32.5 C
Jakarta
18 April 2024, 9:39 AM WIB

Bandara Buleleng Batal, Eks Bupati Winasa Gagas Bandara Jembrana

NEGARA –  Pembangunan bandar udara di Buleleng yang masih tarik ulur belum ada kepastian, mengundang anggota dewan Jembrana angkat bicara.

Menariknya, dewan memunculkan lagi gagasan mantan bupati Jembrana I Gede Winasa. Saat menjabat, Winasa pernah mengagas pembangunan bandara di Jembrana dengan nama Jembrana Internasional City Airport (JICA).

Meski gagasan itu sudah 10 tahun lalu, gagasan itu layak diterapkan di Jembrana.

Hal tersebut disampaikan anggota DRPD Jembrana I Komang Adiyasa, setelah mengunjungi I Gede Winasa beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan itu, Winasa menyampaikan gagasan dan kritik dengan pro kontra rencana pembangunan bandara di Buleleng.

Menurutnya, pembangunan bandara di Bali Utara memerlukan pembebasan 42 desa adat, termasuk pura desa pura puseh dan pura dalem.

Pembangunan bandara juga harus reklamasi ke arah laut 10 kilometer dengan biaya sangat tinggi. Dana yang dibutuhkan juga tidak sedikit diperkirakan total Rp 50 triliun.

“Pemilihan lokasi bandara juga tidak rasional,” ujar Adiyasa kepada Jawa Pos Radar Bali.

Secara ekonomi, pembangunan bandara di Buleleng justru merugikan. Karena menurut Winasa, kalau melihat pendapatan bandara dengan dua runway setahun hanya menghasilkan kurang lebih Rp 1 triliun.

Lantas, kapan break event point diperoleh? Mungkin 50 tahun, apalagi bila menggunakan investor menjadi tidak layak bandara dibangun di Buleleng.

Secara prinsip, politisi Partai Hanura ini setuju dengan penambahan bandara di Bali. Alasannya, Bali kunjungan wisatawan dengan transportasi udara 6 juta, harapan kedepan 15 juta setiap tahun.

Sehingga perlu bandara dangan dua runway dan itu tidak mungkin di Bandara Ngurah Rai, jadi perlu ada bandara baru.

Karena itu, Adiyasa memunculkan gagasan Winasa pembangunan bandara di Jembrana, yakni Jembrana Internasional City Airport (JICA) yang dirancang 10 tahun lalu.

Bandara JICA, yang digagas bupati dengan banyak rekor Muri ini diperkirakan hanya membutuhkan biaya konstruksi Rp 6,7 triliun, jauh lebih sedikit dari bandara yang diwacanakan akan dibangun di Buleleng.

Bandara JICA menurutnya memang lebih tepat, karena dari segi kebutuhan lahan sudah ada. Untuk bandara perlu lahan minimal 800 hektar.

Di Pekutatan yang dari dulu diwacanakan ada lahan 1200 hektar perkebunan karet dengan status HGU. “Berarti tidak perlu biaya pembebasan lahan,” jelas anggota dewan yang biasa dipanggil Komet ini.

Dengan lokasi yang berada di ujung timur Jembrana, bandara JICA jika terwujud memungkinkan mendistribusikan kegiatan ekonomi di tiga kabupaten, Tabanan, Buleleng dan Jembrana.

Bandara ini juga memungkinkan kesempatan kerja. “Lokasi bandara di Jembrana menjadi saringan atau filtrasi budaya, agar budaya Bali tetap ajeg untuk menunjang pariwisata budaya,” ungkapnya.

Dengan bandara pendukung bandara Gusti Ngurah Rai yang saat ini cukup padat, juga bisa membantu Badung Denpasar dalam menyelesaikan masalah sosial.

“JICA jadi pendukung Bandara Ngurah Rai untuk penumpang dan cargo internasional,” tambahnya. Bagaimana dengan aksesibilitas yang selama ini jadi masalah utama?

Menurut Adiyasa, Winasa yang saat ini berada di hotel prodeo Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Negara ini, masih memiliki feasibility study atau proposal jalan tol Jembrana – Denpasar sudah disiapkan.

Sayangnya, hingga berakhir masa jabatannya gagasan pembangunan JICA tidak terwujud. “Proposal lengkap mengenai JICA dan jalan tol masih ada,” pungkasnya. 

NEGARA –  Pembangunan bandar udara di Buleleng yang masih tarik ulur belum ada kepastian, mengundang anggota dewan Jembrana angkat bicara.

Menariknya, dewan memunculkan lagi gagasan mantan bupati Jembrana I Gede Winasa. Saat menjabat, Winasa pernah mengagas pembangunan bandara di Jembrana dengan nama Jembrana Internasional City Airport (JICA).

Meski gagasan itu sudah 10 tahun lalu, gagasan itu layak diterapkan di Jembrana.

Hal tersebut disampaikan anggota DRPD Jembrana I Komang Adiyasa, setelah mengunjungi I Gede Winasa beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan itu, Winasa menyampaikan gagasan dan kritik dengan pro kontra rencana pembangunan bandara di Buleleng.

Menurutnya, pembangunan bandara di Bali Utara memerlukan pembebasan 42 desa adat, termasuk pura desa pura puseh dan pura dalem.

Pembangunan bandara juga harus reklamasi ke arah laut 10 kilometer dengan biaya sangat tinggi. Dana yang dibutuhkan juga tidak sedikit diperkirakan total Rp 50 triliun.

“Pemilihan lokasi bandara juga tidak rasional,” ujar Adiyasa kepada Jawa Pos Radar Bali.

Secara ekonomi, pembangunan bandara di Buleleng justru merugikan. Karena menurut Winasa, kalau melihat pendapatan bandara dengan dua runway setahun hanya menghasilkan kurang lebih Rp 1 triliun.

Lantas, kapan break event point diperoleh? Mungkin 50 tahun, apalagi bila menggunakan investor menjadi tidak layak bandara dibangun di Buleleng.

Secara prinsip, politisi Partai Hanura ini setuju dengan penambahan bandara di Bali. Alasannya, Bali kunjungan wisatawan dengan transportasi udara 6 juta, harapan kedepan 15 juta setiap tahun.

Sehingga perlu bandara dangan dua runway dan itu tidak mungkin di Bandara Ngurah Rai, jadi perlu ada bandara baru.

Karena itu, Adiyasa memunculkan gagasan Winasa pembangunan bandara di Jembrana, yakni Jembrana Internasional City Airport (JICA) yang dirancang 10 tahun lalu.

Bandara JICA, yang digagas bupati dengan banyak rekor Muri ini diperkirakan hanya membutuhkan biaya konstruksi Rp 6,7 triliun, jauh lebih sedikit dari bandara yang diwacanakan akan dibangun di Buleleng.

Bandara JICA menurutnya memang lebih tepat, karena dari segi kebutuhan lahan sudah ada. Untuk bandara perlu lahan minimal 800 hektar.

Di Pekutatan yang dari dulu diwacanakan ada lahan 1200 hektar perkebunan karet dengan status HGU. “Berarti tidak perlu biaya pembebasan lahan,” jelas anggota dewan yang biasa dipanggil Komet ini.

Dengan lokasi yang berada di ujung timur Jembrana, bandara JICA jika terwujud memungkinkan mendistribusikan kegiatan ekonomi di tiga kabupaten, Tabanan, Buleleng dan Jembrana.

Bandara ini juga memungkinkan kesempatan kerja. “Lokasi bandara di Jembrana menjadi saringan atau filtrasi budaya, agar budaya Bali tetap ajeg untuk menunjang pariwisata budaya,” ungkapnya.

Dengan bandara pendukung bandara Gusti Ngurah Rai yang saat ini cukup padat, juga bisa membantu Badung Denpasar dalam menyelesaikan masalah sosial.

“JICA jadi pendukung Bandara Ngurah Rai untuk penumpang dan cargo internasional,” tambahnya. Bagaimana dengan aksesibilitas yang selama ini jadi masalah utama?

Menurut Adiyasa, Winasa yang saat ini berada di hotel prodeo Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Negara ini, masih memiliki feasibility study atau proposal jalan tol Jembrana – Denpasar sudah disiapkan.

Sayangnya, hingga berakhir masa jabatannya gagasan pembangunan JICA tidak terwujud. “Proposal lengkap mengenai JICA dan jalan tol masih ada,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/