28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:12 AM WIB

Redam Covid-19 di Bali, Krama Tampaksiring Gelar Ritual Ruwat Bhumi

GIANYAR – Masyarakat Desa/Kecamatan Tampaksiring mengatasi Covid-19 dengan menggelar ritual Ruwat Bhumi Nangluk Merana Agung.

Acara yang akan berlangsung Rabu hari ini (25/11) pukul 16.00, dilakukan di perempatan desa (Catus Pata) dan di batas desa.

Inisiator acara Ida Bagus Made Bhaskara yang juga Pembina Pasraman Dharmasila Tampaksiring, menyatakan,

upacara ini digelar di Tampaksiring yang diyakini sebagai pusat peradaban tertua di Bali. Desa yang ada Pura Tirta Empul dan Pura Gunung Kawi diyakini sebagai pusat spiritual juga.

“Mengenai pandemi, saya sebagai inisiator, menganggap pandemi ini bukan hanya secara sekala (hal terlihat, red) saja.

Bukan hal-hal yang berhubungan medis. Di Bali kami meyakini apapun itu pasti dilihat dua sudut pandang,” ujar Ida Bagus Made Bhaskara.

Dia mengambil contoh negara Jerman yang punya perlengkapan canggih. Jerman sampai lock down tiga kali dalam menangani Covid-19.

“Itu menandakan pandemi ini tidak hanya ditangani dengan hal yang bersifat medis saja. Ada hal secara Niskala (tidak terlihat, red), kami patut upayakan,” jelasnya.

Ruwat Bumi ini, kata dia, ada bentangan Buana Alit (alam kecil) dan Buana Agung (makrokosmos). “Pada tatanan mistis tua kuno Bali, tidak membedakan apakah negara Eropa dan lain sebagainya.

Jadi, setiap Yadnya (upacara korban) yang dilakukan, untuk Buana Agung, untuk alam semesta,” ungkapnya.

Ruwat Bumi ini bertujuan untuk menyeimbangkan alam. “Salah satunya mengatasi pandemi. Untuk bumi, bukan hanya untuk Bali. Kami poroskan (pusatkan, red) di Bali.

Buana Alit-nya untuk diri kita, untuk manusia. Tidak peduli negara belahan mana, agama apa. Ketika melakukan Ruwat Bhumi, untuk bumi dan untuk Buana Alit, untuk isinya,” terangnya.

Mengutip lontar tua, Ida Bagus Bhaskara membeberkan, ada sejumlah lontar. Yakni Penurgan Dalem Tungkup.

Disebutkan, pada masa pandemi, wajib melakukan upacara yang bertujuan untuk Penolak Baya atau Penangluk Merana.

“Jadi, kami lakukan di dua titik. Satu di perempatan agung di Catus Pata. Dua, di Wates desa. Jadi perempatan agung simbol semesta. Catus Pata berdampingan dengan Puri, dalam sistem kosmologi, Puri istananya Dewa,” jelasnya.

Selama upacara berlangsung, juga dipadukan dengan fragmen sakral. Berdasarkan rujukan sastra kuno Siwa Gama,

Kala Maya Tatwa, Penurgan Dalem Tungkup, Babad I Gde Mecaling, terdapat teks yang menyebutkan tentang sasih ke-enam.

“Jadi sasih ke-enam, pada 25 November, jadi berbagai kekuatan negatif, baik bhuta kala termasuk gering, sabsab, merana. Berbagai macam pengaruh buruk musim virus penyakit,” bebernya.

Lanjut dia, pada siklus kalender Bali itu, berdasarkan teks kuno, penyakit itu tercipta dari kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Juga ada pustaka Genta Ki Gebug Lantang. Genta itu terbuat dari keroncongan sapi. “Pada teks ini, keroncongan sapi bisa memanggil kekuatan halus, bhuta, samar, gamang, termasuk hal yang bersifat merugikan seperti penyakit,” terangnya.

Pada fragmen nanti, juga ditampilkan tari Sang Hyang Jaran yang termasuk seni sakral. “Ini termasuk animisme dinamisme.

Pada masa itu, berbagai roh binatang disucikan. Sang Hyang Jaran warisan kuno di Tampaksiring, sering dibawakan untuk mengusir gerubug,” jelasnya.

Dalam fragmen ini, nantinya akan ditarikan oleh murid yang ada di Pasraman. “Karena ada aturan pemerintah terkait prokes.

Maka kami tidak mungkin buat fragmen nedunang (menurunkan, red) sesuhunan di Pura Kahyangan Tiga, karena dampaknya masyarakat berkerumun banyak.

Maka dari itu, kami akan nuwur (memohon,m red) tirta, semua Tirta suci di wilayah Tampaksiring,” terangnya.

Selanjutnya, tirta tersebut, mewakili kekuatan Dewa. “Itu yang ditarikan duwe pasraman. Itu simbolis aspek Kala Maya dan Durga,” jelasnya.

Selama upacara dan pertunjukkan, nanti akan ada penutupan jalan. “Kami juga sudah berkoordinasi dengan Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Ini sinergi pasraman dengan aparat desa dan Bendesa agung Tampaksiring,” pungkasnya. 

GIANYAR – Masyarakat Desa/Kecamatan Tampaksiring mengatasi Covid-19 dengan menggelar ritual Ruwat Bhumi Nangluk Merana Agung.

Acara yang akan berlangsung Rabu hari ini (25/11) pukul 16.00, dilakukan di perempatan desa (Catus Pata) dan di batas desa.

Inisiator acara Ida Bagus Made Bhaskara yang juga Pembina Pasraman Dharmasila Tampaksiring, menyatakan,

upacara ini digelar di Tampaksiring yang diyakini sebagai pusat peradaban tertua di Bali. Desa yang ada Pura Tirta Empul dan Pura Gunung Kawi diyakini sebagai pusat spiritual juga.

“Mengenai pandemi, saya sebagai inisiator, menganggap pandemi ini bukan hanya secara sekala (hal terlihat, red) saja.

Bukan hal-hal yang berhubungan medis. Di Bali kami meyakini apapun itu pasti dilihat dua sudut pandang,” ujar Ida Bagus Made Bhaskara.

Dia mengambil contoh negara Jerman yang punya perlengkapan canggih. Jerman sampai lock down tiga kali dalam menangani Covid-19.

“Itu menandakan pandemi ini tidak hanya ditangani dengan hal yang bersifat medis saja. Ada hal secara Niskala (tidak terlihat, red), kami patut upayakan,” jelasnya.

Ruwat Bumi ini, kata dia, ada bentangan Buana Alit (alam kecil) dan Buana Agung (makrokosmos). “Pada tatanan mistis tua kuno Bali, tidak membedakan apakah negara Eropa dan lain sebagainya.

Jadi, setiap Yadnya (upacara korban) yang dilakukan, untuk Buana Agung, untuk alam semesta,” ungkapnya.

Ruwat Bumi ini bertujuan untuk menyeimbangkan alam. “Salah satunya mengatasi pandemi. Untuk bumi, bukan hanya untuk Bali. Kami poroskan (pusatkan, red) di Bali.

Buana Alit-nya untuk diri kita, untuk manusia. Tidak peduli negara belahan mana, agama apa. Ketika melakukan Ruwat Bhumi, untuk bumi dan untuk Buana Alit, untuk isinya,” terangnya.

Mengutip lontar tua, Ida Bagus Bhaskara membeberkan, ada sejumlah lontar. Yakni Penurgan Dalem Tungkup.

Disebutkan, pada masa pandemi, wajib melakukan upacara yang bertujuan untuk Penolak Baya atau Penangluk Merana.

“Jadi, kami lakukan di dua titik. Satu di perempatan agung di Catus Pata. Dua, di Wates desa. Jadi perempatan agung simbol semesta. Catus Pata berdampingan dengan Puri, dalam sistem kosmologi, Puri istananya Dewa,” jelasnya.

Selama upacara berlangsung, juga dipadukan dengan fragmen sakral. Berdasarkan rujukan sastra kuno Siwa Gama,

Kala Maya Tatwa, Penurgan Dalem Tungkup, Babad I Gde Mecaling, terdapat teks yang menyebutkan tentang sasih ke-enam.

“Jadi sasih ke-enam, pada 25 November, jadi berbagai kekuatan negatif, baik bhuta kala termasuk gering, sabsab, merana. Berbagai macam pengaruh buruk musim virus penyakit,” bebernya.

Lanjut dia, pada siklus kalender Bali itu, berdasarkan teks kuno, penyakit itu tercipta dari kekuatan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Juga ada pustaka Genta Ki Gebug Lantang. Genta itu terbuat dari keroncongan sapi. “Pada teks ini, keroncongan sapi bisa memanggil kekuatan halus, bhuta, samar, gamang, termasuk hal yang bersifat merugikan seperti penyakit,” terangnya.

Pada fragmen nanti, juga ditampilkan tari Sang Hyang Jaran yang termasuk seni sakral. “Ini termasuk animisme dinamisme.

Pada masa itu, berbagai roh binatang disucikan. Sang Hyang Jaran warisan kuno di Tampaksiring, sering dibawakan untuk mengusir gerubug,” jelasnya.

Dalam fragmen ini, nantinya akan ditarikan oleh murid yang ada di Pasraman. “Karena ada aturan pemerintah terkait prokes.

Maka kami tidak mungkin buat fragmen nedunang (menurunkan, red) sesuhunan di Pura Kahyangan Tiga, karena dampaknya masyarakat berkerumun banyak.

Maka dari itu, kami akan nuwur (memohon,m red) tirta, semua Tirta suci di wilayah Tampaksiring,” terangnya.

Selanjutnya, tirta tersebut, mewakili kekuatan Dewa. “Itu yang ditarikan duwe pasraman. Itu simbolis aspek Kala Maya dan Durga,” jelasnya.

Selama upacara dan pertunjukkan, nanti akan ada penutupan jalan. “Kami juga sudah berkoordinasi dengan Bhabinkamtibmas dan Babinsa. Ini sinergi pasraman dengan aparat desa dan Bendesa agung Tampaksiring,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/