyeluruh. Baik itu dalam bentuk audio, foto, maupun video. Sehingga ketika tari itu jarang ditarikan di masa mendatang, tak benar-benar punah.

Sementara untuk Tari Legong Pangeleb dan Legong Tombol, Gede Komang menyatakan, setelah workshop diharapkan kedua tarian itu makin lestari.

Ia juga berharap kedua tarian itu bisa ditarikan secara massal, sehingga tari-tari itu makin dikenal.

“Bukan cuma Bali Selatan yang punya legong, kami juga di Bali Utara punya legong. Ini harus disosialisasikan dan dilestarikan,” tukasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/