26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 3:01 AM WIB

PPKM jadi Pengganti PSBB Itu cuma Akal-akalan Hindari Keluarkan Bansos

DENPASAR – Tanggal 11 Januari 2021 ini merupakan hari pertama masyarakat Bali menggelar Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal ini juga sesuai dengan Instruksi Mendagri Nomor 1 tahun 2021.

Pemerintah Provinsi Bali, baik melalui surat edaran yang dikeluarkan juga memaparkan sejumlah aturan yang cukup ketat dalam PPKM ini. Salah satunya adalah dengan melakukan pembatasan jam operasional untuk pusat perbelanjaan.

Di Bali sendiri, pembatasan dilakukan hingga pukul 21.00 WITA. Namun hal ini dirasa janggal oleh Ketua Pro Demokrasi (Prodem) Wilayah Bali, I Nyoman Mardika. Ia melihat, ada hal ambiguitas dalam regulasi yang dibuat ini.

“Saya tidak sepakat dengan penggunaan istilah PPKM ini. Jika ada pembatasan waktu apalagi wilayah, maka itu adalah PSBB. Kalau PPKM itu tak boleh lakukan pembatasan,” ujarnya pada Senin (11/1).

Lanjutnya, jika menggunakan istilah PPKM, maka itu hanya sebatas untuk memperketat protokol kesehatan saja, seperti kampanye 3M dan sebagainya.

Lalu mengapa memilih menggunakan istilah PPKM?

“Dugaan saya, Pemprov tak mau menggunakan istilah PSBB, karena jika menggunakan kata PSBB, maka ada dana (anggaran) yang harus dikeluarkan untuk publik,” sebutnya.

Menurut dia, ini juga siasat atau akal-akalan pemerintah menghindari anggaran yang timbul dari pemberlakuan PSBB. Sebab, dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, daerah yang memberlakukan PSBB harus menyiapkan anggaran untuk jaminan sosial atau pangan masyarakatnya, atau ekonomi masyarakatnya.

“Dengan PPKM, maka membatasi masyarakat tapi tidak merujuk UU Kekarantinaan Kesehatan. Dengan begitu tidak mengeluarkan anggaran. Saya lihat ini siasat menghindari anggaran yang wajib dikeluarkan pemerintah jika pakai istilah PSBB. Walau kenyataannya PPKM ini adalah PSBB,” katanya.

Dalam Pasal 9 ayat 2 Permenkes Nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB sebagai turunan dari PP 21/2020 tentang PSBB dan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, menyebutkan bahwa “… Penetapan PSBB juga mempertimbangkan dalam hal-hal yang terkait dengan ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial untuk rakyat terdampak, dan aspek keamanan.”

Tak hanya itu, PPKM dengan merujuk pada instruksi Mendagri tersebut pun tak memiliki payung hukum. Sebab, dalam UU Kekarantina Kesehatan nomor 6 tahun 2018 tak mengatur PPKM. Sedangkan PSBB tersebut lebih jelas, karena memiliki payung hukum yakni PP 21 tahun 2020.

“Jadi saya melihat ada ambiguitas dalam penerapan aturan. Ada kebingungan dalam aturan yang dibuat karena menyangkut persoalan perekonomian yang dimana terjadi difisit anggaran. Maka pemerintah mencari yang termurah (PPKM), yang dimana seharusnya cukup dengan pendisiplinan Prokes saja, bukan ada pembatasan,” pungkasnya.

DENPASAR – Tanggal 11 Januari 2021 ini merupakan hari pertama masyarakat Bali menggelar Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Hal ini juga sesuai dengan Instruksi Mendagri Nomor 1 tahun 2021.

Pemerintah Provinsi Bali, baik melalui surat edaran yang dikeluarkan juga memaparkan sejumlah aturan yang cukup ketat dalam PPKM ini. Salah satunya adalah dengan melakukan pembatasan jam operasional untuk pusat perbelanjaan.

Di Bali sendiri, pembatasan dilakukan hingga pukul 21.00 WITA. Namun hal ini dirasa janggal oleh Ketua Pro Demokrasi (Prodem) Wilayah Bali, I Nyoman Mardika. Ia melihat, ada hal ambiguitas dalam regulasi yang dibuat ini.

“Saya tidak sepakat dengan penggunaan istilah PPKM ini. Jika ada pembatasan waktu apalagi wilayah, maka itu adalah PSBB. Kalau PPKM itu tak boleh lakukan pembatasan,” ujarnya pada Senin (11/1).

Lanjutnya, jika menggunakan istilah PPKM, maka itu hanya sebatas untuk memperketat protokol kesehatan saja, seperti kampanye 3M dan sebagainya.

Lalu mengapa memilih menggunakan istilah PPKM?

“Dugaan saya, Pemprov tak mau menggunakan istilah PSBB, karena jika menggunakan kata PSBB, maka ada dana (anggaran) yang harus dikeluarkan untuk publik,” sebutnya.

Menurut dia, ini juga siasat atau akal-akalan pemerintah menghindari anggaran yang timbul dari pemberlakuan PSBB. Sebab, dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, daerah yang memberlakukan PSBB harus menyiapkan anggaran untuk jaminan sosial atau pangan masyarakatnya, atau ekonomi masyarakatnya.

“Dengan PPKM, maka membatasi masyarakat tapi tidak merujuk UU Kekarantinaan Kesehatan. Dengan begitu tidak mengeluarkan anggaran. Saya lihat ini siasat menghindari anggaran yang wajib dikeluarkan pemerintah jika pakai istilah PSBB. Walau kenyataannya PPKM ini adalah PSBB,” katanya.

Dalam Pasal 9 ayat 2 Permenkes Nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB sebagai turunan dari PP 21/2020 tentang PSBB dan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, menyebutkan bahwa “… Penetapan PSBB juga mempertimbangkan dalam hal-hal yang terkait dengan ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan, ketersediaan anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial untuk rakyat terdampak, dan aspek keamanan.”

Tak hanya itu, PPKM dengan merujuk pada instruksi Mendagri tersebut pun tak memiliki payung hukum. Sebab, dalam UU Kekarantina Kesehatan nomor 6 tahun 2018 tak mengatur PPKM. Sedangkan PSBB tersebut lebih jelas, karena memiliki payung hukum yakni PP 21 tahun 2020.

“Jadi saya melihat ada ambiguitas dalam penerapan aturan. Ada kebingungan dalam aturan yang dibuat karena menyangkut persoalan perekonomian yang dimana terjadi difisit anggaran. Maka pemerintah mencari yang termurah (PPKM), yang dimana seharusnya cukup dengan pendisiplinan Prokes saja, bukan ada pembatasan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/