33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 12:26 PM WIB

Soal Gizi, Bali Berstatus Akut, Anak Lebih Senang Makan Fast Food

DENPASAR – Persoalan gizi di Bali masih perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Berdasar data Dinas Kesehatan  Provinsi Bali menyebutkan, Bali masih dalam status akut.

Bahkan, ada pula yang masuk status akut kronis. Indikator terkait gizi, dapat merujuk pada standart Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Disebutkan, ada tiga indikator yang dapat menyatakan suatu daerah masuk dalam taraf akut. Yakni, berat badan kurang atau gizi buruk (underweight), gizi akut alias balita kurus (wasting) dan gizi kronis alias balita pendek (stunting).

Lebih lanjut, WHO memberikan ukuran sebuah wilayah dapat dikategorikan bebas masalah gizi apabila prevalensi balita pendeknya kurang dari 20 persen dan balita kurusnya kurang dari 5 persen.

Bila tak sesuai, maka masuk dalam kategori akut. Sementara, untuk kategori akut dan kronis sendiri, bila prevalensi balita pendeknya 20 persen atau lebih dan prevalensi balita kurusnya 5 persen atau lebih.

Lalu bagaimana dengan di Bali? Berdasar data survey data dari Pemantauan Status Gizi (PSG) Dinas Kesehatan Provinsi Bali mulai tahun 2015-2017, Bali secara umum masuk dalam kategori akut.

Bahkan, juga tercatat ada 5 kabupaten yang masuk kategori akut dan kornis. Di antaranya Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Bangli, Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng.

Sedangkan, Kabupaten Badung dan Tabanan tergolong di tingkat akut. Yang aman atau terbebas dari dari masalah gizi hanya Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung saja.

Dalam angka menyebutkan, Dari tahun 2015 – 2017 memang mengalami penurunan. Terakhir di tahun 2017, angka kasus gizi buruk di Bali mencapai angka 8,6 persen.

Angka kasus balita kurus (wasted) mencapai 6,3 persen. Khusus kasus balita kurus, bila dibandingkan dengan tahun 2016, mengalami peningkatan, yakni 5,5 persen.

Sedangkan kasus balita pendek alias stunting mencapai angka 19,1 persen. Dari persentase tersebut bila dibandingkan dengan indikator WHO yang menetapkan 5 persen, jelas belum memenuhi standar untuk kasus gizi buruk dan dan balita kurus.

Begitu halnya dengan kasus balita pendek di Bali yang juga masih tak kunjung menjauh dari standar WHO sebanyak 20 persen.

Pada tahun di tahun 2017 menyebutkan angkanya mencapai 19,1 persen. Atas persoalan ini, pemerintah, dalam hal ini Dinkes Bali pun mengklaim dirinya tak mendiamkan diri saja.

Beragam program pun dikatakan sudah dikerjakan untuk memerangi masalah gizi buruk ini.

Seperti intervensi gizi sang ibu dan anak di Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK), hingga bersinergi dengan lintas sektor lain untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang aman dan sehat.

Seperti halnya bekerja sama dengan pihak Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan lain sebagainya dalam hal penyediaan pangan yang sehat sebagai asupan gizi,

Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya. Katanya, problema gizi buruk yang terjadi di Bali tidak semata-mata karena faktor ekonomi saja.

Melainkan juga adanya faktor lain, yakni terkait pemahaman keluarga akan asupan gizi terhadap anak.

“Dalam hal ini, ekonomi tak bisa jadi faktor tunggal yang dominan. Ekonomi sudah bagus, sang anak malah sering diberi makanan fast food.

Padahal masih banyak makanan lain yang memiliki asupan gizi lebih baik, seperti makanan tradisional misalnya. Anak-anak sekarang sudah jarang doyan,” ungkapnya.

Begitu juga dari saat si ibu mengandung hingga melahirkan buah hatinya. Asupan gizi dari lahir hingga 1000 HPK pun menjadi perhatian khusus.

“Nah, ini yang menjadi program kami ke depannya. Intervensi gizi spesifik namanya hingga pengaturan pola makan sang anak. Jika asupan gizi sang ibu kurang, bisa jadi akibatkan bayi stunting,” tutupnya. 

DENPASAR – Persoalan gizi di Bali masih perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Berdasar data Dinas Kesehatan  Provinsi Bali menyebutkan, Bali masih dalam status akut.

Bahkan, ada pula yang masuk status akut kronis. Indikator terkait gizi, dapat merujuk pada standart Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Disebutkan, ada tiga indikator yang dapat menyatakan suatu daerah masuk dalam taraf akut. Yakni, berat badan kurang atau gizi buruk (underweight), gizi akut alias balita kurus (wasting) dan gizi kronis alias balita pendek (stunting).

Lebih lanjut, WHO memberikan ukuran sebuah wilayah dapat dikategorikan bebas masalah gizi apabila prevalensi balita pendeknya kurang dari 20 persen dan balita kurusnya kurang dari 5 persen.

Bila tak sesuai, maka masuk dalam kategori akut. Sementara, untuk kategori akut dan kronis sendiri, bila prevalensi balita pendeknya 20 persen atau lebih dan prevalensi balita kurusnya 5 persen atau lebih.

Lalu bagaimana dengan di Bali? Berdasar data survey data dari Pemantauan Status Gizi (PSG) Dinas Kesehatan Provinsi Bali mulai tahun 2015-2017, Bali secara umum masuk dalam kategori akut.

Bahkan, juga tercatat ada 5 kabupaten yang masuk kategori akut dan kornis. Di antaranya Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Bangli, Kabupaten Karangasem dan Kabupaten Buleleng.

Sedangkan, Kabupaten Badung dan Tabanan tergolong di tingkat akut. Yang aman atau terbebas dari dari masalah gizi hanya Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung saja.

Dalam angka menyebutkan, Dari tahun 2015 – 2017 memang mengalami penurunan. Terakhir di tahun 2017, angka kasus gizi buruk di Bali mencapai angka 8,6 persen.

Angka kasus balita kurus (wasted) mencapai 6,3 persen. Khusus kasus balita kurus, bila dibandingkan dengan tahun 2016, mengalami peningkatan, yakni 5,5 persen.

Sedangkan kasus balita pendek alias stunting mencapai angka 19,1 persen. Dari persentase tersebut bila dibandingkan dengan indikator WHO yang menetapkan 5 persen, jelas belum memenuhi standar untuk kasus gizi buruk dan dan balita kurus.

Begitu halnya dengan kasus balita pendek di Bali yang juga masih tak kunjung menjauh dari standar WHO sebanyak 20 persen.

Pada tahun di tahun 2017 menyebutkan angkanya mencapai 19,1 persen. Atas persoalan ini, pemerintah, dalam hal ini Dinkes Bali pun mengklaim dirinya tak mendiamkan diri saja.

Beragam program pun dikatakan sudah dikerjakan untuk memerangi masalah gizi buruk ini.

Seperti intervensi gizi sang ibu dan anak di Seribu Hari Pertama Kehidupan (HPK), hingga bersinergi dengan lintas sektor lain untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang aman dan sehat.

Seperti halnya bekerja sama dengan pihak Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan lain sebagainya dalam hal penyediaan pangan yang sehat sebagai asupan gizi,

Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya. Katanya, problema gizi buruk yang terjadi di Bali tidak semata-mata karena faktor ekonomi saja.

Melainkan juga adanya faktor lain, yakni terkait pemahaman keluarga akan asupan gizi terhadap anak.

“Dalam hal ini, ekonomi tak bisa jadi faktor tunggal yang dominan. Ekonomi sudah bagus, sang anak malah sering diberi makanan fast food.

Padahal masih banyak makanan lain yang memiliki asupan gizi lebih baik, seperti makanan tradisional misalnya. Anak-anak sekarang sudah jarang doyan,” ungkapnya.

Begitu juga dari saat si ibu mengandung hingga melahirkan buah hatinya. Asupan gizi dari lahir hingga 1000 HPK pun menjadi perhatian khusus.

“Nah, ini yang menjadi program kami ke depannya. Intervensi gizi spesifik namanya hingga pengaturan pola makan sang anak. Jika asupan gizi sang ibu kurang, bisa jadi akibatkan bayi stunting,” tutupnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/