DENPASAR- Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 20 Tahun 2018 memantik “kegaduhan” di kalangan pecinta burung Pulau Dewata.
Pasca diterbitkan, Rabu 29 Juni 2018 lalu, total 919 jenis tumbuhan dan satwa berstatus dilindungi.
Dari daftar itu, terdata 562 jenis burung.
Keresahan mencuat lantaran sebagian merupakan burung yang selama ini dipelihara dan diperniagakan masyarakat.
Di antaranya murai batu, cucak rawa, cucak hijau, pleci, kenari melayu, anis merah, dan jalak suren.
Mereka takut dipenjara dan burungnya disita.
Merespons hal tersebut, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, Dadang Wardhana memastikan masyarakat pecinta burung tak perlu galau.
Pasalnya, burung-burung tersebut tak perlu diserahkan ke BKSDA.
“Peraturan tersebut tidak berlaku surut sehingga burung yang sudah terlanjur dipelihara sebelum adanya peraturan tersebut hanya melaporkan saja untuk didata oleh petugas BKSDA.
Tanpa ada penyitaan dan tanpa pemberian sanksi,” ucap Dadang Wardhana, Senin (3/9).
Permen LHK Nomor 20 Tahun 2018 jelasnya sudah disosialisasikan bersama Kabiro Humas Kementerian LHK dan Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Jumat (24/8) lalu dikemas dalam acara “Ngopi” (Ngobrol Pintar) di Hotel Prime Plaza Sanur.
Berbagai komunitas penggemar burung berkicau, pedagang pasar burung, dan penangkar burung hadir dalam acara tersebut.
Terangnya, bagi masyarakat yang ketinggalan informasi, bisa memperoleh surat keterangan kepemilikan satwa dengan cara melapor ke petugas di resort-resort dan seksi wilayah 1 dan 2, atau ke petugas di kantor BKSDA Bali dengan menghubungi nomor 0361720063.
Dadang Wardhana menyebut masyarakat tidak perlu takut pada saat pencatatan dilakukan sebab petugas tidak menarik biaya sepeser pun.
“Kalau burung sudah dimiliki atau dipelihara, harus sudah didata dulu dan dilengkapi SATDN (surat-surat, red) dari tempat asal.
Apabila peraturannya sudah selesai direvisi dan diterapkan sepenuhnya, maka nanti burung harus bersumber dari penangkaran,” tegasnya.