26.3 C
Jakarta
25 April 2024, 6:01 AM WIB

Redam Konflik, Warga Kanorayang dan Desa Adat Segera Dipertemukan

GIANYAR – Kasus tanah Ayahan Desa (AyDs) di Desa Adat Jero Kuta, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring terus bergulir.

Dua warga yang keberatan dan melapor ke Polres karena tanahnya disertifikatkan oleh desa adat terkena sanksi adat berupa kanorayang.

Sedangkan, pihak Desa Adat Jero Kuta, Kamis kemarin (8/10) mendatangkan sejumlah pihak. Hasilnya, dua pihak, warga dan prajuru desa akan dipertemukan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di wantilan Pura Penataran Sasih itu hanya dihadiri pihak prajuru Desa Adat Jero Kuta.

Hadir Ketua Majelis Madya Desa Adat (MDA) Gianyar Anak Agung Alit; Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar; Kasat Binmas Polres AKP Gde Endrawan; Kapolsek dan Danramil Tampaksiring.

Hadir juga petugas dari Badan Kesbangpol Gianyar. Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Cokorda Gde Pemayun memaparkan sesuai awig-awig, tanah AyDs dikuasai oleh desa dan hasilnya dinikmati masyarakat.

“Itu tanah AYDS (Ayahan Desa). Ada tiying, biyu, Jaka dan pohon lainnya. Itu untuk penuhi kewajiban mereka urunan ke desa. Tanah teba kena pajak? Karena menghasilkan,” ujarnya.

Kata bendesa, warga yang keberatan tidak pernah mau menyampaikan keberatannya ke Banjar atau ke adat.

“Saget sampun ke atas (tiba-tiba sudah ke kepolisian, red). Ini kami tidak mengerti. Tidak mau ikuti apa yang tertuang dalam awig,” terangnya.

Lanjut dia, tanah AyDs yang disertifikatkan dalam program penyertifikatan itu sebanyak 280 karang. Awalnya sempat ada 40 orang keberatan.

Beberapa mencabut keberatan dan kini tinggal 36. Tanah itu disertifikatkan desa namun ada tertulis dikuasi oleh warga yang selama ini menempati lahan.

“Tadi BPN sudah menjelaskan. Bahwa tidak ada pemalsuan dalam penyertifikatan,” terangnya.

Bahkan, bendesa yang sempat dimintai keterangan di kepolisian itu sempat menanyai penyidik.

“Surat yang mana saya palsukan? Sampai selesai tidak diberitahu saya yang mana dipalsukan,” ujarnya.

Lanjutnya, sanksi kanorayang atau sanksi adat diberikan sesuai dengan keputusan masyarakat.

“Kalau ingin perubahan, harus ada paruman. Bukan saya selaku Bendesa merubah. Ini harus melalui paruman yang diikuti Krama, saba dan Kerta desa. Saya hanya ngelantur awig yang sudah saya terima,” jelasnya.

Dia pun menampik jika tanah disertifikatkan akan dijadikan supermarket maupun lapangan golf oleh desa.

“Hal itu tak mungkin, jauh sekali. Kanorayang ini, kami tak ada melarang sembahyang,” jelasnya. Pihak desa juga berharap kedua pihak bisa dipertemukan. “Kami harap Majelis Adat bisa menjadi penengah,” terangnya.

Sementara itu, Ketua MDA Gianyar, Anak Agung Alit, mendorong penyelesaian kasus tanah adat di ranah adat dulu.

“Sesuai Perda, prajuru adat itu kolektif kolegial. Kalau ada yang dilanggar, tedun, mebawosan. Cen sing adung, dije Bendesa pelih? (turun, bicara, dimana tidak cocok, dimana bendesa salah, red). Di sini konsep desa adat,” ungkapnya.

Agung Alit menambahkan, tanah desa adat milik komunal. “Kalau habis tanah desa, siapa yang mengurus pura. Nak lingsir dumun sampun becik (Leluhur dulu sudah bagus, red),” jelasnya.

Pihaknya pun akan merancang pertemuan dua pihak yang berseteru ini, yakni antara warga yang kena sanksi adat dengan desa adat.

Kapolsek Tampaksiring, AKP Wayan Sujana, berpesan tidak masalah menerapkan sanksi adat. Yang penting tidak benturan dengan hukum positif di atas hukum adat.

“Terkait kanorayang, yang fundamental yang tak boleh dilakukan adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Kalau bisa dibicarakan lagi. Ada kebebasan beribadah,” ujar Kapolsek.

“Sanksi adat berupa sanksi administrasi tidak dapat pelayanan, sah saja. Supaya kanorayang dijalankan, tak benturan dengan hukum positif,” imbuhnya. 

GIANYAR – Kasus tanah Ayahan Desa (AyDs) di Desa Adat Jero Kuta, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring terus bergulir.

Dua warga yang keberatan dan melapor ke Polres karena tanahnya disertifikatkan oleh desa adat terkena sanksi adat berupa kanorayang.

Sedangkan, pihak Desa Adat Jero Kuta, Kamis kemarin (8/10) mendatangkan sejumlah pihak. Hasilnya, dua pihak, warga dan prajuru desa akan dipertemukan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di wantilan Pura Penataran Sasih itu hanya dihadiri pihak prajuru Desa Adat Jero Kuta.

Hadir Ketua Majelis Madya Desa Adat (MDA) Gianyar Anak Agung Alit; Badan Pertanahan Negara (BPN) Gianyar; Kasat Binmas Polres AKP Gde Endrawan; Kapolsek dan Danramil Tampaksiring.

Hadir juga petugas dari Badan Kesbangpol Gianyar. Bendesa Adat Jero Kuta Pejeng, Cokorda Gde Pemayun memaparkan sesuai awig-awig, tanah AyDs dikuasai oleh desa dan hasilnya dinikmati masyarakat.

“Itu tanah AYDS (Ayahan Desa). Ada tiying, biyu, Jaka dan pohon lainnya. Itu untuk penuhi kewajiban mereka urunan ke desa. Tanah teba kena pajak? Karena menghasilkan,” ujarnya.

Kata bendesa, warga yang keberatan tidak pernah mau menyampaikan keberatannya ke Banjar atau ke adat.

“Saget sampun ke atas (tiba-tiba sudah ke kepolisian, red). Ini kami tidak mengerti. Tidak mau ikuti apa yang tertuang dalam awig,” terangnya.

Lanjut dia, tanah AyDs yang disertifikatkan dalam program penyertifikatan itu sebanyak 280 karang. Awalnya sempat ada 40 orang keberatan.

Beberapa mencabut keberatan dan kini tinggal 36. Tanah itu disertifikatkan desa namun ada tertulis dikuasi oleh warga yang selama ini menempati lahan.

“Tadi BPN sudah menjelaskan. Bahwa tidak ada pemalsuan dalam penyertifikatan,” terangnya.

Bahkan, bendesa yang sempat dimintai keterangan di kepolisian itu sempat menanyai penyidik.

“Surat yang mana saya palsukan? Sampai selesai tidak diberitahu saya yang mana dipalsukan,” ujarnya.

Lanjutnya, sanksi kanorayang atau sanksi adat diberikan sesuai dengan keputusan masyarakat.

“Kalau ingin perubahan, harus ada paruman. Bukan saya selaku Bendesa merubah. Ini harus melalui paruman yang diikuti Krama, saba dan Kerta desa. Saya hanya ngelantur awig yang sudah saya terima,” jelasnya.

Dia pun menampik jika tanah disertifikatkan akan dijadikan supermarket maupun lapangan golf oleh desa.

“Hal itu tak mungkin, jauh sekali. Kanorayang ini, kami tak ada melarang sembahyang,” jelasnya. Pihak desa juga berharap kedua pihak bisa dipertemukan. “Kami harap Majelis Adat bisa menjadi penengah,” terangnya.

Sementara itu, Ketua MDA Gianyar, Anak Agung Alit, mendorong penyelesaian kasus tanah adat di ranah adat dulu.

“Sesuai Perda, prajuru adat itu kolektif kolegial. Kalau ada yang dilanggar, tedun, mebawosan. Cen sing adung, dije Bendesa pelih? (turun, bicara, dimana tidak cocok, dimana bendesa salah, red). Di sini konsep desa adat,” ungkapnya.

Agung Alit menambahkan, tanah desa adat milik komunal. “Kalau habis tanah desa, siapa yang mengurus pura. Nak lingsir dumun sampun becik (Leluhur dulu sudah bagus, red),” jelasnya.

Pihaknya pun akan merancang pertemuan dua pihak yang berseteru ini, yakni antara warga yang kena sanksi adat dengan desa adat.

Kapolsek Tampaksiring, AKP Wayan Sujana, berpesan tidak masalah menerapkan sanksi adat. Yang penting tidak benturan dengan hukum positif di atas hukum adat.

“Terkait kanorayang, yang fundamental yang tak boleh dilakukan adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Kalau bisa dibicarakan lagi. Ada kebebasan beribadah,” ujar Kapolsek.

“Sanksi adat berupa sanksi administrasi tidak dapat pelayanan, sah saja. Supaya kanorayang dijalankan, tak benturan dengan hukum positif,” imbuhnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/